[26.10.2014]
Beberapa waktu yang lalu, ibu-ibu di kompleks perumahan tempat tinggal kami di
kawasan Mallengkeri, Makassar, menggelar arisan bulanan di rumah sederhana –untuk tidak mengatakan sempit, kami.
Karena
keterbatasan ruang, lemari buku yang memuat buku dengan berbagai tema yang
keluarga kami punyai, ditempatkan di ruang tamu. Lemari buku memenuhi separuh
dinding.
Karena
arisan belum dimulai, mereka menikmati camilan yang tersedia, dan tentu saja
sambil ngobrol dengan berbagai tema. Dari sekian banyak tema yang mereka
obrolkan, yang menarik perhatianku adalah komentar-komentar mereka tentang
koleksi buku kami.
“Suaminya
kerja di mana ya? Lihat bukunya banyak sekali.” Bisik seorang ibu.
“Kabarnya
sih di Inspektorat.” Jawab ibu yang lain.
“Tapi
kok bukunya banyak sekali? Kerjaan orang Inspektorat kan tidak terkait dengan
buku?” Kembali ibu yang tadi bertanya.
“Ah,
mungkin di Perpustakaan Daerah.” Celetuk yang lain lagi.
Masih
banyak jawaban yang berseliweran.
Awalnya,
ketika mendengar komentar mereka, aku sempat tersinggung, sebab mereka
mengaitkan antara jumlah koleksi buku yang kami punya dengan pekerjaanku yang
seharusnya di Perpustakaan Daerah. Aku merasa mereka mencurigaiku mengutil buku
dari tempat kerja.
Namun
aku sadar, mereka tentulah heran, sebab berbeda dengan keluarga kebanyakan,
ketika ruang tamu mereka dipenuhi dengan perbak-pernik hiasan serta meubelir
yang kinclong, ruang tamu kami sesak dengan lemari buku.
Komentar-komentar
mereka membuatku tercenung, bahkan merasa kasihan. Reaksi mereka begitu melihat
kehadiran buku-buku tidak seperti harapanku. Betapa, ibu-ibu yang sebagian
besar merupakan dari golongan terpelajar, tidak begitu familiar dengan kehadiran
buku.
Aku
kemudian merenung, sepertinya ada yang keliru dengan masyarakat kita. Makassar
yang menggembar-gemborkan untuk menjadi kota dunia, dihuni oleh masyarakat yang
terasing dari buku –artefak tradisi
literasi yang paling nyata.
Membangun
kecintaan pada buku selalu menjadi impianku sejak dulu. Aku membayangkan ketika berkunjung ke rumah tetangga atau kerabat, kita tidak akan membincang
tentang model kursi tamu, harga taplak meja dan gorden, atau yang lain.
Kita
akan berbincang tentang judul buku terbaru yang tersaji di lemari buku sebagai
artefak utama di ruang tamu setiap keluarga. Kita tidak akan menghabiskan waktu
ngerumpi tentang prosesi pernikahan Raffi Ahmad, atau trend terbaru dari
Syaharini.
Kita
akan menghabiskan waktu bertamu dengan membaca puisi bersama, membincang
novel-novel menawan atau menyusun rencana menerbitkan karya kolaborasi melalui self publishing. Bukankah itu indah?
Aku
jadi teringat dengan Si Brewok –Karl Marx,
bila membayangkan situasi yang demikian.