[29.10.2014]
Malam ini saya akan menagih janjinya, janji seorang lelaki paruh baya yang
kusapa dengan panggilan ayah, tak seperti teman sebayaku yang memanggil orang
tua lelakinya dengan panggilan etta. Kemarin malam dia menjanjikannya
padaku, janji untuk menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Dongeng yang
kutuntut kepadanya setelah saya tahu bahwa para pangeran dalam dongeng
senantiasa diberi dongeng pengantar tidur sebelum mereka terlelap di malam
hari.
Lelaki
itu, lelaki yang kupanggil ayah adalah seorang guru madrasah aliyah di ibu kota
kabupaten yang berjarak sekitar lima belas kilo meter dari kampung tempat kami
menetap. Setiap pagi dia berangkat kerja dengan mengenakan baju seragam guru
yang tak pernah digantinya selama seminggu, dia berangkat dengan menumpang
mobil angkutan yang tak punya jadwal khusus.
Saya
sangat penasaran malam ini, dongeng apakah yang akan ia ceritakan sebab sangat
jarang dia kulihat bercerita. Sepulang dari sekolah, dia selalu sibuk
membolak-balik kertas hasil tugas siswanya, hanya sesekali dia bicara singkat
dengan ibuku. Apakah dia akan mendongeng dengan baik, padahal setahuku, dia
bukan guru bahasa, dia seorang guru akidah. Jangan-jangan dia akan menceritakan
kisah tentang neraka yang menakutkan atau malah tentang bidadari yang
kecantikannya luar biasa.
Tapi
kok lelaki itu belum juga mendekati tempat tidurku? Dia masih saja asyik
memelototi layar televisi hitam-putih yang gambarnya dikerubungi semut hitam
itu. Dia lagi menikmati Dunia Dalam Berita, tontonan wajibnya setiap malam. Lamat-lamat
saya dengar Usi Karundeng sedang menceritakan tentang gempa di Brasil, banjir
di India dan kebakaran hebat di Kanada.
Terkadang
saya merasa heran dengan kebiasaannya itu, menonton Dunia Dalam Berita sudah
menjadi wajib baginya, sebagaimana wajibnya sholat lima waktu bagi seorang
muslim. Tak ada satupun malam tanpa Dunia Dalam Berita, kecintaannya pada
siaran itu hanya dikalahkan oleh kecintaannya pada kegiatan mengajarnya.
Makanya saya ragu, apakah dia akan menepati janjinya malam ini untuk bercerita.
Saat
Usi Karundeng mengakhiri informasinya, dia beranjak mematikan televisi hitam-putih
itu dengan langkah pelan, maklum rumah panggung, gerakan sekecil apapun akan
membuat seluruh rumah merasakan gerakan tersebut. Setelah itu, lelaki dengan
model rambut Umar ini mendekati tempat tidurku yang kelambunya sudah dari tadi
saya turunkan.
Tentang
model rambut Umar, nampaknya ayahkulah yang menemukannya sebab tak ada satupun
tukang cukur di pasar kampungku yang tahu dengan model rambut ini sebelum
ayahku meminta rambutnya di model seperti itu. Saat itu, Umar Wirahadi Kusuma
sedang menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketika akan
memangkas rambutnya, ayahku datang ke tukang cukur langganannya, Daeng Janggo’
dengan membawa poster Wakil Presiden yang dia pinjam dari sekolah tempat dia
mengajar. Sejak itu, model rambut seperti model rambut ayahku dinamai model
Umar. Kalau kalian mau mengikuti model rambut ayahku, datang saja ke Daeng Janggo’
dan minta model rambut Umar.
Perlahan
dia sibak pintu kelambu dan duduk di pinggir tempat tidur, sepertinya siap
memenuhi janjinya semalam.
“Kau
belum tidur kan, La Upe’?”
“Belum
ayah, saya menunggu dongeng yang ayah janjikan semalam.”
“Serius
kau mau mendengar ayahmu ini berdongeng?”
“Tentu
ayah, saya rindu suasana dimana seorang pangeran senantiasa mendengar dongeng
pengantar tidur sebelum terlelap.”
“La
Upe’, maukah kau berjanji bahwa dongeng ini tidak boleh engkau ceritakan kepada
orang lain?”
“Memangnya
kenapa ayah?”
“Dongeng
ini bukan dongeng biasa, dongeng ini telah diisi mantra oleh salah seorang
tokoh dalam dongeng itu sendiri, Nene Pakande namanya.”
Mendengar
keterangan ayah, saya menarik kain sarung hingga menutupi hampir seluruh
tubuhku. Nene Pakande adalah sosok yang begitu menakutkan, bukan hanya
bagi saya yang masih kanak-kanak, bahkan bagi sebagian besar warga di kampung
kami, Nene Pakande masih menjadi momok yang sangat menakutkan.
“Kenapa
terdiam? Apakah kau berubah pikiran?”
Tak mau
dicap sebagai penakut, saya memberanikan diri untuk berkata tidak.
“Tidak
ayah, saya tidak takut. Bukankah itu sekedar dongeng?”
“Kalau
memang demikian, baiklah saya akan menceritakan dongeng ini padamu.”
Saya menghela
nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Pusatkan
pikiran, dan minta perlindungan dari Allah agar tidak terkena tuah ilmu Nene
Pakande dari dongeng ini.”
“Bismillahirrahmanirrahim....”
Rapalku perlahan, kedua belah tanganku kutiup, saling kugosok-gosokkan, lalu
kuusapkan ke seluruh tubuh dengan harapan Nene Pakande tidak akan
menggangguku. Melihat tingkahku, lelaki yang kupanggil ayah itu tersenyum, lalu
memperbaiki posisi duduk untuk memulai ceritanya.
* *
*
Tersebutlah
sebuah kampung yang bernama Tenrita, hiduplah empat orang sahabat karib La
Lebba’ Pale’, La Lampê Tappi Bangkung, La Umpe’ Rai, dan La Paddaga-daga Bulu.
Mereka bertiga baru berusia belasan, tapi sudah terkenal karena kemuliaan hati
dan ketulusan jiwa yang mereka miliki. Mereka tak segan untuk menolong orang
yang kesusahan, membantu yang kesulitan, dan meringankan beban mereka yang
sedang dirundung masalah. Karena sifat baik mereka itulah maka keempatnya sangat
disukai oleh penduduk kampung Tenrita.
La
Lebba’ Pale’ dengan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis. Sudah
banyak orang tua yang mencoba menjadikannya sebagai menantu tetapi di tolaknya
dengan halus. Pemuda yang terkenal karena kedua telapak tangannya sangat luas,
bahkan menurut cerita memiliki telapak seluas lapangan sepak bola ini, belum
berniat untuk mengakhiri masa lajangnya.
La Lampê
Tappi Bangkung, seorang pemuda berperawakan tinggi dan agak kurus. Rambutnya
dibiarkan menjuntai sampai di pertengahan punggung, terlihat selalu tersisir
rapi dan diikat di bagian ujung dengan pita warna merah jambu. Kumis tebal
melintang di atas bibirnya yang lumayan tebal menunjukkan karakternya yang pemberani.
Ke mana-mana dia membawa parang yang demikian panjang, sehingga ujung parangnya
masih kelihatan di kaki tangga rumah panggungnya meskipun dia sudah
meninggalkan rumah selama tiga bulan lamanya.
La
Umpe’ Rai, sosok yang paling jorok di antara mereka bertiga. Pemuda ini tak
pernah mandi sekalipun sejak di lahirkan, maklum saja dia phobia air.
Inilah yang membuat dakinya demikian tebal menyelimuti seluruh tubuhnya,
kecuali pada bagian telapak kaki. Ketebalan dakinya memang tak tanggung-tanggung,
untuk mengukur ketebalannya, pernah suatu kali parang panjang milik La Lampê
Tappi Bangkung dipakai untuk menusuknya. Ketika parang itu sudah masuk menembus
daki La Umpe’ Rai, ujung pedangnya belum menyentuh kulitnya sedikitpun.
La
Paddaga-daga Bulu adalah sahabat paling muda diantara mereka berempat. Pemuda
pendek gempal ini seringkali di cemooh karena tubuhnya yang cetek, namun ini
berbanding terbalik dengan keahliannya bermain sepak raga. Di kampung Tenrita,
dia terbiasa menjadikan gunung sebagai pengganti bola dalam permainan sepak
raga. Sekali dia menendang gunung, terkadang sampai berhari-hari gunung itu
baru muncul dari balik awan untuk dia tendang kembali. Memang, dia memiliki
kaki Selebar tangan La Lebba’ Pale’.
Mereka
adalah empat sahabat yang tak terpisahkan, di mana ada salah seorang diantaranya,
di situ pasti ada yang tiga lainnya. Seorang mendapatkan kesulitan, mereka
berempat pasti ikut terlibat menyelesaikannya. Mereka saling mendukung dan
melindungi, bahkan mereka telah bersumpah untuk saling mengangkat sumpah
sebagai saudara dengan menggunakan jempol darah. Tentu pengecualian bagi La
Umpe’ Rai untuk menggunakan jempol kaki, karena jempol tangannya sangat susah
dilukai akibat begitu tebalnya daki yang menutupi.
Suatu
hari mereka mendengar kabar tentang seorang gadis cantik jelita mengadakan
sayembara untuk mencari calon suami yang bisa mendampinginya dalam mengarungi
kehidupan. Barang siapa yang bisa bertahan untuk tidur di rumah sang gadis,
semalam saja, maka dia adalah pemenangnya, dan berhak menjadi suami si gadis. Gadis
yang hidup sebatang kara ini, tinggal pada sebuah rumah panggung yang demikian
besar di kaki gunung Temmaka-maka.
Sudah
banyak pemuda dari berbagai kampung yang mencoba peruntungan dalam sayembara untuk
menjadi suami gadis yang mengaku bernama We Tenri Sanna ini, namun tak ada satupun
yang kembali. Pemuda itu seperti hilang, lenyap menguap ke udara. Begitu mereka
memasuki pintu rumah tersebut, tak pernah lagi mereka muncul keluar, bahkan
untuk sekedar menikmati indahnya pemandangan kaki gunung Temmaka-maka dari
teras rumah.
Empat
sahabat dari kampung Tenrita merasa penasaran dengan kejadian ini, mereka
merasa ada yang tidak beres dengan si gadis yang muncul entah dari mana itu.
Kehadiran We Tenri Sanna yang telah memakan korban puluhan pemuda dari berbagai
kampung membuat mereka berniat mengusut apa sebenarnya yang terjadi. Merekapun
menyusun rencana pengintaian.
Ketika
seorang pemuda kampung Tenrita yang bernama La Putê Mata berangkat menuju rumah
We Tenri Sanna, La Lebba’ Pale’ dan para sahabatnya telah lebih dulu ada di
sekitar rumah tersebut melakukan pengintaian. Begitu La Putê Mata tiba di
halaman rumah, La Paddaga-daga Bulu telah siap di bawah rumah, La Umpe’ Rai di
sisi kiri, La Lampê Tappi Bangkung di sisi kanan dan La Lebba’ Pale’ di atap
rumah.
Ketika
La Putê Mata memasuki pintu rumah, dia langsung disambut dengan ramah oleh We
Tenri Sanna, mereka berbincang secara hangat, menikmati berbagai penangan enak
yang disiapkan tuan rumah. Tak ada yang mencurigakan sampai malam tiba. La Putê
Mata dipersilahkan untuk istirahat di sebuah kamar di sisi depan rumah sebelah kanan
sambil menunggu tuan rumah mempersiapkan hidangan makan malam yang akan
dihidangkan pas tengah malam nanti.
Menjelang
tengah malam, keanehan pun dimulai. Ketika La Putê Mata terlelap, dari arah
belakang rumah muncul seekor babi jantan gemuk dengan memakai rantai emas
menaiki tangga rumah bagian belakang. We Tenri Sanna membuka pintu dan
menyambutnya, begitu melewati pintu, babi jantan itu menjelma menjadi sesosok
tubuh lelaki tinggi, yang gagah perkasa, dadanya bidang, bahunya kekar. Mereka
lalu berbincang dan bercengkrama sejenak.
Begitu
waktu menunjukkan pas tengah malam, lelaki jelmaan babi itu naik ke atas meja
makan yang di atasnya telah tertata berbagai piring dan mangkuk kosong yang
terbuat dari keramik. Dia kencing ke dalam mangkuk sayur, berak ke atas bakul
nasi, lalu muntah ke atas piring ikan, dan meludah ke piring sambel. Begitu dia
selesai, di atas meja makan telah terhidang berbagai jenis makanan nikmat yang
mengundang selera.
Tak
lama kemudian, dia meninggalkan We Tenri Sanna yang sudah berhias secantik
mungkin. Begitu melewati pintu, lelaki itu kembali menjelma menjadi seekor babi
jantan gemuk dengan seuntai rantai emas melingkar di leher. Saat itulah, We
Tenri Sanna membangunkan La Putê Mata dan mengajaknya untuk bersantap malam
dengan diterangi oleh pelita. Semua kejadian itu, disaksikan oleh La Lebba’
Pale’ dan kawan-kawannya dalam diam dan nafas yang tertahan.
La Putê
Mata menyantap hidangan dengan lahap, nasi putih yang mengepul dan beraroma
harum, sayur paria kambuh berkuah santan, ikan Baronang bakar, sambel tomat,
serta ikan Bandeng di masak pallu kacci. We Tenri Sanna tak ikut makan, hanya
memperhatikan La Putê Mata sambil sesekali melemparkan senyum yang luar biasa
indahnya.
Begitu
selesai makan, La Putê Mata merasa demikian mengantuk sehingga dia pamit untuk
melanjutkan istirahatnya. Namun baru beberapa langkah dia beranjak dari meja
makan, tubuhnya terhuyung, melayang jatuh ke lantai kayu. Dengan cepat We Tenri
Sanna melompat menahan tubuh tersebut dengan satu tangan, dan dengan ringannya,
tubuh La Putê Mata dia angkat masuk ke ruang tidurnya sendiri yang berada tepat
di samping ruang makan.
Tubuh
La Putê Mata diletakkan di atas pembaringan yang berbalut sutera, lengannya
disedekapkan di atas dada ibarat laku sembahyang. Dari samping lemari hias, We
Tenri Sanna mengeluarkan sebuah mangkuk dupa, dinyalakannya, dan asap beraroma
harum pun mengepul memenuhi seantero ruangan. Dia duduk bersila di atas
pembaringan tepat di samping tubuh La Putê Mata, mulutnya merapal mantera dan
sepasang tangannnya menari-nari di sekujur badan La Putê Mata.
Ketika
asap dupa sudah mulai memudar, perlahan We Tenri Sanna mengecup sepasang bibir
La Putê Mata yang menyebabkannya terbangun. Tak ada kata yang keluar dari mulut
La Putê Mata, hanya seuntai senyum yang begitu sayu dan pandangan mata kosong.
Perlahan dia turun dari pembaringan, diikuti oleh We Tenri Sanna. Mereka
berjalan ke luar kamar dan langsung menuju pintu belakang.
Begitu
pintu belakang tersibak, di sana ternyata telah menanti seekor babi jantan
gemuk dengan memakai rantai emas. La Putê Mata terus melangkah, ketika melewati
pintu menuju tangga, tubuhnya pun menjelma menjadi seekor babi, tak jauh beda
dengan babi yang menunggunya di ambang pintu. Kedua babi itu pun berjalan
beriringan meninggalkan rumah menuju hutan. We Tenri Sanna menutup pintu
belakang, menuju kamar tidur, dan terlelap hingga pagi.
Begitu
sinar mentari berpendar menyinari bumi, berita kehilangan La Putê Mata juga
tersebar demikian cepat. Penduduk desa kembali gempar akan kejadian aneh yang
tak bisa terjelaskan ini. Tiba-tiba saja La Putê Mata raib seperti ditelan
bumi, tak ada kabar, tak ada berita. Seakan-akan kehilangannya memang sudah
dipastikan sejak dulu.
Empat
sahabat dari kampung Tenrita, baik
La Paddaga-daga Bulu, La Umpe’ Rai, La Lampê Tappi Bangkung dan La Lebba’ Pale’
pun tak mampu menjelaskan peristiwa aneh yang mereka saksikan bukan dengan mata
pinjaman, melainkan dengan mata mereka sendiri yang melekat di kepala
masing-masing. Mereka yakin, kehilangan La Putê Mata jelas berhubungan dengan kejadian
aneh yang melingkupi kehadiran We Tenri Sanna di kaki gunung Temmaka-maka, tapi
bagaimana membuktikannya?
* *
*
“Ayah,
apa La Lebba’ Pale’ dan kawan-kawannya berhasil mengungkap misteri We Tenri
Sanna?” Saya penasaran dengan kelanjutan kisah yang diceritakan ayah.
“Kau
mau tahu kelanjutannya La Upe’?”
“Mau
dong ayah..” Jawabku antusias.
“Kalau
begitu, tidurlah. La Putê Mata akan menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya
sejak dia menjelma menjadi seekor babi di tangga belakang rumah We Tenri Sanna.
Tapi besok malam ya.”
“Baiklah,
selamat tidur Ayah.
“Selamat
tidur Nak.”
Lelaki
yang selalu kusapa ayah itu membetulkan letak selimut di atas tubuh ringkihku.
Perlahan dia beranjak dan mematikan lampu kamar sambil menutup pintu.
.....bersambung
Tags:
Cerita Pendek