[03.12.2014] Kau
tahu, Nak? Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya bila menanti kelahiran
kakak-kakakmu. Itu karena semua kelahiran mereka, mamamu selalu didampingi oleh
ibunya, nenekmu. Tapi kali ini berbeda, aku yang harus mendampingi mamamu di kamar
bersalin, nenekmu harus pergi untuk sebuah urusan mendesak.
Sudah
pukul 10 pagi lewat sekian menit sekarang, dirimu belum lahir juga, padahal
mamamu sudah bersiap di ruang bersalin sejak pukul 1 dinihari tadi. Aku juga
belum sempat mandi sedari tadi, cuma gosok gigi, dan wudu sebelum salat yang
menyambutku di subuh tadi. Sarapan kujalani dengan sekedarnya di sebuah moko,
yang mangkal di sudut kanan halaman rumah sakit ini.
Gelisah
berkecamuk, sejak semalam tak penah lelap walau sejenak. Rutinitas andalanku
bila gelisah, membaca, juga tak mampu menghalau rusuh hati penantian ini. Sebuah
novel lama dari Tere Liye, penulis yang konon disukai banyak pembaca teenlit juga tak membuatku tertarik,
padahal baru kali ini aku mencoba mendaras karyanya.
Sesekali
kuintip pula halaman-halaman Dibawah
Bendera Revolusi, buku klasik yang aku beli khusus untuk menyambut
kehadiranmu. Namun kumpulan tulisan Bung Karno, presiden kita yang legendaris
itu, tak juga mampu membuatku tenang. Alhasil, buku itu, kutumpuk dengan
bukunya Tere Liye, kadang berfungsi sebagai pengganjal kepala saat aku
selonjoran di kursi ruang tunggu kamar bersalin.
Hal
lain yang menggelisahkan, selain harus menemani langsung mamamu di kamar bersalin,
adalah soal namamu. Menurut dokter, dirimu seorang lelaki, sementara aku tak
memiliki begitu banyak pilihan untuk nama seorang anak lelaki. Maka gelisahku
menjadi semacam mesin pencari untuk sebuah nama yang pas di lidah.
Yang
pasti, namamu harus menegaskan identitas kultur lokal, sebagaimana kakak-kakakmu.
Maka kusiapkanlah Tenri Tatta, gelar yang juga disandang oleh tokoh
kontroversial, Arung Palakka, Raja Bone yang diposisikan menjadi antitesa dari
kepahlawanan Raja Gowa-Tallo, Sultan Hasanuddin. Sebuah nama yang menunjukkan
superioritas, tentu dengan harapan pada hal-hal positif semata.
Namun
kata tatta dalam bahasa Makassar, dengan penekanan pada suku kata terakhir
berarti ditebas, tak elok di makna menurut mamamu. Maka aku harus mempertimbangkan
ulang nama itu. Pikir punya selidik, sampailah aku pada ingatan pada sebuah
nama yang sering kugunakan, dulu, saat aku lagi gandrungnya menulis puisi dan
cerita pendek. Tenri Angka, demikian aku menamai diriku, dulu.
Akhirnya,
ada juga yang mewarisi nama itu, pikirku. Mamamu pun merasa nyaman melafalkan
nama itu, maka resmilah ia menjadi nama belakangmu. Namun pertanyaan berikutnya
adalah, Tenri Angka dalam hal apa? Kau tak tertandingi, kau tepermanai dalam
hal apa? Dalam hal kecerdikan (to acca),
kecendekiaan (to panrita), atau dalam
hal kekayaan (to sugi’)?
Saya
coba googling mencari masukan terkait pilihan ini, kutemukan sebuah nasehat
singkat dari menantu rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib ra. kepada seorang
sahabatnya, Kumail bin Ziyad
an-Nakhai yang dinukil dari buku Syarah
Doa Kumail, karya Ayatullah Husein Ansariyan.
Kumail, ilmu lebih baik dari harta, karena ilmu melindungimu sedangkan harta harus kau lindungi. Harta berkurang ketika dibelanjakan, tetapi ilmu justeru bertambah saat kau bagikan. Segala sesuatu yang kau peroleh dari pengumpulan harta akan sirna bersama dengan habisnya harta, tetapi apa yang kau peroleh berkat ilmumu akan menetap meski setelah engkau tiada.
O Kumail! Ilmu itu kekuatan dan ia bisa memerintahkan ketaatan. Seorang yang berilmu saat hidupnya akan membuat orang menuruti dan mengikutinya, dan ia dihormati meski setelah kematiannya. Ingatlah bahwa ilmu itu pengatur dan kekayaan adalah yang diaturnya.
Wahai Kumail, pengetahuan adalah iman yang diamalkan. Bersamanya manusia mendapat ketaatan dalam hidupnya dan nama baik setelah matinya. Pengetahuan adalah penguasa sedang harta dikuasai.
Wahai Kumail, orang yang mengumpul harta adalah orang mati sekalipun mereka masih hidup, sementara orang yang berilmu adalah orang yang hidup abadi sepanjang zaman, mungkin tubuh mereka telah lenyap, tapi nama mereka berada di hati (manusia).
Membaca
nasehat ini, aku putuskan lebih menitikberatkan pengharapan kami padamu dalam
hal kecendekiaan, dan mamamu setuju. Kami lebih memilih kecendekiaan daripada
kecerdikan, karena dalam perspektif kami, kecerdikan lebih berdimensi personal,
sementara dalam kecendekiaan, termaktub pesan tentang tanggungjawab sosial.
Kecendekiaan
lebih sejalan dengan intelegensia, istilah yang begitu lugas diulas oleh Yudi
Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, disertasinya yang kemudian menjelma
menjadi kitab yang keren. Pun selaras dengan ulul albab, intelektual paripurna
dalam dalam perspektif Ali Syari’ati, pemikir Iran yang rupawan itu.
Buat
apa cerdik, kalau kecerdikan itu tak membuatmu mengurusi masyarakatmu, malah
kecerdikan itu menjadi alat untuk melecehkan harga diri, dan memerkosa derajat
kemanusiaan. Jadilah cendekia, bukan sekedar cerdik. Jadilah to panrita, bukan sekedar to acca. Jadilah dia yang menjadi juru
bicara masyarakatnya, menjadi suluh dan penerang baginya. Jadilah panrita yang
tepermanai kepanritaannya, Panrita Tenri Angka.
Setelah
ini, mamamu masih kuajak diskusi untuk sebuah nama depan yang sedikit gaul. Pilihan
yang muncul adalah nama dari bahasa Sanskerta: Mahatma atau Aditya. Mungkin ini
pengaruh trend kontemporer, demam Hindustan melanda jagad pergosipan Nuswantara.
Bahkan mamamu termasuk anggota tak resmi dari mahasinema Jodha-Akbar Fans Club.
Mahatma
berarti berjiwa besar, sementara Aditya bermakna pandai dan bijaksana. Mamamu
memilih Aditya dengan alasan sederhana, lebih indah dia dengar, mungkin dia tak
tahu kalau aku ini mengidolakan Gandhi, lelaki yang diberi gelar Mahatma, pertama
kali oleh Grudev atau yang lebih dikenal dunia sebagai Rabindranath Tagore atau
Rabindranath Thakur, sastrawan besar tanah Bengali ini.
Tapi
aku kemudian menyepakati mamamu, dan ini semua karena pengaruh Soekarno dalam
salah satu tulisannya dalam Dibawah Bendera Revolusi ketika bung besar itu melontarkan
kritik terhadap gerakan Gandhi dan membandingkannya dengan aksi non-kooperatif
yang dijalankannya di zaman revolusi sebelum kemerdekaan.
Selain
itu, aku juga sempat mengintip sebuah wawancara singkat dari seorang filsuf
eksentrik yang gagal menjadi presiden Slovenia, Slavoj Zizek. Bagi Zizek, Gandhi
lebih kejam dari Hitler, sebab prinsip ahimsa dari Gandhi justru membuat
penjajah Inggris pada saat itu, malah bebas bertindak kejam tanpa perlawanan sama
sekali.
Kedua
orang itu, ikut bertanggungjawab berkurangnya kadar kekagumanku terhadap
Gandhi. Meskipun tentu pada beberapa sisi, dia tetap tak tergantikan sebagai
tokoh idola dalam kehidupanku. Maka jadilah namamu, Aditya Panrita Tenri Angka.
Kemudian dilengkapi oleh kakek dan nenekmu dengan gelar pa’daengang, Daeng
Sibali. Terkait ini, lain kali akan kututurkan padamu sejarah keterpilihannya.
Salama’ki’ Nak.
Tags:
Aditya