[02.01.2015]
Mendekati detik ke 2400 menanti pesanmu, aku memilih merebahkan diri di teras
Masjid Nur Al Aqsa. Hanya di teras, sebab sebagaimana kemarin dan hari-hari
sebelumnya, pintu masjid ini selalu terkunci di pagi hari. Mungkin untuk
mencegah orang-orang sepertiku memanfaatkan bagian dalam masjid sebagai tempat
tidur.
Perlahan hujan turun, menyambut detik ke-2953
penantianku. Mataku terpejam, kantuk mulai mendapatkan bayarannya, aku tidur.
Tidur di teras masjid dalam balutan jaket, kaus tangan, dan masker anti debu
yang masih terpasang. Lumayan menghalau dingin dari ubin dan dari tempias
hujan.
Sekira 600 detik aku terlelap, tidurku terusik oleh
aroma sengak tembakau menembus maskerku yang konon anti debu. Hidung dan
paru-paruku memang agak peka dengan nikotin. Mataku terbuka, samar-samar
kulihat seorang lelaki tua dengan tubuh ringkih duduk di bibir teras masjid.
Dengan nikmat dia hisap dalam-dalam rokok kretek
murahan yang menmgepulkan asap ibarat knalpot motor butut yang sudah tak laik
pakai. Baju kaus oblong sisa kampanye legislatif bergambar salah seorang calon
legislator gagal, terlihat basah membalut tubuhnya. Celananya cuma selutut,
terlihat kumal dan penuh noda.
Sesekali kulihat lelaki kucel itu memandangi rokok
yang dia jepit di sela jari manis dan jari kelingkingnya, sambil tertawa
kegirangan. Namun terkadang dia memandang ke angkasa dengan muka mendung,
bahkan ada gerimis yang bergulir dari kedua matanya. Aku mencoba mereka-reka, entah
apa yang dia pikirkan.
Tak pernah sedikitpun dia peduli dengan hadirku,
seakan di teras masjid itu hanya ada dirinya seorang. Tapi tunggu, dia seperti
menggumamkan sesuatu. Kupusatkan konsentrasiku pada telinga, coba mendengar
celotehnya yang begitu sayup. Di sela-sela celotehnya, dia terkekeh, sampai
bahunya terguncang-guncang.
Beberapa kata yang sempat kupahami dari 427 detik
dia mengoceh sendiri adalah: "hu hu
hu.... (menggeleng-geleng kepalanya ke kanan dan ke kiri) hehehehehe.... ana al
haq... (menepuk-nepuk pahanya) hahahahaha... (dia mengisap rokoknya dalam-dalam
lalu menghembuskan asapnya ke atas) allah allah allah...
hihihihihi...(tangannya menjangkau-jangkau mencoba menggenggam asap)"
Aku kaget mencerna kalimat-kalimat singkatnya, bulu
kudukku meremang, aku bangkit duduk, beringsut agak menjauh darinya. Dia
berbalik menatapku, seperti menyadari hadirku. Tiba-tiba dia menunjuk ke arahku
dan berteriak histeris, dia melolong, mengerang dan menangis sejadi-jadinya.
Rokok di tangan dia banting, lalu dia berdiri dan menari berjingkatan di bawah
hujan yang mulai menderas.
"Ooo
anak muda, lamamu mamo tersesat." Ujarnya sambil terus menari.
Aku mencoba mencari-cari, dengan siapa dia berucap,
tak ada orang lain di sana, hanya kami berdua. Sepertinya ucapan itu ditujukan
padaku.
"Sinikoe,
joge'ki', samaki', bersihkan itu dirimu, kotor sekali mako. Jangko berharap
bisa ketemu yang Maha Suci kalau tidak suciko juga." Benar, ucapan itu
dia tujukan padaku.
Jingkratannya makin menjadi, seiring hujan yang
kian menderas dan angin yang kian mendesau. Kudengar mulutnya terus berkicau,
"hu...hu...hu..." di sela
gemuruh hujan. Melihat diriku yang tidak juga beranjak, sambil menari, dia
memercik-mercikkan air ke mukaku. Gelagapan aku terbangun dan bangkit berdiri,
mukaku kuyup oleh tempias hujan, tak ada lagi sesiapa di sekitarku. Tidurku
pulas rupanya.
"PING",
perangkat Blackberry bututku berbunyi tepat pada detik 3427 penantianku, sebuah
pesan mampir melalui Blackberry Messenger, darimu. "Kak, jemputma', saya sudah jalan ke luar." Kujawab singkat,
"Ok. Saya otw." Kupacu
motorku dengan tanya besar yang menganga tentang kakek ringkih yang menemani
tidurku tadi.
Tags:
Catatan Hati