[12.01.2015]
Usianya masih muda, sekira 30an tahun. Badan tinggi langsing dengan muka tirus.
Janggut tipis menghiasi dagunya yang lancip, ujung rambut tergerai menutupi
sebagian muka, nampak selalu basah. Kulit mukanya agak gelap, namun selalu
bersih bercahaya, akar kumis terlihat samar di atas bibir, sepertinya selalu di
cukur bersih.
Saban hari dia muncul di teras
masjid tempatku menanti. Dia datang pada pukul 08.22 pagi, hampir selalu pada
waktu yang sama. Dengan motor bebek sporty, sepertinya sudah dipermak ulang
menjadi kian trendy. Jaket kulit warna coklat tak pernah lepas dari tubuh,
sepatu kulit berujung lancip dengan warna senada juga setia melindungi sepasang
kakinya.
Begitu dia parkir motornya di halaman
masjid Nur al-Aqsha, dekat tempatku selalu menanti, dia akan melangkah pasti ke
arah kamar kecil, masuk ke dalamnya, dan keluar setelah 180 detik berlalu.
Selanjutnya dia akan ke tempat wudhu, dia mensucikan diri selama 100 detik. Dia
membasuh anggota badannya dengan begitu lembut dan hati-hati. Mungkin di setiap
tetes air, tak lupa dia titip doa.
Selepas itu, dia akan menuju tempat
favoritnya di masjid itu, teras belakang, tepat sebelah kanan pintu masuk
bagian belakang. Tanpa peduli tatapanku yang saban hari memperhatikan segala
gerak-geriknya secara ditail, dia akan mendirikan sholat dhuha. Konsisten, dia
melakukannya sebanyak 8 rakaat tiap hari, tak lebih dan tak kurang.
Selesai delapan rakaat, dia selalu duduk
bersila, kepala ditekuk rendah, dan tangan tengadah, dia berdoa. Entah doa apa
yang selalu dia lantunkan, pinta apa yang dia haturkan, serta hajat apa yang
dia harapkan. Dia akan berdoa selama 420 detik, dan di 120 menit terakhir, air
matanya akan menitis perlahan, sepetinya sebutir air mata dalam setiap 3 detik.
Begitu doanya pungkas, dia akan mengusap
air matanya dengan punggung tangan, lalu beranjak ke tangga masjid yang cuma
dua undakan di sisi rak sepatu, tempat dia menitip sepasang sepatu kulit
berwarna coklatnya dan berujung lancip. Tapi alih-alih mengambil lalu memasang
sepatunya, dia malah mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jaket kulitnya.
Sesuatu yang seperti dompet, juga
berwarna coklat. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bukan dompet,
tapi sebuah mushaf Al Quran berukuran saku. Mau mengaji dia rupanya. Untuk
memastikan, aku beringsut mendekat, kulihat dia perlahan membuka mushaf, dia
telusuri halaman yang ada pembatasnya, dan dia mulai membaca rangkaian huruf
hijaiyyah yang tersaji dengan kualitas makhrajal huruf yang membuat iri.
Lamat-lama, suaranya yang berat dan dan
agak serak, terdengar begitu merdu, dia punya cengkok yang khas, berbeda dari
As Sudais, Al Ghomidy, ataupun Muammar ZA. Dia mengaji dengan cengkoknya
sendiri, gaya bahasa yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Hal ini membuatku
tak beranjak, kunikmati bacaan Al Quran-nya dalam diam, sudah lama aku tak
mendengar orang mengaji secara langsung, sebelum-sebelumnya, aku cuma menikmati
murottal dari pemutar mp3 di handphone, itupun tak sering.
Setelah berlalu 125 detik, aku menyadari
kalau dia lagi membaca ayat-ayat dalam Surah Al A'raf. Pada detik itu, kulihat
terhenti di sepenggal kalimat pada ayat 172, "alastu bi robbikum?". Dia mengulang kalimat tanya itu
berulang-ulang, kulihat kepalanya menggeleng perlahan ke kanan dan ke kiri,
sepertinya dia begitu berat melanjutkan, atau dia mungkin merenungkan jawaban
yang tepat atas pertanyaan tersebut.
Sudah 65 detik berlalu, dia menghentikan
gelengannya, kepalanya ditekuk, samar kulihat lagi-lagi air matanya menitis,
cuma sekilas, setelahnya dia melanjutkan membaca. Sampai pada kalimat, "balaa,
syahidnaa", dia lagi-lagi berhenti, mata dia pejam, kepala dia
dongakkan ke atas, dan mulutnya mengucap tegas, "syahidnaa, syahidnaa,
syahidnaa". Badannya bergetar perlahan.
Aku pikir dia sudah akan menghentikan
aktivitas mengajinya, rupanya tidak, dia masih terus membaca, dan aku juga
masih terus menguping. Sampai pada ayat 179, "lahum quluubun laa
yafqahuuna bihaa, wa lahum a'yunun laayubsiruuna bihaa, wa lahum adzaanun laa
yasmauuna bihaa", dia berhenti sejenak lalu lanjut lagi, "ulaaika
qal an'aam, balhum adhallum, ulaaika humul ghoofiluun". Begitu ayat
179 pungkas, dia memasang sepatunya dan beranjak pergi. Tinggal aku yang
terhenyak, dadaku terasa sesak, seperti habis dihantam palu godam.
Pesanmu belum juga tiba.
Tags:
Catatan Hati