Pada 3427 Detik Penantianku #2

[12.01.2015] Usianya masih muda, sekira 30an tahun. Badan tinggi langsing dengan muka tirus. Janggut tipis menghiasi dagunya yang lancip, ujung rambut tergerai menutupi sebagian muka, nampak selalu basah. Kulit mukanya agak gelap, namun selalu bersih bercahaya, akar kumis terlihat samar di atas bibir, sepertinya selalu di cukur bersih.

Saban hari dia muncul di teras masjid tempatku menanti. Dia datang pada pukul 08.22 pagi, hampir selalu pada waktu yang sama. Dengan motor bebek sporty, sepertinya sudah dipermak ulang menjadi kian trendy. Jaket kulit warna coklat tak pernah lepas dari tubuh, sepatu kulit berujung lancip dengan warna senada juga setia melindungi sepasang kakinya.

Begitu dia parkir motornya di halaman masjid Nur al-Aqsha, dekat tempatku selalu menanti, dia akan melangkah pasti ke arah kamar kecil, masuk ke dalamnya, dan keluar setelah 180 detik berlalu. Selanjutnya dia akan ke tempat wudhu, dia mensucikan diri selama 100 detik. Dia membasuh anggota badannya dengan begitu lembut dan hati-hati. Mungkin di setiap tetes air, tak lupa dia titip doa.

Selepas itu, dia akan menuju tempat favoritnya di masjid itu, teras belakang, tepat sebelah kanan pintu masuk bagian belakang. Tanpa peduli tatapanku yang saban hari memperhatikan segala gerak-geriknya secara ditail, dia akan mendirikan sholat dhuha. Konsisten, dia melakukannya sebanyak 8 rakaat tiap hari, tak lebih dan tak kurang.

Selesai delapan rakaat, dia selalu duduk bersila, kepala ditekuk rendah, dan tangan tengadah, dia berdoa. Entah doa apa yang selalu dia lantunkan, pinta apa yang dia haturkan, serta hajat apa yang dia harapkan. Dia akan berdoa selama 420 detik, dan di 120 menit terakhir, air matanya akan menitis perlahan, sepetinya sebutir air mata dalam setiap 3 detik.

Begitu doanya pungkas, dia akan mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu beranjak ke tangga masjid yang cuma dua undakan di sisi rak sepatu, tempat dia menitip sepasang sepatu kulit berwarna coklatnya dan berujung lancip. Tapi alih-alih mengambil lalu memasang sepatunya, dia malah mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jaket kulitnya.

Sesuatu yang seperti dompet, juga berwarna coklat. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bukan dompet, tapi sebuah mushaf Al Quran berukuran saku. Mau mengaji dia rupanya. Untuk memastikan, aku beringsut mendekat, kulihat dia perlahan membuka mushaf, dia telusuri halaman yang ada pembatasnya, dan dia mulai membaca rangkaian huruf hijaiyyah yang tersaji dengan kualitas makhrajal huruf yang membuat iri.

Lamat-lama, suaranya yang berat dan dan agak serak, terdengar begitu merdu, dia punya cengkok yang khas, berbeda dari As Sudais, Al Ghomidy, ataupun Muammar ZA. Dia mengaji dengan cengkoknya sendiri, gaya bahasa yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Hal ini membuatku tak beranjak, kunikmati bacaan Al Quran-nya dalam diam, sudah lama aku tak mendengar orang mengaji secara langsung, sebelum-sebelumnya, aku cuma menikmati murottal dari pemutar mp3 di handphone, itupun tak sering.

Setelah berlalu 125 detik, aku menyadari kalau dia lagi membaca ayat-ayat dalam Surah Al A'raf. Pada detik itu, kulihat terhenti di sepenggal kalimat pada ayat 172, "alastu bi robbikum?". Dia mengulang kalimat tanya itu berulang-ulang, kulihat kepalanya menggeleng perlahan ke kanan dan ke kiri, sepertinya dia begitu berat melanjutkan, atau dia mungkin merenungkan jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut.

Sudah 65 detik berlalu, dia menghentikan gelengannya, kepalanya ditekuk, samar kulihat lagi-lagi air matanya menitis, cuma sekilas, setelahnya dia melanjutkan membaca. Sampai pada kalimat, "balaa, syahidnaa", dia lagi-lagi berhenti, mata dia pejam, kepala dia dongakkan ke atas, dan mulutnya mengucap tegas, "syahidnaa, syahidnaa, syahidnaa". Badannya bergetar perlahan.

Aku pikir dia sudah akan menghentikan aktivitas mengajinya, rupanya tidak, dia masih terus membaca, dan aku juga masih terus menguping. Sampai pada ayat 179, "lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa, wa lahum a'yunun laayubsiruuna bihaa, wa lahum adzaanun laa yasmauuna bihaa", dia berhenti sejenak lalu lanjut lagi, "ulaaika qal an'aam, balhum adhallum, ulaaika humul ghoofiluun". Begitu ayat 179 pungkas, dia memasang sepatunya dan beranjak pergi. Tinggal aku yang terhenyak, dadaku terasa sesak, seperti habis dihantam palu godam.


Pesanmu belum juga tiba.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama