Pada 3427 Detik Penantianku #3

[03.02.2015] Sepasang kupukupu bersayap kuning keemasan dengan corak hijau muda terbang perlahan mengitari pohon asoka yang berbunga lebat. Sepasang kupukupu itu saling berlomba hinggap dari satu rumpun bunga ke rumpun yang lain. Di bawah siraman sinar mentari yang hangat, mereka berpacu mengisi pagi.

Tiga ekor burung gereja terbang rendah, lalu mendarat di sekitar pokok bunga asoka tempat sepasang kupukupu bersayap kuning emas, berpesta bunga dan cahaya mentari. Mereka saling memperebutkan bunga asoka yang mulai mengering dan berserakan. Berlompatan ke sana, ke sini, menambah hangatnya pagi yang bermandi cahaya.

Aku yang duduk duduk di teras masjid, menikmati suara Brothers --tim nasyid dari negeri jiran Malaysia, melantunkan "Kesaksian" dan "Epilog Seorang Hamba", sambil pandanganku tak pernah beralih dari aktivitas sepasang kupukupu dan tiga ekor burung gereja. Sudah 362 detik aku menikmati keindahan pagi yang mulai langka di kota sebesar dan sepadat Makassar.

Aih, lihat. Ketika Brothers berganti melantunkan "Teman Sejati", sudut mataku menangkap keindahan lain, seekor kupukupu terbang sendiri, kupukupu bersayap hitam bertotol-totol kuning itu lalu hinggap di daun kunyit yang tumbuh berjejer di sudut kiri halaman depan Masjid Nur al-Aqsha. Penantianku pagi ini menjadi begitu luar biasa, berteman cahaya mentari, kupukupu, bebungaan dan burung gereja.

Karena merekalah, penantianku yang menjemukan sejak 436 detik sebelum pukul 08.00 pagi menjadi impas. Aku merasa waktu menjadi melambat, bahkan berhenti. Mungkin inilah yang dimaksud Heidegger sebagai mistik keseharian. Sebuah pengalaman eksistensial yang sudah demikian langka menurut filosof fenomenolog dari Jerman itu.

Pesanmu yang masuk melalui BBM, menyela, "Tunggu sebentar ya, Kak." Pesan itu membuatku merasa bahagian bisa menanti lebih lama lagi, ini berarti masih tersedia waktu buatku untuk menikmati pagi yang cerah ini. Kuketik pesan balasan di tombol querty BB-ku, "Oke, tak usah terburu-buru, sayang." Setelah itu, kutekan tombol 'Send', muncul tanda centang di depan pesanku, lalu di depan tanda centang muncul huruf 'D' yang perlahan berganti menjadi 'R'.

Tak lama, terdengar suara bernada bariton dari teras belakang masjid, "fabiayyi aalaai rabbi kumaa tukadzdzibaan." Itu pada detik 1237. Aku beringsut melihat sumber suara, seorang lelaki paruh baya berjalan menuju tempat wudhu, sepertinya dia hendak bersuci. Lelaki yang memakai surban dan jubah ini, mengingatkanku pada sebuah kelompok Islam yang berpusat di anak benua India. Sebuah kelompok Islam yang mengedepankan pentingnya keluar berdakwah di jalan Allah, Jamaah Tabligh.

Entah dari mana dia datang, mungkin dari teras masjid sebelah kiri? Sebab aku memang tak pernah memperhatikan sisi sana. Sejak penantian panjangku, aku hanya selalu berada di teras kanan, dan sesekali ke teras belakang bila ingin mengakses kamar kecil dan tempat berwudhu. Dia juga seperti tidak peduli dengan kehadiranku, berkali-kali dia ulang penggalan ayat dari surah Ar-Rahman, sekira 93 detik, sampai dia tiba di tempat wudhu.

Dia mengeluarkan sebuah benda ibarat pena dari saku jubah hijau mudanya. Rupanya itu siwak, sejenis tumbuhan yang menurut riwayat, digunakan oleh nabi yang mulia, Muhammad saw sebagai alat untuk menyikat giginya. Dia membersihkan giginya sebelum berwudhu. Aku jadi teringat dengan diriku yang sering lalai akan sunnah yang ini, sejak pagi aku belum sikat gigi. Soalnya sih sederhana, gusiku rentan terluka oleh bulu sikat gigi, bahkan yang halus sekalipun, bagaimana kalau pakai siwak yang bulunya lebih kasar ya?

Ah, tapi kenapa aku malah fokus memperhatikan lelaki itu? Dia mengalihkan perhatianku cukup lama, ada sekira 316 detikku habis hanya untuk mengamatinya. Kualihkan pandanganku kembali menikmati detail gerak kupukupu, kuntum bunga, dan burung gereja. Sesekali kulirik layar BBku untuk memastikan kedatangan pesan baru darimu.

647 detik berlalu, mentari mulai meninggi, burung gereja terbang menjauh, entah ke mana. Sepasang kupukupu bersayap kuning emas juga meninggalkan rimbun bunga asoka, dan membiarkannya kesepian. Sementara itu, kupukupu bersayap hitam bertotol kuning juga terbang meninggi. Lampu indikator di sudut kanan atas BBku, berkedip-kedip merah, tanda bahwa pesanmu sudah tiba dan penantianku hari ini, berakhir. Masih terngiang di telingaku suara bariton dari teras belakang masjid, "fabiayyi aalaai rabbi kumaa tukadzdzibaan."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama