Pada 3427 Detik Penantianku #4

Pagi ini, pada detik 49 aku tiba, aku teringat dengan sepenggal cerita yang dituturkan oleh D. Zawawi Imron dalam bukunya, 'Sate Rohani Dari Madura'. Alkisah ada seorang perempuan tua penjual bunga. Perempuan itu, saban siang mampir di sebuah masjid untuk melaksanakan sholat dhuhur. Yang istimewa darinya, bukan hanya konsistensinya sholat dhuhur berjamaah di masjid, meski bunga jualannya belum laku sama sekali, bukan itu.

Yang menarik adalah aktivitas perempuan tua itu selepas sholat. Ketika jamaah bubar, dia akan berjalan perlahan dengan tubuhnya yang mulai bungkuk lalu memunguti satu persatu daun ketapang yang mengotori halaman masjid. Sudah berhari-hari dia melakukan aktivitas itu, bahkan pengurus masjidpun tak tahu, sejak kapan rutinitasnya itu dia mulai. Dia akan memunguti dedaunan kering hingga halaman masjid menjadi bersih.

Karena prihatin, seorang remaja masjid berinisiatif membersihkan halaman itu sebelum dhuhur, dan berjanji dalam hati untuk berusaha melakukan itu tiap hari. Dia merasa kasihan bila perempuan yang sudah lumayan tua itu harus memunguti lembar demi lembar daun ketapang setelah dhuhur yang terik hanya untuk membersihkan halaman masjid. Dia yang masih muda dan berbadan tegap, merasa lebih wajib melakukan itu.

Tapi ketika perempuan tua penjual bunga itu hendak melaksanakan kebiasaannya membersihkan, dirinya menemukan halaman masjid sudah kinclong, tak ada selembar daun ketapang pun yang tersisa. Di terduduk, bersimpuh di teras masjid, mukanya ditekuk, dari jauh terdengar isaknya tertahan. Perempuan tua penjual bunga itu menangis, sepertinya dia begitu sedih. Tangisnya mengundang perhatian si remaja masjid yang memang sedari tadi mengamatinya dari jauh.

"Kenapa Nek? Apa yang membuatmu bersedih?" Pemuda itu menyapa.
"Aku sedih karena tak bisa lagi membersihkan halaman masjid ini." Jawabnya.
"Kau tak perlu melakukan itu Nek. Biarkan kami yang muda ini mengerjakannya, lebih baik Nenek istirahat saja."
"Tidak Nak, kau tak tahu, aku harus tetap melakukan itu, biarkan daun itu tetap berserakan, agar aku bisa membersihkannya." Ujar si Nenek di sela tangisnya.
"Kenapa harus begitu, Nek?" Si Pemuda penasaran.
"Aku ini sudah tua Nak, sudah tidak bisa melakukan ibadah yang berat-berat, maka kumanfaatkanlah kegiatan membersihkan daun ketapang itu tiap siang sebagai sarana ibadah."
"Maksud nenek?"
"Setiap satu helai daun ketapang yang aku pungut, aku kirimkan shalawat kepada nabi kita Muhammad saw. Semoga dengan itu, aku berharap dapat syafaat darinya di akhirat kelak."

Sudah 1362 detik berlalu dari jam 8 pagi, awan hitam menggantung di langit sebelah timur. Kulihat perempuan tua sekira akhir 50an tahun berjalan memasuki pelataran masjid sambil menenteng kantong kresek berisi cairan pembersih lantai. Celana olahraga yang dikenakannya tergulung di ujung, tak seimbang antara kanan dan kirinya. Jilbab tua berwarna putih yang membalut kepalanya, dia lilit dan sampirkan di pundak, baju kaos berkerah, berlengan pendek, memperlihatkan wajah familiar pasangan calon presiden-wakil presiden yang berkuasa saat ini.

Perempuan itu berperawakan agak pendek, melangkah tanpa ragu menuju sudut tempat wudhu, di sana tergeletak ember, alat pel, sapu ijuk, dan sikat lantai. Pertama-tama, dia sikat lantai WC pria yang tak berpintu, dan hanya bisa dipakai untuk kencing berdiri. Setelah itu dia pel berkali-kali, sampai pesing yang menguar tersamarkan oleh aroma lemon dari cairan pembersih lantai yang dia campurkan pada air pel.

Dari tempat kencing pria, dia rambah tempat wudhu pria. Setelah itu, dia berpindah ke kamar mandi dan tempat wudhu perempuan, dia melakukan ritual pembersihan yang sama. Begitu kamar mandi dan tempat wudhu telah bersih, sasaran berikutnya adalah teras masjid. Tanpa banyak cakap, dia menyapu seluruh lantai lalu dia pel dengan aroma lemon. Aku yang duduk menanti di teras masjid sebelah kanan depan memilih berpindah ke atas sadel motor untuk membiarkannya beraksi.

Sesekali dia menyeka keringat di muka dengan ujung jilbab yang kuperhatikan sudah lumayan kumal. Wajahnya bulat dengan warna kulit sawo matang, keriput ketuaan tersamarkan oleh kontur wajahnya yang keras, hanya di ujung matanya ada kulihat kerutan. Khas wajah seorang pekerja keras yang ditempa dalam hidup yang juga keras. Tak ada suara yang dia keluarkan, hanya senyum yang selalu mengembang saat satu dua perempuan paruh baya yang sepertinya sudah dia kenal baik, melintas di pelataran masjid.

Dia butuh sekira 1539 detik untuk menyelesaikan pekerjaannya mengepel seluruh lantai teras masjid, kamar mandi dan tempat wudhu. Dia tak mengepel lantai bagian dalam masjid yang sepertinya selalu terkunci, kecuali di waktu-waktu sholat. Dia mulai membereskan alat kerjanya, membersihkan muka, lengan dan kakinya, gulungan di celana dia turunkan, dan jilbab dia kembangkan kembali. 126 detik berikutnya, dia sudah beranjak pergi ke arah dia datang tadi.

Kulihat, pria muda yang rajin sholat dhuha dan kuceritakan pada catatanku terdahulu, juga telah melasanakan semua aktivitasnya. Kuperhatikan lagi punggung perempuan tua itu menjauh, perempuan yang datang membersihan teras masjid ini saban pagi, tanpa suara, tanpa kata. Karena dialah maka aku menceritakan ulang kisah perempuan tua dan daun ketapang yang telah dikabarkan oleh D. Zawawi Imron dalam 'Sate Ruhani Dari Madura'. Aku rasa mereka berdua mempunyai kemiripan, meskipun dengan caranya masing-masing. Sementara aku, belum berbuat apa-apa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama