Seperti
pengakuan Faisal saat Puya ke Puya didiskusikan di Daun Caffe
Jakarta(28/18/2015), “Novel ini saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan
kehidupan modern. Dimana saya mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini.”
Faisal seperti mencoba mengurai tikai antara aluk Toraya dengan kehidupan
modern yang melingkupinya.
Selintas,
novel yang menjadi Pemenang IV Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini memang
seperti itu. Tapi bila dibaca secara saksama, novel ini alih-alih memuat
dinamika argumentatif antara dua kubu secara berimbang, novel ini malah
menggambarkan betapa letihnya aluk Toraya
bertahan dari gempuran modernisasi. Ini potret tentang kekalahan yang
menyakitkan.
Hal
ini terlihat dari kurangnya elaborasi serta minimnya interpretasi memadai atas aluk dalam perspektif leluhur. Sepanjang
novel 211 halaman ini, hanya pada halaman 5, ditemukan pembicaraan soal nilai
yang dimuatkan ke dalam aluk. Lewat
tokoh Rante Ralla, “Cobalah kau lihat nilai yang selama ini kujaga.
Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggungjawab. Ingat,
tanggung jawab!”
Bilapun
elaborasi soal aluk dilakukan
berpanjang-panjang pada beberapa subbab, elaborasinya lebih terkesan teknis dan
normatif belaka, jauh dari kesan dinamis. Seperti ketika mengulas pasal
memotong kerbau dalam upacara rambu solo
sebagai kendaraan ke puya, Faisal
cuma menekankan secara teknis, harus tedong
bonga. Argumentasi kenapa harus tedong
bonga, novel ini menjawab dengan normatif, demi kehormatan keluarga (hal.
14 - 15).
Bahkan
terkesan, novel ini memihak pada modernitas yang diwakili oleh Allu. Ketika
dirinya mengemukakan secara terang-terangan penolakan atas rambu solo, bukannya mendapatkan bantahan secara rasional dan
argumentatif, Allu malah direpresi dengan kekerasan. Paman Marthen langsung
main tebas, dan hampir saja kepala Allu lepas (hal. 10 - 11). Ini membuat
pembaca membangun posisi apriori secara psikologis terhadap aluk.
Atau
ketika Allu menjelaskan, “Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan
kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman
sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan
bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak dan saya
pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan”. Respon yang
mucul tak lebih dari sumpah serapah, “Banyak bicara kau!”, “Kau sok pintar,
Allu!”, “Lucu? Ha? Kau gila.” (hal 20).
Ketika
Allu menolak bantuan kerbau dan babi dari kerabat untuk pelaksanaan rambu solo, bahkan menuduh bantuan
tersebut sebagai utang, juga tak ada sanggahan sama sekali (hal 21). Bahkan
Rante Ralla pun, di awal kisah mengakui kecenderungan negatif dari tradisi ini,
“Soal biaya, itu yang kau takutkan? Itu memang ada benarnya bila dilihat dari
satu sisi.” (hal. 5). Ini menimbulkan tanya, apa benar Faisal sebagai penulis
telah memutuskan untuk berpihak, atau ini semata karena sulitnya mendapatkan
argumentasi budaya dari perspektif orang terdahulu?
Di
beberapa subbab, terutama di bagian akhir, nuansa kekalahan aluk Toraya pada modernitas, semakin
kental terasa. Para leluhur seperti kehilangan akal untuk menyadarkan
keturunannya, pun kehilangan muka menanggung malu atas tingkah polah anak
cucunya. Sehingga beberapa ungkapan yang muncul menyiratkan keletihan dan
kepedihan, “Di puya, leluhur sedang bingung.” (hal. 17). Bahkan tanya “Kenapa
surga diciptakan?” dilontarkan berkali-kali tanpa jawab, dan leluhur tak kuasa
memberi hukuman.
Namunpun
demikian, novel ini tetap layak dibaca, seabrek prestasi yang ditorehkan
penulisnya menjadi jaminan kualitas karya ini. Seperti endors Budi Darma dalam
novel ini, “Kekuatan karya-karya Faisal Oddang mencakup berbagai dimensi,
antara lain kemampuan bercerita, obsesi yang selalu mengejar nuraninya, dan
kemampuan untuk mengamati.
Kemampuan
bercerita Faisal dengan point of view
yang berganti-ganti, malah lebih mudah diikuti. Hal ini berbeda dari Tasaro
dalam Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan yang membuat pembaca harus
mengernyitkan kening untuk mengikuti arus perpindahan point of view-nya yang kadang tiba-tiba. Kemampuan untuk
mengamatinya juga cemerlang, ini terlihat dari proses kekalahan aluk oleh nilai modern seperti
individualisme dan materialisme yang tergambar dalam karakter tokohnya.
Tapi
mengenai obsesi yang selalu mengejar nuraninya, soal ini perlu ditanyakan
langsung pada penulisnya. Meskipun Faisal telah mengatakan bahwa, “Novel ini
saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan kehidupan modern. Dimana saya
mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini." Apakah Faisal mendorong
tranformasi aluk Toraya, atau memilih menyokong 'pemberontakan' dan menyisihkan aluk untuk hanya berumah di alam baka
dan berkuasa negeri orang-orang mati?
Sebagai
bandingan dengan beberapa penulis novel berbasis tradisi di Sulawesi Selatan,
Atte’ Sherly Maladevi dalam Titisan Cinta Leluhur dan Djarina memilih
meneguhkan tradisi Bantaeng, meskipun kemampuan bercerita menjadi titik
lemahnya. Atau Rampa’ Maega dalam Landorundun yang mengupayakan rekonstruksi aluk Toraya di tengah kehidupan modern.
Namun kelemahan Rampa’ Maega, adalah pada keahlian writerpreneur. Di titik
kemampuan bercerita dan pengemasan yang baik ini menjadi kelebihan Faisal.
Tags:
Resensi
Bagus kritiknya..... saya izin share boleh yang bang...
BalasHapus