Resensi: Potret Kekalahan Aluk Toraya

[04.12.2015] Oktober 2015 lalu, kita disuguhi sebuah novel yang ditulis oleh Faisal Oddang, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Sebuah novel tentang Toraja --salah satu destinasi wisata andalan Sulawesi Selatan, dengan judul, Puya ke Puya. Novel ini sarat dengan ulasan mengenai aluk Toraya (adat Toraja).

Seperti pengakuan Faisal saat Puya ke Puya didiskusikan di Daun Caffe Jakarta(28/18/2015), “Novel ini saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan kehidupan modern. Dimana saya mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini.” Faisal seperti mencoba mengurai tikai antara aluk Toraya dengan kehidupan modern yang melingkupinya.

Selintas, novel yang menjadi Pemenang IV Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini memang seperti itu. Tapi bila dibaca secara saksama, novel ini alih-alih memuat dinamika argumentatif antara dua kubu secara berimbang, novel ini malah menggambarkan betapa letihnya aluk Toraya bertahan dari gempuran modernisasi. Ini potret tentang kekalahan yang menyakitkan.

Hal ini terlihat dari kurangnya elaborasi serta minimnya interpretasi memadai atas aluk dalam perspektif leluhur. Sepanjang novel 211 halaman ini, hanya pada halaman 5, ditemukan pembicaraan soal nilai yang dimuatkan ke dalam aluk. Lewat tokoh Rante Ralla, “Cobalah kau lihat nilai yang selama ini kujaga. Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggungjawab. Ingat, tanggung jawab!”

Bilapun elaborasi soal aluk dilakukan berpanjang-panjang pada beberapa subbab, elaborasinya lebih terkesan teknis dan normatif belaka, jauh dari kesan dinamis. Seperti ketika mengulas pasal memotong kerbau dalam upacara rambu solo sebagai kendaraan ke puya, Faisal cuma menekankan secara teknis, harus tedong bonga. Argumentasi kenapa harus tedong bonga, novel ini menjawab dengan normatif, demi kehormatan keluarga (hal. 14 - 15).

Bahkan terkesan, novel ini memihak pada modernitas yang diwakili oleh Allu. Ketika dirinya mengemukakan secara terang-terangan penolakan atas rambu solo, bukannya mendapatkan bantahan secara rasional dan argumentatif, Allu malah direpresi dengan kekerasan. Paman Marthen langsung main tebas, dan hampir saja kepala Allu lepas (hal. 10 - 11). Ini membuat pembaca membangun posisi apriori secara psikologis terhadap aluk.

Atau ketika Allu menjelaskan, “Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan”. Respon yang mucul tak lebih dari sumpah serapah, “Banyak bicara kau!”, “Kau sok pintar, Allu!”, “Lucu? Ha? Kau gila.” (hal 20).

Ketika Allu menolak bantuan kerbau dan babi dari kerabat untuk pelaksanaan rambu solo, bahkan menuduh bantuan tersebut sebagai utang, juga tak ada sanggahan sama sekali (hal 21). Bahkan Rante Ralla pun, di awal kisah mengakui kecenderungan negatif dari tradisi ini, “Soal biaya, itu yang kau takutkan? Itu memang ada benarnya bila dilihat dari satu sisi.” (hal. 5). Ini menimbulkan tanya, apa benar Faisal sebagai penulis telah memutuskan untuk berpihak, atau ini semata karena sulitnya mendapatkan argumentasi budaya dari perspektif orang terdahulu?

Di beberapa subbab, terutama di bagian akhir, nuansa kekalahan aluk Toraya pada modernitas, semakin kental terasa. Para leluhur seperti kehilangan akal untuk menyadarkan keturunannya, pun kehilangan muka menanggung malu atas tingkah polah anak cucunya. Sehingga beberapa ungkapan yang muncul menyiratkan keletihan dan kepedihan, “Di puya, leluhur sedang bingung.” (hal. 17). Bahkan tanya “Kenapa surga diciptakan?” dilontarkan berkali-kali tanpa jawab, dan leluhur tak kuasa memberi hukuman.

Namunpun demikian, novel ini tetap layak dibaca, seabrek prestasi yang ditorehkan penulisnya menjadi jaminan kualitas karya ini. Seperti endors Budi Darma dalam novel ini, “Kekuatan karya-karya Faisal Oddang mencakup berbagai dimensi, antara lain kemampuan bercerita, obsesi yang selalu mengejar nuraninya, dan kemampuan untuk mengamati.

Kemampuan bercerita Faisal dengan point of view yang berganti-ganti, malah lebih mudah diikuti. Hal ini berbeda dari Tasaro dalam Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan yang membuat pembaca harus mengernyitkan kening untuk mengikuti arus perpindahan point of view-nya yang kadang tiba-tiba. Kemampuan untuk mengamatinya juga cemerlang, ini terlihat dari proses kekalahan aluk oleh nilai modern seperti individualisme dan materialisme yang tergambar dalam karakter tokohnya.

Tapi mengenai obsesi yang selalu mengejar nuraninya, soal ini perlu ditanyakan langsung pada penulisnya. Meskipun Faisal telah mengatakan bahwa, “Novel ini saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan kehidupan modern. Dimana saya mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini." Apakah Faisal mendorong tranformasi aluk Toraya, atau memilih menyokong 'pemberontakan' dan menyisihkan aluk untuk hanya berumah di alam baka dan berkuasa negeri orang-orang mati?

Sebagai bandingan dengan beberapa penulis novel berbasis tradisi di Sulawesi Selatan, Atte’ Sherly Maladevi dalam Titisan Cinta Leluhur dan Djarina memilih meneguhkan tradisi Bantaeng, meskipun kemampuan bercerita menjadi titik lemahnya. Atau Rampa’ Maega dalam Landorundun yang mengupayakan rekonstruksi aluk Toraya di tengah kehidupan modern. Namun kelemahan Rampa’ Maega, adalah pada keahlian writerpreneur. Di titik kemampuan bercerita dan pengemasan yang baik ini menjadi kelebihan Faisal.

Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini mengemuka pada Bedah Novel Puya ke Puya, Jumat 04 Desember 2015. Tulisan ini juga dimuat di harian Fajar, Ahad 13 Desember 2015.

1 Komentar

  1. Bagus kritiknya..... saya izin share boleh yang bang...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama