Sambil
mengutak-atik gaway, sesekali mukanya
terlihat serius, alisnya mengkerut, sudut bibirnya melengkung ke bawah.
Redaktur sastra Harian Amanah, salah satu koran di Makassar ini sedang
menimbang dan memilah beberapa puisi yang berpeluang untuk tayang esok hari.
“Bagaimana Bang, sudah diputuskan?” Ady,
layouter berambut cepak itu sudah beberapa waktu berjalan mondar-mandir di
depannya. Tinggal kolom puisi yang belum terisi, padahal edisi besok sudah
harus masuk percetakan, kurang dua puluh menit lagi.
“Sabar, pusing juga nih. Baru kali ini
saya sulit memutuskan.” Sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari gaway, tangan kirinya mengelus-elus
janggut tipis di dagu tirusnya.
“Memang puisi siapa sih, Bang?”
“Ini, antara penulis debutan kita, si
Imam, sama penulis baru nih, Feby.”
“Boleh saya lihat, Bang?” Sambil meraih gaway dari tangannya, setelah itu,
“Kalau boleh usul nih, si Feby saja Bang.
Sudah beberapa edisi kita menerbitkan puisi cowok, termasuk puisinya Imam.
Pembaca perlu disuguhi sudut pandang baru.”
“Mmm... Boleh juga usulmu. Oke, kita pakai
si Feby. Tapi identitasnya sedikit nih, fhotonya juga tak ada.”
“Soal
fhoto sih gampang kita tinggal pasang animasi gadis berjilbab, tapi identitas?”
“Ada nih, pengisi tetap pengajian
Keputrian LKIMB UNM. Tapi cuma itu, tak ada riwayat kepenulisan.”
“Wah, ustadzah tuh Bang. Itu saja cukup,
kalau bang Redaktur merestui.”
“Oke... Eksekusi bro...” Sambil tangannya
membentuk huruf 'o' dengan mempertemukan ujung telunjuk dan ibu jarinya.
Sejak
edisi itu, penulis puisi dengan identitas Feby rutin menghiasi halaman sastra
Harian Amanah. Puisinya disukai pembaca, termasuk sang Redaktur sastra. Bahkan
dirinya pun mulai mencoba membangun korespondensi yang lebih personal dengan si
penulis, meskipun agak susah, Feby orangnya tertutup, dan hal itu malah
membuatnya kian penasaran.
“Mau kemana Bung Abrar? Jangan-jangan ada copy darat nih dengan penulis misterius
kita, Feby, hehehehe...” Usik Ady suatu sore ketika melihatnya beranjak keluar
kantor dengan pakaian muslim yang agak necis, padahal itu bukan hari jumat.
“Beluuum,
tunggu tanggal mainnya, dia agak tertutup orangnya..”
“Terus, mau ke mana nih?”
“Ini, lagi ada sesi pemotretan untuk
produknya Makayla, ada janjian dengan fhotografer sore ini, saya cabut dulu
ya...” Sambil berlalu meninggalkan Aby yang cuma melongo.
#JalanRaya
Di
perjalanan menuju lokasi pemotretan, dirinya masih terus mengingat komunikasi
mereka via Line, itupun tanpa fhoto
profile, Feby enggan berbagi akun sosial media yang lain. Tapi dia mulai
mereka-reka wajah Feby dengan membayangkan seorang artis era ‘90an, Feby
Febiola yang dipasangi jilbab.
Abrar: Halo Mbak Feby, apa kabar?
Feby: Halo, jangan panggil Mbak dong, saya
jadi merasa tua, hehehe...
Abrar: Jadi harus panggil apa dong? J
Feby: Feby saja, lebih santai
Abrar: Feby, puisi-puisi kamu bagus,
diksinya bening
Feby: Terima kasih
Abrar: Jadi kapan nih Feby rencana
menerbitkan buku puisi
Feby: Menurut kamu?
Abrar: Kok menurut aku?
Feby: Apa puisi-puisi saya layak
dibukukan?
Abrar: Ya layak dong.
Feby: Jangan bercanda ah, nanti saya
ke-geer-an lagi.
Abrar: Saya serius kok, kalau nanti
terbit, saya siap jadi pembaca pertamanya.
Feby: Terima kasih
Abrar: Minta PIN BBM dong, atau nomor
WhatsApp...
Feby: Aduh, maaf ya, BBM dan WA cuma untuk
orang tertentu, hehehehe...
Abrar: Ya, Febiy begitu deh...
Feby: Begitu bagaimana?
Abrar: Pelit amat
Feby: Kalau mau komunikasi, via Line ini
saja, takut menimbulkan fitnah J
Komunikasi berakhir sampai di situ.
Rasa
penasarannya terhadap Feby kian menjadi-jadi, bahkan sejak minggu lalu, dia
merasa kalau puisi-puisi yang ditulis oleh Feby, terinspirasi oleh dirinya. Dia
merasa menjadi begitu dekat dengan penulis muda yang terkesan misterius itu.
* * *
#PerpustakaanKampus
“Lagi ngapai bro?” Tepukan halus mendarat
di bahu kanannya. Dia cuma menoleh sejenak, dilihatnya Baihaqi cengengesan,
lalu dia balik muka kembali.
“Baca apa sih? Kok serius amat?” Baihaqi
kembali melontar tanya, rasa penasaran yang belum terjawab.
“Aish... Mana Imam yang cerita dan banyak
cerita, seperti yang saya kenal selama ini?” Celoteh Baihaqi mendapat rekasi
dari darinya. Dengan sudut mata dia menunjuk ke halaman sastra Harian Amanah
yang dari tadi dipelototinya. Baihaqi merapatkan badan mencoba mencari tahu. Di
sana, terpampang puisi, "Cinta Putih
di Balik Hijabmu", buah tangan dari sebuah nama yang ringkas: FEBY.
“Hahahahaha... Jadi ini yang membuatmu
ta'loko?” Baihaqi tergelak sambil menusuk-nusuk perut Imam yang memang
tergolong berbadan gempal.
“Imaaam... Imam... Hanya gegara puisimu
tersingkir sama gadis itu, kau menjadi murung begitu?”
“Bukan itu, masalahnya. Tapi ada hal
lain...”
“Hal lain apa?”
“Coba kau perhatikan bede' puisi-puisinya,
seperti najawab keluhan dari puisiku.”
“Maksudmu, kayak berbalas pantun begitu.”
“Iyyo kauwwe, kayak nakenalka' ini anak.”
“Cieeet, berarti dia penggemar gelapmu
bro....”
“Itumi saya penasaran, nabikin jatuh
cintaka' ini puisi-puisinya.”
“Tallewa'mu Imam deh. Hahahaha...”
“Hahahaha...” Imam ikut tergelak, sampai
petugas perpustakaan menegur mereka. Mereka pun melangkah keluar, melewati
sebuah pintu lebar yang di atasnya, terpampang tulisan besar, PERPUSTAKAAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO MAKASSAR.
#KamarKos
Dia
nyalakan notebook, modempun sudah dalam posisi on, begitu koneksi internet
berlari sekian Mbps, dia segera membuka akun email, niatnya sih ingin mengirim
puisi ke Harian Amanah, tapi sebuah email masuk menarik perhatiannya, dari
feby@gmail.com.
“Haaaaa? Feby? Apa massu'na nakirimika'
email?”
From: feby@gmail.com
To: imam@gmail.com
Subject: salam kenal
Kak Imam yang baik, jangan
kaget ya dapat email dari saya.
Saya mau mengucapkan terima
kasih karena telah menginspirasi saya lewat puisi.
Oh ya, melalui email ini,
saya bermaksud mengundang Kak Imam untuk menghadiri peluncuran buku puisiku.
Saya harap Kak Imam bisa
hadir.
Undangan saya lampirkan.
Salam Hangat Jabat Erat
Feby
* * *
#RuangRedaksi
Trrrrrrr...
Gaway-nya bergetar halus, siang itu
terasa melelahkan baginya, matanya yang dari tadi tertutup, hanya dibuka
sejenak untuk melirik gaway yang
memberi tanda, sebuah pesan masuk melalui Line.
“Bang, ada pesan masuk tuh.” Seru Ady yang
sepanjang hari jarang beranjak dari depan komputer. Dengan malas dibukanya
kotak masuk. Sebuah pesan dari Feby. Segera dia mengangkat badan, mengucek-ucek
mata, lalu membaca pesan itu dengan saksama
Feby: Bang, aku mau meluncurkan buku
puisiku, datang ya.
Abrar: Kapan?
Feby: Saya kirim fhoto undangannya ya J
Feby: -images-
Abrar: Ok. Saya usahakan datang.
Feby:
Ditunggu ya Bang. Terima kasih.
* * *
#AulaLT.2GedungPhinisiUNM
“Hai Imam, dapat undangan juga?” Sambil
duduk di samping Imam, Abrar mengulurkan tangan. Mereka berjabat tangan.
“Iyye' Kak, lewat email.”
“Bagaimana rasanya diundang pesaing yang
tidak kamu kenal.”
“Dumba'-dumba' galeterka' kurasa ini Kak.
Hahahaha...” Imam tergelak, badannya terguncang-guncang, Abrar cuma tersenyum
simpul.
Tiba-tiba,
“Dari tadi, Bang?” Ady muncul dengan
dandanan rapi, langsung menyapa Abrar.
“Barusan, dapat undangan juga?” Abrar
menunjuk Ady, yang hanya menjawab dengan senyum dikulum.
“Eh, kenalkan, ini Imam, penulis kita
juga.”
“Wah, surprise, selama ini cuma baca puisi-puisi
kerennya, akhirnya bisa berjumpa hari ini.” Sambil berjabat tangan dengan Imam.
“Ayo duduk.” Imam menepuk kursi di
sampingnya.
“Saya ke belakang dulu, Bang.” Ady
bergegas menuju ke belakang panggung, tempat kamar kecil berada.
Tak berapa lama,
Tak berapa lama,
“Para hadirin, terima kasih telah hadir
bersama kami di sini. Mari kita memulai acara ini dengan basmalah dan tepukan
yang meriaaaaah...” MC membuka acara, disambut gemuruh tepuk tangan dari
hadiri.
“Tanpa basa-basi, mari kita sambut penulis
muda kita, Feby...” Tepuk tangan kembali bergemuruh.
Sesesorang
masuk ke panggung, dan membuat mata Abrar membelalak, begitupun dengan Imam.
Abrar menunjuk ke arah panggung lalu teriak,
“Sialan kau!”
Imam
tak kalah kecewa,
“Ana' sambala' ini!”
Tapi
teriakan mereka tenggelam oleh gemuruh. Suara MC kembali menggema,
“Sekali lagi! Beri tepukan yang meriah
untuk Feby Triady...!!!”
Feby
Triady atau yang sehari-hari disapa Ady dan berprofesi sebagai layouter di
Harian Amanah makin maju ke pinggir panggung dengan memamerkan kumpulan
puisinya yang diberi tajuk, “Semua Karena Puisi”.
Makassar, 07 Desember 2015
Tags:
Cerita Pendek
Deh, Jatuh cintami Abrar. Wkwkw
BalasHapusJatuh cinta sama puisiji tawwa :p
HapusHahaha. Imam iyyah kodooon...
BalasHapusMerasa terampas ruang aktualisasinya :D
Hapus