Resensi: Membaca Sarinah di Hari Ibu

“Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri.” Sabda nabi Muhammad s.a.w. ini dikutip oleh Ir. Sukarno dalam salah satu karya monumentalnya, Sarinah (1963 : 79).

Buku yang berjudul lengkap Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia dan merupakan kumpulan materi kursus-kursus wanita yang digelar Soekarno di Yogyakarta ini, terbit pertama kali pada tahun 1947. Sukarno mengakui, buku itu terbit sebab, “Soal wanita itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan.”

Bagi seorang Sukarno, soal wanita adalah soal yang amat penting karena soal wanita adalah soal masyarakat. Dan “...kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal-wanita” (1963 : 5). Demikian ujar Sukarno.

Apa yang tulis Sukarno dalam Sarinah, adalah bahan refleksi menarik dalam rangka menyambut Hari Ibu, yang dirayakan tanggal 22 desember setiap tahun. Perayaan ini menimbulkan tanya, idealisasi ibu macam apa yang diharapkan hadir melalui ritual ini. Maka membaca Sarinah adalah salah satu upaya mencari tahu jawabannya.

Yang menarik, dalam Sarinah, Sukarno mewanti-wanti perempuan Indonesia agar tidak menelan mentah-mentah atau mengadopsi konsep-konsep ‘impor’ soal posisi perempuan, dari manapun. Malah, meskipun mengakui bahwa dirinya bukan ahli fiqih, Sukarno mengajak pembaca meninjau posisi perempuan menurut ajaran agama Islam.

Kembali ke soal penetapan 22 desember sebagai Hari Ibu, hal ini berkaitan erat dengan organisasi perempuan yang berdiri pada tahun 1928 di Yogyakarta, Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Organisasi ini lahir dari Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional yang pertama kali diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Desember 1928.

Dalam kongres yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan ini, selain menyepakati membentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), juga diletakkan fondasi pertama gerakan perempuan sekaligus sebagai upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada.

Penetapan 22 desember sebagai Hari Ibu dilakukan pada Kongres Perempuan Indonesia yang ketiga di Bandung pada tanggal 23 – 28 Juli 1938. Penetapan ini kemudian dikukuhkan menjadi perayaan nasional melalui Dekrit Presiden Sukarno No. 316 tahun 1959.

Namun dalam menyambut momentum ini, terkadang ada semacam salah kaprah di sebagian kita. Hari Ibu disambut dengan berbagai pernak-pernik yang berbau domestifikasi peran perempuan. Padahal, semangat Hari Ibu adalah semangat membangun kesetaraan antara kaum lelaki dan kamu perempuan.

Untuk membangun kesetaraan, maka kaum perempuan harus disadarkan, sebab perempuan yang sadar merupakan syarat mutlak pembangunan masyarakat, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Seperti kata Lenin, “Jikalau tidak dengan mereka (wanita) kemenangan tak mungkin kita capai.”

Proses penyadaran perempuan, juga tak bisa dilepaskan dari proses penyadaran kaum lelaki. Mengapa demikian? Sebab terkadang, kesadaran kau lelaki yang masih sangat patriarkhi menjadi hambatan bagi proses membangun kesetaraan. Perayaan Hari Ibu dengan pernak-pernik domestifikasi perempuan adalah contoh nyata dari hal ini.

Kesetaraan antara lelaki dan perempuan seperti inilah yang akan membangun harmoni kehidupan. Seperti kata Sukarno, “Harmoni hanjalah dapat tertjapai, kalau tidak ada shaf satu di atas saf yang lain, tetapi dua ‘saf’ itu sama derajat –berjajar, yang satu di sebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain.” (1963 : 15)

Kondisi sama derajat ini hanya bisa diwujudkan bila perempuan Indonesia menjadi wanita revolusioner. Dalam Sarinah (1963 : 247), Sukarno berseru lantang, “Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner –tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!

Kenapa harus menjadi wanita revolusioner? Sebab bagi Sukarno, perempuan Indonesia bukanlah mengikut gerakan feminis yang tidak memuaskan, dan malah kadang merupakan bahaya tersendiri. “Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi,” tulis Sukarno (1963 : 193).

Pada paragraf akhir Sarinah (1963 : 329), Sukarno berseru, “Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!”

Semoga momentum peringatan Hari Ibu 22 Desember 2015 masih merupakan sebentuk upaya menggaungkan kembali panggilan Sukarno pada wanita Indonesia dalam Sarinah, sebab di sana tergambar dengan jelas potret perempuan Indonesia, bukan perempuan yang terjebak gerakan feminis yang kadang salah kaprah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama