“Posisi kita memang sulit dipahami oleh generasimu, Nak. Generasi yang
tidak lagi mendalami ajaran attoriolong.”
Lelaki yang usianya sudah menjelang 90an itu masih berbicara dengan runtut
dengan kosakata yang jelas.
Aku serius mendengar dan tak lagi mencatat ucapannya yang menurutku
penting, tape recorder yang kubawa, semoga masih dalam posis on. Sudah sejam kami, lebih tepatnya
dia, mengurai soal identitas gender dalam konstruksi falsafah Bugis yang
menjadi penelitianku di Sosiologi Unhas. Lelaki itu menjadi narasumber utamaku.
* *
*
Suasana riuh. Dusun kecil di pesisir timur Kabupaten Bone mendadak
ramai. Pemasangan lamming pada
sekujur tiang rumah panggung, serta sepanjang pinggiran baruga yang dilingkari walasuji
berlangsung meriah. Beberapa remaja tanggung dengan cekatan memanjat
tiang-tiang baruga untuk mengaitkan
ujung lamming di pojok atas baruga. Kegiatan memasang lamming
dikomandoi oleh seorang lelaki paruh baya berperawakan pendek dan gempal,
dengan songkok hitam yang terpasang sedikit miring ke kanan. Sesekali terlihat
memberi instruksi dengan jemari telunjuknya yang lentik dan berhias cincin akik
merah delima.
Lelaki itu, Haji Mahkota namanya, entah itu nama sebenarnya atau bukan,
tapi dia populer dengan nama Aji Kuta'. Pada tahun 80an, namanya melegenda di
pesisir timur jazirah Sulawesi Selatan yang meliputi beberapa kabupaten
berpenghuni suku Bugis. Menggelar pesta pernikahan atau mappogau' dengan menggunakan lamming
dari Aji Kuta' adalah sebentuk prestise tersendiri di masyarakat kami. Di
samping lamming-nya memang seperti
selalu baru, juga karena aura mistik yang melekat pada namanya. Kalau
menggunakan Aji Kuta', botting
dijamin akan meriah, undangan berdatangan, dan makanan terasa enak dan melimpah.
Esok, seorang sepupu lelakiku menikah. Maka di sinilah aku kini,
menikmati proses pemasangan lamming.
Sebagai anak lelaki kelas satu SMP, yang menarik perhatianku bukan lamming-nya yang berkilau, atau segala
macam mitos yang melekat pada sosok Aji Kuta'. Lelaki yang mengaku sudah dua
kali menginjakkan kaki ke tanah suci Makkah itu berpenampilan unik, menurutku.
Selain jemarinya yang lentik, kedua sudut matanya yang bernaung di bawah bulu
mata yang lentik, selalu berbalur celak, riasan mata yang di kampung kami hanya
digunakan kaum perempuan.
Ketertarikanku pada Aji Kuta' makin dikuatkan dengan percakapan
singkatku barusan. Dengan langkah bak pragawati, dia mendekatiku, kemeja putih
polos lengan pendeknya yang dipadu dengan celana panjang dari kain katun,
menyeruakkan aroma parfum. Perlahan dia buka tas hitam mengkilap yang selalu
dia kepit di bawah ketiak kirinya. Diambilnya tempat bedak mungil, lalu dia
bedaki mukanya dan tersenyum ke arahku. Ketika dia menyimpan peralatan
kosmetik, tangannya keluar dari tas dengan segenggam permen mint kesukaanku.
Aku terpana dan tak beranjak dari salah satu kursi plastik pinjaman dari
kelurahan. Tak aku sadari kalau anak-anak lain berhamburan menjauh dengan tawa
cekikikan. Aji Kuta' kian dekat, dan senyumnya makin lebar. Perlahan dia duduk
di sampingku, tangan kanannya menyodorkan permen, sementara tangan kirinya
mengelus-elus pahaku. Dia masih tersenyum, belum pernah aku melihat senyum
lelaki seperti itu. Aku masih duduk terpaku, hanya mulutku yang sibuk mengemut
permen mint pemberiannya.
“Kau suka makan permen, Nak?” Aji Kuta' menyapaku, suaranya mendayu,
merdu sekali. Aku tak menjawab, kuperhatikan dengan baik mukanya, aku merasa
aneh. Informasi yang kudengar, Aji Kuta' adalah seorang lelaki dengan sembilan
orang anak, meski mengenai istrinya, aku tak paham. Tapi suaranya begitu
lembut, jauh dari nada bariton sebagaimana layaknya lelaki dewasa. Seandainya
aku cuma mendengar suaranya, mungkin aku akan berkesimpulan bahwa dia
perempuan. Namun nyatanya, dia duduk di sampingku, dan mukanya lebih
berkarakter lelaki, meskipun lumayan klimis dan dia berhias bak perempuan.
“Nak, kau suka makan permen?” Aji Kuta' kembali bertanya. Lagi-lagi aku
belum menjawabnya. Dia masih mengelus-elus pahaku, dan dengan tetap tersenyum,
sesekali punggung tangannya seperti sengaja dia senggolkan ke batang
kemaluanku. Kaget, aku merasa geli dan berusaha menepis tangannya. Aku
mengekrut di kursi, seperti kura-kura tersilap cahaya. Dia masih juga berusaha
menggerayangi pahaku sambil tersenyum, aku memberengut.
“Kenapa?” Tanya Aji Kuta' dengan tawa mengambang.
“Gele'-gele', Aji,” ujarku gemetaran.
“Tapi kau suka toh. Hehehehe...” Dia menjawil pipiku, genit, lalu
berlalu.
Sejak kejadian sore itu, sampai tudang botting sepupuku usai, aku
berusaha menjauhi Aji Kuta'. Meski demikian, aku selalu berusaha mencuri
pandang dari kejauhan, apa yang sedang dia kerjakan, aku penasaran. Nampaknya
diapun menyadari tingkahku, beberapa kali kami bersiborok mata, dia tersenyum
lebar dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Setiap momen itu terjadi, aku
merasa geli, bulu kudukku meremang, dan yang paling aneh, aku ereksi. Malam
itu, aku tidur sambil membayangkan Aji Kuta' mengelus lembut rambutku.
Besok sorenya. Saat hajatan dinyatakan usai, ketika beberapa remaja
tanggung selesai membongkar lamming, Uding, koordinator mereka mendekatiku.
“Titipannya Aji Kuta', untukmu.” Ujar
Uding sambil menyerahkan amplop cokelat lusuh. Kuintip ke dalam, amplopnya
berisi uang.
“Kalau mau jumlah yang lebih besar, gabung bersama kami, jadi anaknya
Aji.” Uding melanjutkan sambil menepuk bokongku, lembut, lalu berlalu.
Aku mengeluarkan isi amplop lalu kujejalkan ke saku belakang celanaku,
amplopnya melayang ke tumpukan sampah di pojok depan halaman.
* *
*
Aku bertemu lagi dengan Aji Kuta' setelah 20 tahun. Senyumnya tak banyak
berubah, masih saja hangat dan terkesan manja. Songkok hitam masih menghias
kepala, baju kemeja putihnya sudah berganti dengan baju koko, mungkin
menyesuaikan dengan trend. Celana katunnya bersalin sarung palekat.
“Masih ingat sama saya, Aji?” Tanyaku padanya siang itu, di teras rumah
panggungnya.
“Iya, saya masih mengingatmu, Nak, tak mungkin aku lupa. Takdir kita
memang sudah bertaut sejak dulu, aku sudah menantimu sejak lama.” Suaranya yang
bergetar, membuat bulu kudukku meremang, tak ada lagi nada kemayu, seperti di
masa mudanya dulu.
“Sudah garis tanganmu untuk mewarisi pengetahuan ini, dia memilihmu
sejak pertama kita berjumpa, kau berjodoh dengannya.” Aji Kuta' kembali
melanjutkan.
“Aku tak mengerti apa yang Aji maksud.” Aku bingung, khawatir jangan
sampai Aji Kuta' mulai pikun, padahal dia merupakan informan utama
penelitianku.
“Harus ada yang menyangga agar Botting
Langi’ dan Peretiwi tetap bisa
berjarak, pun harus ada jembatan yang menghubungkan penghuni Lino pada penghuni kedua tempat itu.
Bila tidak, kehidupan ini akan runtuh, semua akan hancur, Nak.”
“Tapi, apa yang Aji bicarakan?”
“Diamlah, dengarlah saja. Karena dia yang memilihmu, maka dia pula yang
akan menuntut dan mengajarimu.”
Siang itu, wawancara penelitian skripsiku tak lagi berjalan normal. Alat
tulis telah kuletakkan. Aku khusyu mendengar tuturan lelaki yang pernah begitu
mempengaruhi fase awal remajaku, dulu.
“Harus kau pahami, Nak, dalam pandangan orang Bugis, dunia ini terbagi
atas tiga bagian, alam atas atau Botting
Langi’, alam bawah atau Peretiwi,
dan alam tengah atau Lino. Botting Langi’ dan Peretiwi dihuni oleh para dewa, sedangkan Lino adalah tempat kita –manusia,
bernaung saat ini.”
“Wah, aku baru dengar hal itu, Aji.” Keluhku, Aji Kuta' tak peduli.
“Begitupun dengan, apalagi istilah penelitianmu itu?”
“Identitas gender, Aji.”
“Ya, identitas gender dalam pandangan Bugis, tak hanya dua, tapi ada
posisi ketiga, yang diisi oleh dua macam identitas gender. Selain laki-laki dan
perempuan, ada yang namanya calabai,
pun calalai. Saya ini seorang calabai, takdirmu pun begitu.”
Aku masygul, apa Aji Kuta' menginginkanku menjadi waria, seperti
dirinya?
“Tapi jangan samakan calabai
dengan waria. Posisi dan kehormatannya jauh berbeda!”
“Di mana bedanya? Bukannya sama saja, Aji?”
“Kau sudah paham tentang tiga lapis alam kan? Nah, yang bisa menjadi
penghubung antar alam, hanyalah mereka yang berkarakter perempuan, atau feminin
dalam istilahmu, dan juga suci. Kau paham artinya suci? Mereka tak tercemar
oleh darah haid. Itu berarti hanya para calabai
dan sebagian kecil calalai-lah yang
bisa mengambil peran ini –menjadi penyangga
dan penghubung antar alam secara spiritual. Ini bukan pekerjaan kecil, Nak.”
Kulihat ada keharuan di raut mukanya.
Aku menghela nafas panjang, melonggarkan rongga dada dari himpitan rasa
bersalah karena terasing dari pemahaman masyarakatku, masyarakat Bugis.
“Posisi spiritual itulah yang dikenal dengan nama bissu. Namun sayang, sejak era Indonesia merdeka, kami hanya berani
mempraktikkan ritual bissu secara
sembunyi-sembunyi. Maka perlahan, harkat para calabai perlahan menjadi sekedar waria biasa tanpa penghargaan,
bahkan dipojokkan sebagai sampah masyarakat.” Suara Aji Kuta' bergetar, kulihat
bulir air mata merembes di pipinya yang klimis. Dia menangis, tanpa isak dan
sedu sedan.
Catatan tambahan:
* attoriolong: keyakinan Bugis pra-Islam,
mengacu ke ajaran nenek moyang.
* lamming: renda bermanik-manik, untuk
menghias pelaminan dan baruga.
* baruga: aula terbuka sementara untuk
resepsi pernikahan
* walasuji: pagar yang terbuat dari bilah
bambu yang dijalin silang, digunakan sebagai dinding baruga
* mappogau: menggelar pesta
* botting: perkawinan
* gele'-gele': geli
* tudang botting: resepsi perkawinan
* calabai: laki-laki yang bertingkah laku
seperti perempuan
* calalai: perempuan yang bertingkah laku
seperti laki-laki
* bissu: pemuka agama dalam keyakinan
Bugis Pra-Islam
sumber ilustrasi: BonePos
Tags:
Cerita Pendek