Kartini dan Kepentingan Politik Hindia


[21.06.2016] 137 tahun yang lalu di Desa Mayong-Jepara, 21 April 1879 bertepatan dengan 28 Rabiulakhir 1808, M.A. Ngasirah, salah seorang gundik Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara bergembira menyambut kelahiran seorang bayi perempuan.  Orok itu, oleh ibunya, dinamai Kartini.

Tersebab ibunya hanya seorang gundik, Kartini dilahirkan dan tumbuh di rumah kecil sang Asisten Wedana. Perlakuan diskriminatif istri utama ayahnya yang cukup membencinya –masih keturunan Ratu Madura, mengiringi masa kecil hingga dewasanya. Para guru dan teman sekolahnya –kebanyakan Belanda, pun mengambil sikap bermusuhan padanya.

Kepada aktivis Gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP), Estelle Zeehandellar –sahabat Belandanya selain Ny. Van Zeggelen, Kartini menulis, “Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah; para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami…”

Mengapa ini menjadi menarik buatku? Bukan semata karena hari ini peringatan Hari Kartini, tetapi karena tanya yang menggelayut dan dilontar beberapa kawan, “Kenapa harus Kartini?”, demikian kira-kira kelisah yang membayang. Sebab betapa banyak perempuan lain yang kontribusinya bagi bangsa dianggap lebih hebat dari Kartini.

Prof. Harsja W. Bachtiar misalnya, menyebut Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, perempuan yang menguasai bahasa Aceh, Melayu, Arab, Persia, Spanyol dan Urdu ini, berhasil mengembangkan tradisi literasi di negerinya. Maka di eranya, muncullah Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf sebagai penulis cemerlang.

Atau Siti Aisyah We Tenriolle, Datu Tanete –Barru, Sulawesi Selatan, ke-XVIII. Mendirikan sekolah bagi rakyatnya tanpa memandang jenis kelamin, sejak 1908, dan pada masa pemerintahannya pula, ibunya yang bernama Ratna Kencana Colli PujiE Arung Pancana Toa MatinroE ri Tocae berhasil menyusun ikhtisar La Galligo sepanjang lebih dari 7.000 halaman folio. Kurang apa Ratu Tajul Alam dan Tenriolle? Ini menjadi soal yang menarik.

Setelah mengutak-atik berbagai sumber, aku curiga kalau mengemukanya nama Kartini tak lepas dari kepentingan balas jasa Nederland pada tahan jajahan, Hindia. Tekanan politik Vrijzinnig Demokratische Partij mengenai politik balas jasa ini juga lumayan kencang dan memuluskan jalan bagi nama Kartini mengemuka.

Selain itu, Kartini perempuan yang wafat 17 September 1904, mempunyai hubungan yang lebih baik dengan pemerintah kolonial, terutama di akhir pemerintahan W. Rooseboom (1898-1904) sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, juga ketika Rooseboom digantikan oleh Johannes Benedictus van Heutsz (1904-1909).

Pada waktu itu, Kartini bahkan melakukan korespondensi dengan Snouck Hurgronje (1857-1936). Snouck merupakan penasihat kolonial bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam yang memberi masukan berarti kepada van Heutsz semasa menjadi gubernur militer di Aceh pada 1898.

Sementara di sisi lain, Ratu Tajul Alam semasa pemerintahannya terkenal sebagai Sultanah Aceh yang tidak memberi kebebasan kepada VOC untuk melakukan monopoli di negaranya. Ini membuat citranya di mata pemerintahan kolonial relatif negatif. Apalagi selama dia berkuasa pada 1644-1675, Aceh belum ditaklukkan.

Begitupun dengan We Tenriolle, meskipun ketika naik tahta pada 1855 dan berusaha membangun hubungan positif dengan pemerintah Hindia, namun Tanete bukanlah daerah yang ramah bagi pemerintah kolonial selama bertahun-tahun sebelum Tenriolle berkuasa.

Kartini, diuntungkan oleh momentum, baik karena menguatnya niat baik Nederland pada tanah jajahan, pun karena pertemanannya dengan orang dekat van Heutsz –Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Snouck. Di era van Heutsz, Hindia menjalankan kebijakan: Edukasi, Emigrasi, dan Irigasi.

Terutama soal Edukasi, Kartini merupakan sosok hidup yang tepat untuk merepresentasikan kebijakan ini. Niat baik Nederland untuk mendidik pribumi di Hindia, bergayung sambut dengan hasrat pribumi –seperti Kartini, untuk menjadi terdidik. Dan momentum itu tidak dialami oleh Ratu Tajul Alam maupun We Tenriolle.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama