[10.06.2016] Kesan pertama terhadap
politisi yang menerbitkan buku adalah rasa sinis. Hal ini dibentuk oleh
keraguan pada kapasitas politisi kita untuk menulis buku. Termasuk ketika kitab
bertajuk ‘Dasi Sang Presiden’, menyeruak ke dunia pustaka kita.
Buku
bersampul biru malam berpadu dengan gradasi layung dan mambang kuning yang
direka oleh Muhammad Rajab –anggota DPRD Prov. Sulsel, pun menyemai syak
wasangka yang sama. Siapa gerangan ghost writer-nya, adalah tanya yang tak
henti memacu suuzan.
Risalah
sebaplang 308 muka, berupa tumpukan 77 artikel dengan beragam tema yang diikat
dalam empat simpul renggang, mengukuhkan sangsi. Apa bisa, orang sesibuk
anggota DPRD tingkat provinsi bisa menyusun buku, di waktu kapan dia menulis?
Prasangka itu
tak akan mengabur bila kita tak mencoba melangkah masuk ke rumah ruhani
Muhammad Rajab ini. Begitu untaian referat mulai dibaca, pikiran negatif
perlahan berbalik arah. Isi buku merupakan manifestasi penulis dalam untaian
huruf dan kata.
Meskipun
isinya coba disistematisasi, namun banyaknya tema dan beragamnya bahasan yang
dipapar membuat wajah buku ini sebagai kumpulan tulisan menjadi sangat alami.
Apalagi dikuatkan dengan pendakuan penulis bahwa buku ini beranjak dari
setumpuk tulisan berwujud lipatan koran dan makalah hasil print out, lalu
dikemas dengan telaten oleh penyunting.
Muhammad
Rajab, pejabat publik yang dikenal oleh banyak pihak sebagai pribadi yang
sufistik, mengendap dalam tulisan-tulisan pada simpul Pintu Langit. Mistik
keseharian yang disingkap melalui warita Rumi, ibn Adham, al-Balki, maupun
banyolan Gus Dur dan tuturan Goenawan Mohamad begitu karib pada keseharian
Muhammad Rajab.
Apa yang
disitir dalam Dasi Sang Presiden, adalah saripati kehidupan Muhammad Rajab.
Saripati hidup yang telah dibaginya lebih dahulu dalam artikel-ertikel koran, ceramah-ceramah
pengajian atau makalah-makalah seminar yang diampunya.
Memasuki
simpul Makna dan Peristiwa, kita disuguhi uraian soal sikap penulis menghadapi
beragam perkara dan aneka perihal dalam perspektifnya selaku wakil rakyat:
reflektif, kritis, dan konstruktif. Tanpa tendensi dan minus pretensi.
Tulisannya tak berkias tak berenda, langsung pada makna terdalam hal-ihwal,
khas aktivis. Dasi Sang Presiden terselip dalam simpul ini.
Sikapnya yang
senantiasa berpihak secara organik kepada rakyat yang lemah dan dilemahkan,
atau kaum mustadh’afin –istilah yang digunakannya, adalah keberpihakan
ideologis bukan sandiwara. Jauh sebelum bersimpuh di kursi empuk parlemen,
Muhammad Rajab sudah berani menentang siapapun yang jumawa dan semena-mena.
Sebagai anak
kampung yang enggan tercerabut dari akar tradisinya, dan tetap memupuk rasa
tangungjawab akan kebaikan dan keluhuran masyarakatnya, Muhammad Rajab yang
merupakan salah satu politisi yang kini dimiliki oleh Tana Luwu, tak lupa
menyisipkan 5 tulisan ihwal Luwu pada simpul Menatap Luwu Utara.
Pada simpul
akhir yang bertajuk Transformasi dan Masyarakat Madani, Muhammad Rajab
membuktikan kelayakan diri selaku wakil rakyat. Ketajaman visinya tentang
masyarakat ideal –masyarakat Madani, serta kejeliannya memapar tapak-tapak
transformasi yang pantas ditempuh adalah garasi yang tak terbantah.
Sebagai
sebuah karya kompilasi, Dasi Sang Presiden adalah bacaan ringan dengan makna
yang berbobot. Hampir tiap referatnya tak lebih dari 5 halaman, sehingga bisa
dibaca di sela aktivitas rutin. Hanya pada simpul keempat kita menemukan
artikel panjang, sepertinya berasal dari makalah seminar. Sayang, pengelompokan
tulisan pada empat simpul masih terasa longgar, jadi kurang mendukung fokus
pembacaan.
Dasi Sang
Presiden cocok bagi mereka yang menyukai bacaan renyah nan gurih, bahan mengaji
yang tak menghakimi. Pula tepat bagi mereka yang suka mengoleksi ‘biografi
pemikiran’ tokoh atau pejabat publik yang patut diteladani. Tentu pas juga, dan
terutama, bagi konstituen politik Muhammad Rajab. Meskipun jangan mengharap
akan menemukan tuturan argumentasi teoritik yang runtut.
Namun yang
lebih penting dari cacat cela dan puji-puja terhadapnya, kehadiran Dasi Sang
Presiden adalah sesuatu yang monumental sifatnya. Alto Makmuralto –penyunting
buku ini, menegaskan bahwa suatu waktu, tulisan-tulisan itu akan mendatangi
Muhammad Rajab untuk menagih apa yang telah dia lakukan dalam kapasitasnya
sebagai pejabat negara. Dan kita para pembaca, tentu dengan senang hati menjadi
penilai, bukankah kita memang selalu merasa nyaman –dan merasa paling berhak–
menjadi pengadil?
Tags:
Resensi