[06.06.2016] Sekarang
bukan zaman Sitti Nurbaya, pemeo ini begitu karib di telinga untuk mengungkap
bahwa kini bukan lagi masanya praktik menikahkan anak melalui perjodohan. Meski
sudah akrab, tak semua mafhum bahwa nama Sitti Nurbaya dalam pemeo itu berakar
pada sebuah roman lawas berlatar Minangkabau dengan kop Kasih Tak Sampai.
Kisah arkais yang digubah oleh Marah
Halim bin Sutan Abu Bakar –seorang dokter
hewan yang lebih tenar dengan nama Marah Rusli, terbit perdana pada 1922, mengabarkan perkara cinta
Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri yang harus kandas tersebab si gadis telah
dijodohkan dengan seorang pria tua bernama Datuk Meringgih.
Rupanya, pelik rindu yang ditentang
adat, tak hanya menjadi ide ceritera bagi Marah seorang, ihwal ini pula
menginspirasi Ahmad Sahide untuk mementangkan warita soal asmara antara Daro
dan Karaeng Asri yang harus kandas lantaran adat yang tak memberi restu.
Novel ringkas –hanya setebal
137 pagina, bertajuk Cinta Anak Karaeng ini
mengisahkan kerumitan hubungan cinta bagi seorang anak Karaeng –strata sosial tertinggi dalam masyarakat Makassar. Karaeng Bakri menolak delapan lelaki yang mengajukan
lamaran untuk anaknya, Karaeng Asri hanya karena para pelamar tidak berdarah
Karaeng.
Karaeng Asri yang berprofesi sebagai
guru dengan predikat Pegawai Negeri Sipil, harus menapaki usia 26 tahun, usia yang sudah tergolong terlambat untuk menikah bagi
masyarakat Kindang-Bulukumba, tempat cerita ini dibabar, dalam kesendirian.
Semua itu karena belum ada lelaki sederajat yang datang melamar.
Lalu tersebutlah Daro –Darwis nama resminya,
pemuda yang masih tetangga dengan Karaeng Asri. Pemuda yang hanya menuntaskan
Sekolah Dasar dan jago bermain bola –satu-satunya kelebihannya, diam-diam memendam rasa pada Karaeng Asri yang berumur jauh di atasnya. Daro baru berusia 20 tahun.
Karena jauhnya jarak yang membentang,
baik usia, status sosial dan status ekonomi, Daro menyadari kemustahilan
mewujudkan cintanya pada Karaeng Asri bila tak ada faktor X yang ikut bermain.
Maka Daro memanfaatkan jasa Amma' Hatik, dukun mumpuni di ujung Desa Kindang.
Berkat hembusan asap rokok yang diisap
oleh Daro ke muka Karaeng Asri, asap yang sudah diisi dengan mantra pekasih
dari Amma' Hatik, Karaeng Asri menjadi cinta mati pada Daro. Hal tersebut
dibuktikan dengan pesan singkat dari Karaeng Asri, membalas pesan singkat
serupa dari Daro. Intinya, mereka sama-sama saling memendam rasa.
Sejak itulah, Daro dan Karaeng Asri
menjalin hubungan asmara secara rahasia. Namun, serapi-rapinya asmara itu diperam,
aromanya akan menguar ke mana-mana, siapa pula yang mampu meredam gelora cinta?
Hubungan itu membuat keluarga besar Karaeng Bakri murka. Peringatan yang tak
dihirau, membuat keluarga Daro harus menjalani hukuman adat, angkat kaki dari
Kindang.
Selepas itu, kedua sejoli hidup dalam
pengasingan, dicerabut dari muara cintanya. Ahmad Sahide mengakhiri derita
Karaeng Asri dan Daro dengan garis nasib yang muram: Daro menjadi gila karena
rindu, Karaeng Asri bunuh diri dirajam pilu. Sebuah kisah yang mencucuk hati, meracah jiwa.
Meski berakhir tragis, namun itu terasa
landai, sebuah ending cerita yang sudah berlaku sejak zaman Sitti Nurbaya: tak
bahagia. Cinta Anak Karaeng adalah novel yang ringan dengan pengelolaan
konfliknya tergolong datar. Hanya berkutat pada kandasnya cinta karena
tentangan adat, tak lebih.
Kelebihannya terletak pada upayanya
mengangkat latar kultur lokal, dengan mengambil setting di sebuah desa kecil di
Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Desa Kindang namanya –desa kelahiran penulis. Penggambaran latar cerita berhasil dilakukan dengan
detil yang kuat, meski masih kurang dalam elaborasi nilai tradisi.
Hal yang sedikit merusak suasana cerita
adalah penggambaran tokoh utama yang terkesan dipaksakan dalam alur cerita.
Karaeng Asri, yang puteri karaeng berusia 26 tahun, berprofesi guru PNS pula,
bila terlambat pulang bapaknya akan murka, dikisahkan suka nongkrong di pinggir
jalan dengan remaja tanggung, bercampur lelaki dan perempuan juga.
Bukankah tak logis, dalam nuansa kampung
yang masih ketat memegang adat, menjadi begitu permisif bagi seorang gadis
terhormat berusia 26 tahun dengan orang tua yang mengontrol ketat, bebas
nongkrong di pinggir jalan. Apatah lagi dia berprofesi sebagai pendidik.
Namun terlepas dari itu, Cinta Anak
Karaeng tetap novel yang layak dibaca terutama para pecinta cerita berlatar
tradisi. Juga pas bagi pembaca berusia muda, dialog dalam novel ini dikemas
dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Ditemani segelas kopi pahit tanpa gula –gaya minum kopi orang Kindang, sepiring kacang goreng, dan butiran air mengetuk-ngetuk
daun jendela di sore berhujan, itu saat paling tepat membaca novel ini.
Tags:
Resensi