Tjokroaminoto dan Islam Kerakyatan


[12.06.2016] Tak ada yang meragukan bahwa Tjokroaminoto adalah seorang pemimpin pergerakan nasional yang cemerlang. Bahkan tak kurang, seorang Soekarno, tanpa malu mengakui bahwa dirinya adalah bayangan dari Tjokroaminoto. Dari Tjokroaminotolah, Soekarno mula-mula mendapatkan pencerahan. “Aku duduk dekat kakinya, dan ia akan memberiku buku-buku,” kenangnya.

Sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI), organisasi massa terbesar di era perjuangan kemerdekaan, Tjokroaminoto memilih Islam-Sosialis sebagai ideologi perjuangannya. Sebuah pilihan tepat dengan mengacu pada kondisi obyektif rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. (2009:21) menulis, “Kesamaan agama dari penduduk yang 90 persen di antaranya adalah orang-orang muslim, telah membentuk dasar-dasar obyektif menuju ke arah perkembangan pembebasan nasional Indonesia secara menyeluruh.”

Bagi Tjokroaminoto, perjuangan pembebasan nasional Indonesia harus berbasis pada kondisi obyektif rakyat. Dari salah perjuangan digerakkan, untuk mengubah kondisi rakyat, dengan bermodalkan kekuatan rakyat itu sendiri. “Rakyat kita telah dipandang sebagai seperempat manusia. Apabila rakyat sudah bangun dari tidurnya, tidaklah ada sesuatu pun yang dapat menghalangi pergerakannya!” Demikian teriak Tjokroaminoto dalam berbagai pidatonya.

Bagaimana cara membangunkan rakyat yang sementara tertidur dan tak berdaya itu? Tjokroaminoto menjatuhkan pilihannya pada upaya persatuan, khususnya persatuan keislaman, sebab dirinya melihat bahwa agama itu yang bisa menjadi simpul dan menyatukan rakyat. Rakyat butuh dibangunkan lalu disatukan, dan itu dilakukan melalui Islam. Namun, Islam yang dimaksud oleh Tjokroaminoto adalah Islam yang peduli, dan mengabdi pada rakyat, bukan Islam yang telah kehilangan watak sosialisnya.

Islam dengan watak sosialis dan peduli pada rakyat adalah Islam yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Pertama-tama, Tjokroaminoto menanamkan kesadaran ini pada kader SI, “Semua anggota Sarekat Islam itu bersaudara, terlepas dari umur, pangkat, dan statusnya.” Mengapa Tjokroaminoto mengungkapkan ini? Sebab baginya, tak mungkin SI bisa membangun persaudaraan dan persatuan rakyat, tanpa membangun terlebih dahulu hal tersebut di dalam dirinya.

Dalam pandangan Tjokroaminoto, apabila kesadaran bahwa segenap umat manusia adalah satu persatuan, maka menjadi kewajiban bersama untuk berusaha mencapai keselamatan bagi seluruh umat. Ini berarti bahwa bila kader SI menyadari bahwa mereka dipersaudarakan oleh Islam, maka mereka berkewajiban berjuang bagi persatuan dan kebaikan rakyat Indonesia yang 90 persen adalah muslim.

Dalam salah satu pidatonya, Tjokroaminoto menegaskan hal ini, “Wij hebben ons ras lief en met de kracht van de leer van onzen godsdienst (Islam) doen wij ons best om allen of het grootste gedeelte van onze bangsa een te maken. (Kita mencintai bangsa kita, dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita).”

Keberpihakan Tjokroaminoto pada rakyat, atau lebih dikenal dengan istilah kaum bumiputera, ditunjukkannya melalui keengganannya menggunakan artibut-atribut kebangsawanan yang berhak ia sandang. Bahkan, Tjokroaminoto bersitegang panjang dengan ayah mertuanya yang patih itu, Raden Mangoenkoesoemo. Mertuanya menganggap bahwa pikiran progresif Tjokroaminoto adalah sikap yang tidak lazim dan berbahaya di tengah kejayaan zaman kolonial.

Sampai era ketika Tjokroaminoto masuk sebagai anggota Volksraad pada februari 1918, tanggung-tanggung, Semaoen yang saat itu memimpin SI Cabang Semarang atau lebih dikenal sebagai SI Merah, memuji guru politiknya tersebut. Dari seluruh anggota Volksraad, baik yang dipilih maupun yang ditunjuk, hanya satu yang bukan hamba para pemodal, hanya satu yang berpihak pada kaum bumiputera, yaitu Tjokroaminoto. Demikian pengakuan Semaun akan konsistensi Tjokroaminoto berpihak pada rakyat.

Kepada kader-kadernya, Tjokroaminoto mengingatkan betul betapa pentingnya keberpihakan pada rakyat, pada kaum bumiputera. Tjokroaminoto berpesan, “Kalau kamu mau menjadi pemimpin rakyat yang sungguh-sungguh, lebih dahulu kamu harus cinta betul-betul kepada rakyat. Korbankanlah jiwa ragamu dan tenagamu untuk membela kepentingan rakyat, sebab kamu adalah satu bagian daripadanya.”


Apa yang dipesankan oleh Tjokroaminoto, nampaknya patut direnungkan oleh seluruh kita pada hari ini, terutama pemimpin muda muslim. Sejauh mana kita menyatu dengan rakyat, sejauh mana kita rela mengorbankan jiwa dan tenaga untuk kaum bumiputera, menentukan kadar kecintaan kita pada mereka.

Tulisan ini telah dimuat di EduNews.ID

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama