[18.06.2016] Tak ada yang meragukan,
apalagi tak mengetahui bahwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
dikumandangkan Soekarno yang didampingi oleh Moh. Hatta pada jumat pagi, 17
Agustus 1945. Proklamasi yang dikumandangkan dengan suara tegas, meski dengan
pengeras suara yang rusak karena kabelnya terinjak-injak massa.
Namun, tak
banyak yang mengetahui bahwa 17 Juni 1916, di Gedung Pertemuan Concordia
(sekarang Gedung Merdeka), Kota Bandung, menggema suara berat bariton dengan
kalimat yang berapi-api, membakar semangat peserta National Congress (Natico)
Pertama Centraal Sarekat Islam (CSI) yang dihadiri tak kurang dari 800.000
anggota dari 180 lokal SI seluruh nusantara.
Suara yang
meneriakkan hal tak biasa, soal yang belum terpikirkan oleh sebagian besar
bumiputera kala itu. Begini katanya,“Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam
rapat ini berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri…
Supaya Hindia lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur)…”
Pemilik suara
itu tak lain adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Centraal Sarekat
Islam (CSI). Tokoh pergerakan yang oleh Belanda digelari De Ongekroonde Koning
van Java (Raja Jawa yang Tak Dinobatkan). Dialah Jang Oetama, sang Raja Tanpa
Mahkota. Dia tak lain adalah mertua sekaligus guru bagi Sukarno.
Natico
Pertama CSI yang berlangsung 17–24 Juni 1916 ini menjadi penting, sebab inilah
kegiatan besar pertama di era pendudukan Belanda, menghimpun kaum pergerakan
bumi putra dari seluruh nusantara: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan
Sulawesi, lalu dengan berani menyebutkan kata natie (kebangsaan) dan
zelfbestuur (pemerintahan sendiri).
Dengan
dilandasi oleh spirit Islam, Tjokroaminoto berteriak garang menuntut
pemerintahan sendiri yang akan mensejahterakan rakyat Hindia, “Kita mencintai
bangsa kita dan dengan kekuatan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha
sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita. …dan
meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah
air kita dan pemerintahan kita.”
Bila kita mau
lebih jujur pada sejarah, kita layak mengakui bahwa proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan Sukarno pada 17 Agustus 1945, merupakan buah dari apa yang
diteriakan Tjokroaminoto, mertuanya, pada 17 Juni 1916 di Bandung. “Hak untuk
memerintah sendiri adalah soal hidup atau mati bagi Hindia. Bila tuntutan hidup
tersebut tidak dipenuhi, maka Hindia tentu akan binasa!” Seru Tjokroaminoto
hari itu.
Tjokroaminoto-lah
yang mula-mula menyadarkan kaum bumiputera bahwa mereka bukanlah sapi perahan
yang hanya diberi makan demi mendapatkan susu. Hindia bukanlah bangsa kuli dan
tak boleh menjadi kuli di antara bangsa-bangsa. Semua itu bisa diwujudkan bila
Hindia bisa mempunyai pemerintahannya sendiri.
Memang, apa
yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dengan meneriakkan perkara zelfbestuur,
adalah pikiran yang amat berbahaya bagi pemerintahan kolonial kala itu. Namun
bagi Tjokroaminoto, zelfbestuur sungguh diperlukan, “Selayaknya Hindia segera
diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri…tidak pantas lagi Hindia
diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan seorang tuan tanah yang menguasai
tanah-tanahnya!”
Tjokroaminoto
sudah siap menghadapi konsekuensi tuntutannya. Risiko meneriakkan sebuah kata
haram bagi seorang inlander dia ketahui dengan baik. Tapi Tjokroaminoto tak
mundur dan ketakutan dari tuntutan zelfbestuur. Bahkan kepada massa setianya,
Tjokroaminoto mengajaknya bersiap untuk berjuang menghadapi segala risiko demi
cita-cita berpemerintahan sendiri.
“Seandainya,
kepentingan yang kita perjuangkan bersama itu sampai terancam oleh sesuatu
pengaruh atau bahaya dari luar, maka kita akan berdiri serempak untuk berjuang
menghalau bahaya yang mengancam kita.” Sebuah pernyataan yang menunjukkan
keteguhan sikap dan keberanian dalam berjuang yang ditunjukkan seorang pemimpin
sekaliber Tjokroaminoto.
Sebagai bahan
refleksi kebangsaan kita, mengenang kembali seruan zelfbestuur Tjokroaminoto
pada 17 Juni 1916 adalah hal yang patut dilakukan. Ini sebentuk pengingat bagi
generasi muda muslim, bahwa Indonesia bisa berpemerintahan sendiri, adalah
benar-benar hasil perjuangan dari para pejuang muslim bangsa ini, dan bukan
hadiah atau hasil perjuangan orang lain.
Lagi pula,
Allah swt dalam al Quran telah mewanti-wanti agar kita senantiasa bisa
mengambil pelajaran dari sejarah. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu,
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. 12:111). Tak selayaknya
generasi muda muslim menjadi generasi yang amnesia sejarah.
Dari
sejaralah kita bisa berkaca bahwa meskipun perjuangannya berbasis pada spirit
keislaman yang dalam, Tjokroaminoto tidak lantas menjadi sektarian. Dia
mengatakan, “…bilamana kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya
bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri,
maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama
memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa
maupun agama.” Indah bukan?
Tulisan ini
merupakan refleksi 100 tahun Zelfbestuur, 17 Juni 1916 – 17 Juni 2016. Dimuat
di EDUNEWS.ID, 18 Juni 2016.
Tags:
Sosial Politik