[30.10.2016] “Jika kapal tetap berangkat tanpa Agus Salim, tahun depan tidak akan ada calon jamaah haji yang akan berangkat dengan kapal Kongsi Tiga”. Sebuah telegram tiba di kantor perusahaan kapal di pelabuhan Batavia. Segera, informasi dari telegram diteruskan ke tangan kapten yang sudah mulai gelisah, aba-aba pemberangkatan belum juga muncul.
Begitu isi telegram tiba di tangan, kapten yang semula jengkel, menjadi ciut nyali. Dia pun menenangkan penumpang yang sudah gerah menanti pemberangkatan dengan membacakan telegram. Setelah mendengar isi dan mengetahui pengirimnya, suasana kapal Kongsi Tiga menjadi tenang tanpa riak.
Telegram itu, dikirim oleh ‘penguasa’ bumiputera di Hindia Timur kala itu, Tjokroaminoto. Sementara orang yang dia minta untuk di tunggu adalah Agus Salim, tandemnya di pucuk pimpinan Partai Syarikat Islam Hindia Timur. Saat itu, ketika kapal Kongsi Tiga menantinya di Batavia, Salim masih di Surabaya, mengurus paspor untuk ke Mekkah.
Karena pemerintah Hindia di Batavia tak kunjung mengeluarkan paspor untuk Salim yang akan menghadiri Muktamar Alam Islami 1927, maka dia berinisiatif mengurusnya di Surabaya, meski hal itu membuat satu kapal jamaah haji harus menunda keberangkatan selama dua hari atas ‘perintah’ Tjokro.
Ketika dua hari kemudian Salim menginjakkan kaki di tangga kapal Kongsi Tiga di pelabuhan Batavia, dirinya disambut bak pahlawan. Hal ini membuatnya heran dan bertanya, “Mengapa saya disambut dengan cara seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa, bahkan membuat kapal ini terlambat?”. Dengan jengkel, kapten Kongsi Tiga menjawab, “Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya selama 2 x 24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!”
Cerita yang dikisahkan kembali oleh Jojet (Violet Hanifah) yang putri ketiga Salim ini, menunjukkan betapa penting posisi Agus Salim di sisi Tjokro. Demi lelaki mungil berjanggut kambing ini, Tjokro mempertaruhkan jamaah haji tahun depan, agar kapal Kongsi Tiga menunda keberangkatan tanpa Salim.
Sebelum bergabung ke Sarekat Islam, sebagaimana disebutkan Suradi (2014 : 58), Salim sempat bergabung ke Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofia), Nederlands Indische Virijzinningen Bond(NIVB), dan Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP). Namun semua perkumpulan ini Salim tinggalkan kemudian.
Yang amat menarik adalah, fakta bahwa Salim bisa mendapatkan tempat khusus di sisi Tjokro, padahal sebagaimana diakuinya sendiri, Salim masuk ke Centraal Sarekat Islam sebagai mata-mata yang disusupkan oleh polisi Hindia Belanda untuk mencari kebenaran informasi perihal kontak Tjokro dengan pihak Jerman.
Dalam Koran Bendera Islam (Edisi 2 Mei 1927), Salim menulis begini, “Saya masuk Sarekat Islam mulai tahun 1915. Permulaan saya berkenalan dengan perhimpunan itu pertama sekali di dalam kalangan bestuur CSI, adalah di dalam jabatan pada politie (polisi) dan politik. Saya diminta orang (pihak polisi) bagi keperluan pemeriksaan berhubungan dengan kabar-kabar angin yang mengandung gugatan bahwa Tjokro telah menjual Pergerakan Sarekat Islam kepada Jerman dengan hanya seratus lima puluh ribu rupiah.”
Namun bukannya memata-matai —meskipun Salim tetap memasukkan laporan perihal Sarekat Islam kepada Gubernur Jenderal Idenburg, bahkan menjadi salah satu sumber utama studi Korver, Salim malah mengungkapkan kekaguman dan penghargaan yang tulus terhadap Tjokro dan Sarekat Islam.
Saat berkesempatan menjadi dosen tamu di Cornell University tahun 1953, pada salahsatu sesi kuliahnya, Salim mengungkap bahwa pasca bergabungnya ke SI tahun 1915, Tjokro mengajaknya berkeliling ke berbagai kegiatan organisasi. Dalam perjalanan pulang dari vergadering di Situbondo yang dihadiri 50.000 massa rakyat, Tjokro bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang perkumpulan saya, partai saya?”, lalu Salim menjawab, “Sungguh mengagumkan, saya tidak dapat berpikir bagaimana kejadian dalam rapat umum tadi.”
Kekaguman Salim juga ditunjukkan dalam salahsatu laporannya kepada pemerintah terkait isu Tjokro dan Jerman, “Dari bermula saya yakin akan dua perkara, pertama bahwa kabar angin itu tak ada isinya, dan kedua, apabila betul-betul dicoba orang, mesti menjadi bala yang besar di atas negeri dan rakyat.”
Lanjut Salim, karena pekerjaan (mata-mata) itu “Saya menjadi berkenalan betul dengan Sarekat Islam, istimewa dengan pemimpin Tjokroaminoto dan kenal itu menyebabkan pula saya sampai masuk dalam SI. Sesudah masuk itu, saya putuskan berhubungan dengan pihak polisi.” (Bendera Islam, 2 Mei 1927).
Sepanjang perjalannya di SI, Salim menjadi pihak yang berperan besar menjadi penyeimbang Tjokro. Seperti ketika Tjokro seperti larut dalam euforia Ratu Adil yang disematkan oleh para pengikutnya, Salim mengingatkan perlunya menghindari hal sedemikian. Begitupun ketika Tjokro membawa SI ke arah perjuangan non-kooperasi, Salim membuka jalan kooperasi.
Salimlah pihak yang memberi warna keIslaman dalam SI, sebab Tjokro “lebih merupakan priyayi yang berpaham bebas daripada seorang Islam yang fanatik” (D.A. Rinkers dalam van der Wall, 1967:401), atau dalam bahasa Koerver (1985:240), “Tjokroaminoto terutama menitik-beratkan pada segi politik agama.”
Bahkan, Salim menjadi orang yang paling berperan dalam ‘mengusir’ Semaun dan SI Semarang yang berhaluan Komunis pada Kongres ke-VI CSI di Surabaya, 6-11 Oktober 1921. Saat itu, Tjokro harus mendekam di penjara kolonial karena kasus Afdeling B di Garut dan pemberontakan petani di Toli-Toli. Hal mana kemudian ‘memaksa’ Tjokro —sekeluarnya dari tahanan— menulis “Islam dan Sosialisme” (1924) untuk meredam ketegangan dengan kelompok Komunis.
Meskipun Salim merupakan sedikit dari pemimpin SI yang seringkali bersimpang pemikiran dengan Tjokro di SI —selain Semaun dan Abdul Muis, namun ketika Tjokro wafat pada hari senin kliwon, 10 Ramadhan 1353 H yang bertepatan dengan 17 Desember 1934 M di Yogyakarta, Salim-lah yang kemudian didaulat untuk melanjutkan kepemimpinan Tjokro di SI.
Tulisan ini dimuat di EDUNEWS.ID, edisi 29 Oktober 2016