Tjokroaminoto dan Penista Agama

[13.11.2016] "Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium." Mata Tjokroaminoto membelalak membaca kalimat tersebut, tangannya yang mengenggam surat kabar Djawi Hisworo bergetar hebat, tak sadar, dia meremas apa yang digenggamnya.

Surat kabar yang beredar di awal Januari 1918 itu, memuat artikel yang ditulis oleh seseorang yamg bernama Djojodikoro dengan judul “Pertjakapan Antara Martho dan Djojo”, telah menyulut amarah dan sentimen keagamaan Hoofdbestuur Sarekat Islam (SI) itu.

Apalagi, tersebarluasnya artikel tersebut di kalangan Islam, tak lepas dari peran Marthodarsono, seorang anggota SI Surakarta. Sebabnya, seperti diurai oleh Takashi Shirashi (1997 : 143-147), tak lepas dari pertentangan di internal SI perihal penciptaan dan penerapan nilai-nilai kebangsaan.

Saat itu, setidaknya ada empat arus besar dalam SI. SI Surabaya yang menjadi penyokong utama Tjokroaminoto bersama dengan Agus Salim, SI Semarang yang dikuasai Semaoen, SI Surakarta yang masih dibayangi Samanhudi, serta SI Yogyakarta dibawah pengaruh Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah.

Artikel Djojodikoro yang oleh Marthodarsono dimaksudkan untuk melemahkan gerakan Tjokroaminoto, justru berbalik arah, menjadi amunisi besar bagi Tjokro untuk menguatkan posisinya. Isu ini dimanfaatkan oleh Tjokro sebagai pintu masuk mengukuhkan peran islam dalam proses penciptaan dan penerapan nilai-nilai kebangsaan.

Adalah Tirtodanoedjo dan Tjokrosoedarmo, dua orang anggota SI Surabaya, mendirikan gerakan Djawa Dipa. Gerakan ini, menurut Nasihin (2012 : 94) bertujuan untuk menghapus bahasa Jawa tinggi (kromo) menjadi bahasa Jawa biasa (ngoko). Djawa Dipa menjadi sebentuk alat perjuangan mendemokratisasi orang-orang Jawa.

Tjokroaminoto, yang saat itu juga menjadi anggota Djawa Dipa merasa bahwa orientasi gerakan itu belumlah cukup kuat untuk menyiapkan bumiputera dalam menyongsong zelfbestuur. Tjokroaminoto lebih menghendaki penggunakan bahasa Melayu sebagai ciri nilai kebangsaan atau nilai-nilai demokratis bangsa Indonesia.

Maka momentum kemunculan Djojodikoro yang dianggap melecehkan Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. tersebut, memberi alasan bagi Tjokroaminoto untuk membentuk Tentara Kandjeng Nabi Moehammad saw. (TKNM) pada tanggal 17 Februari 1918 di Surabaya.

Kepengurusan TKNM yang dipegang oleh Tjokroaminoto (Pimpinan), Sosrokardono (Sekretaris), dan Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib (Bendahara) segera menggelar vergadering di Kebun Raya Surabaya dengan dihadiri sedikitnya 35 ribu orang. Massa yang hadir berasal dari anggota SI dan Al Irsyad yang cabang Surabaya juga dipimpin Tjokroaminoto.

Setelah itu, segera pula menyusul pembentukan sub-sub TKNM di berbagai daerah yang dimotori oleh anggota SI. Seiring dengan kian membesarnya kekuatan TKNM, tuntutan agar Djojodikoro (penulis artikel) dan Marthodarsono (penyebar artikel) diadili oleh Pemerintah Hindia Belanda kian menguat. Selain itu, arus utama SI yang sebelumnya mengalami friksi, bersatu dalam isu ini.

Menurut Nasihin (2012 : 98), isu penistaan agama dan pembentukan TKNM telah memberi beberapa keuntungan bagi Tjokroaminoto. Tjokroaminoto berhasil menggaet anasir demokratis dan sosialisme yang selama ini terserak. Tjokroaminoto juga berhasil menarik simpati kaum santri, kaum abangan, serta para saudagar Arab sebagai donatur SI.

Selain itu, Tjokroaminoto juga dapat menarik simpati bumiputera dan kalangan SI untuk tidak mendukung gagasan kebangsaan ala Djawa Dipa yang disokong oleh SI Surakarta. Bahkan, berkat dukungan pendanaan para saudagar Arab melalui TKNM, Tjokroaminoto mampu mengimbangi, bahkan menyaingi pengaruh Semaoen dan SI Semarang di kalangan pergerakan kaum buruh.

Bercermin pada reaksi umat Islam atas artikel Djojodikoro yang melakukan penistaan agama dengan menghina Nabi Muhammad saw., yang ditunjukkan dengan hadirnya 35 ribu massa pada vergadering yang digelar TKNM, padahal saat itu sarana komunikasi masih terbatas. Maka besarnya peserta Aksi Bela Islam (04/11/2016) menunjukkan bahwa betapa umat Islam akan demikian tersinggung bila agamanya dinista.

Bahwa Aksi Bela Islam (04/11/2016) berpeluang dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu, maka sepanjang itu demi kemaslahatan umat, memang sudah selayaknya demikian. Toh, Tjokroaminoto juga memanfaatkan momentum pembentukan TKNM untuk kepentingan politik mendorong Islam menjadi ciri nilai kebangsaan atau nilai-nilai demokratis bangsa Indonesia.

Ketika Tjokroaminoto berhasil mengutuhkan gerakan SI, sebagai gerakan bumiputera (Islam) terbesar di zamannya melalui momentum penistaan agama. Aksi Bela Islam (04/11/2016) menunjukkan bagaimana umat Islam busa bersatu-padu dan menghilangkan sekat organisasi dan komunitasnya, demi menegakkan muruah agama.

Meskipun, Aksi Bela Islam (04/11/2016) belum merepresentasikan kekuatan ril politik Islam, tetapi setidaknya, momentum ini menjadi pemantik bagi upaya merumuskan peta jalan politik Islam di Indonesia yang dimulai dengan persatuan dalam umat Islam. Dari situ, kita lalu bergerak untuk memenuhi seruan Tjokroaminoto, “Kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita.”

Dimuat di EDUNEWS.ID, edisi 12 November 2016

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama