Perihal Heidegger, Lupa dan Tawa yang Filosofis

[08.08.2017] Konon, Martin Heidegger, filsuf Jerman kelahiran Messkirch ini pernah mengatakan, "Jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat." Maka aku ingin menegaskan, "Jika ngantuk menghampiri dan lelap menyapa, itulah masa yang pas untuk menulis."

Pagi tadi, aku sudah nangkring di sadel motor ketika istriku berteriak dari dalam, "Kak, HPnya ketinggalan!" Tidak biasanya aku melupakan teknologi informasi dengan banyak fungsi itu. Sebelumnya, aku lebih sering melupakan dompet dibanding telepon genggam.

Sejam sebelumnya, aku juga mengalami kejadian yang serupa: lupa. Saat mandi, tak sengaja aku mengoleskan sampo ke badan. Aku melakukannya karena menyangka bila itu sabun mandi cair. Ketika aroma daun Landep menghampiri hidungku, barulah aku tersadar bahwa itu sampo.

Dua peristiwa itulah yang membuatku teringat pada Heidegger. Terkenang pada klaim radikalnya bahwa sebagian besar kita yang hidup di zaman kekinian, adalah manusia-manusia yang tunduk pada rutinitas, larut dalam peradaban material yang banal.

Momen lupa yang kualami pagi tadi, sesungguhnya adalah percik kesadaran yang menginterupsi 'kealpaan eksistensial' yang mendera. Keduanya memantik upaya untuk menjaga jarak dari rutinitas, mencoba meniriskan aku yang tenggelam dalm waktu.

Keduanya mengajak untuk menghayati pengalaman memukimi dunia (ada) dan bisa memaknai waktu (zeit) ala sang penjinak waktu, Heidegger. Memang, di awal mandi tadi, aku gagal menikmati momen otentik saat bulir air menjamah setiap inci kulitku.

Aku mandi terburu-buru hingga menganggap sampo sebagai sabun mandi cair, aku berangkat tergesa sampai lupa emembawa telepon genggam karena takut terlambat. Ini menjadi bukti nyata dari diktu Heidegger bahwa manusia telah menjadi subordinat pada waktu. Aku menjadi tak lebih sekedar budak dari waktu kronometrik.

Dua kejadian lupa yang menerpaku pagi ini menjadi semacam aparatus heideggerian, sebentuk kegelisahan eksistensial (angst) agar aku kembali memukimi dunia secara otentik, dan bertindak sebagai tuan dari waktu. Lupa tadi pagi adalah ingatan untuk membangunkanku dari kelupaan panjang, yang bergelar rutinitas.

Mungkin bagi sebagian orang, lupa membawa telepon genggam,  atau menganggap sampo sebagai sabun mandi cair adalah peristiwa remeh, padahal sesungguhnya, rutinitas yang tanpa interupsilah yang memerangkap kesadaran eksistensial, dan membuat kita melupakan 'ada' (sein). Belukar rutinitas, tak lebih dari 'adaan' (seinde).

Heidegger mengilustrasikan perangkap rutinitas itu dengan gamblang, "Berangkat ke kantor, memeriksa laporan perkembangan harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Sore hari beranjak pulang. Sesampai di rumah membersihkan badan, mandi, makan, lalu tidur. Keesokan hari berangkat ke kantor.....  Sesampai di rumah..... "

Apakah keseharian hidup sesederhana itu? Heidegger mengajak kita merenungkan hal ini. Apa makna keberadaan manusia di tengah dunia? Tidakkah rutinitas keseharian telah menelikung kita dalam kepalsuan? Bukankah ini derita, di saat kita tercerabut dari keberadaan eksistensial, dan cuma mampu menjangkau adaan?

Perihal derita ini, deklarator terbunuhnya Tuhan, Friedrich Nietzsche mengungkap hasil permenungannya, "Kiranya, aku tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya mahluk yang tertawa; dia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa."

Nampaknya aku memang kurang tertawa akhir-akhir ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama