Sapu Bu Rahma

[29.10.2017] Sudah dua bulan aku menetap di desa terpencil ini. Sejak lulus pendidikan diploma tiga kebidanan. Pemerintah kabupaten menyodoriku kontrak kerja selama tiga tahun untuk menjadi bidan di puskesmas pembantu (pustu). Desa ini memang sangat membutuhkan kehadiran tenaga kesehatan, sebab akses keluar dan masuk ke desa masih terbatas.
Meski pilihanku atas pekerjaan ini ditentang keras oleh kedua kakak lelakiku, restu dari ibu menjadi penyemangatku untuk mengabdi di pelosok. Maka di sinilah aku kini, menjadi bidan desa yang bertugas di pustu, sarana kesehatan untuk pertolongan pertama, yang juga menjadi tempat tinggalku.
Sebelum bertempat tinggal di pustu, aku menumpang di rumah kepala desa selama sepekan. Selain kuisi dengan kegiatan membersihkan pustu, berkenalan dengan para tokoh masyarakat, juga melakukan survei kecil-kecilan tentang suasana desa. Tujuanku sederhana, agar lebih mengenal tempat kerja.
     “Bu Bidan jangan mendekati rumah itu ya.” Anak gadis Kepala Desa, Salma namanya, menunjuk ke arah rumah panggung besar yang letaknya agak terpisah dari rumah warga yang lain.
     “Ada apa dengan rumah itu, Salma?”
     “Tidak apa-apa, Bu...”
     “Kalau begitu, kenapa tidak boleh didekati?”
     “Mmm...”
Aku berhenti, memegang lengannya, mencoba mencari sesuatu di matanya.
     “Orangnya kurang bergaul, bu Bidan.”
Aku menghela nafas, lalu mengajak Salma.  Senja sudah menjelang, azan magrib pun sudah berkumandang.
*     *     *
Sebulan terakhir aku mengamati kebiasaan bu Rahma, pemilik rumah panggung besar yang Salma memintaku untuk menjauhinya. Kulihat tak ada hal aneh yang dilakukannya. Selepas subuh, bu Rahma akan memunguti dedaunan kembang sepatu yang tumbuh di sudut halaman masjid sebelum pulang.
Pada jam tujuh pagi, tak pernah telat, bu Rahma sudah akan membuka kios kecilnya yang menempel di dinding belakang sekolah dasar  di ujung desa. Dia berjualan mie siram dan ubi goreng. Pembelinya adalah siswa dan para guru pada jam istirahat. Tak banyak bicara, hanya melayani pembeli, dan beranjak pulang saat bel kepulangan berdentang.
Bila telah di rumah, hanya satu alasan bagi bu Rahma untuk keluar rumah, ke masjid. Seingatku, ia termasuk rutin salat berjamaah lima waktu di masjid. Dia selalu berdiri di saf pertama pojok sebelah kanan. Sepertinya dia tak pernah berpindah dari sana. Jamaah lain kulihat tak ada yang akrab dengannya.
Sebenarnya sudah beberapa kali aku mencoba untuk berkomunikasi dengan bu Rahma bila usai salat subuh. Tapi setiap aku mendekat dan ingin menyapanya, ada saja jamaah lain yang menyapa duluan. Mereka bertanya seputar kesehatan reproduksi, atau sekadar mencari tahu mengapa aku belum menikah, dan kriteria calon suami yang kuidamkan.
Soal menikah, ini juga hal yang agak berat aku jawab, karena pada dasarnya aku sudah siap, tapi Allah nampaknya masih menuntut kesabaranku dalam menanti. Sederhananya, belum ada yang cocok, baik calon yang langsung menemuiku, maupun yang disodorkan orang tuaku. Maka hingga kini aku masih sendiri.
*     *     *
     “Bu Bidan, matahari sudah terbit,” sayup kudengar suara, perlahan kubuka mataku. Aku ketiduran di masjid, rupanya. Selepas subuh, aku rebahan di dekat lemari mukena.
     “Nampaknya, bu Bidan kelelahan, ayo mampir ke rumah.” Kembali suara itu kudengar, perlahan wajah kuangkat, kulihat wajah bu Rahma tersenyum.

Maka di sinilah aku pagi ini, duduk manis di ruang tamu bu Rahma, menikmati teh manis hangat dan ubi jalar rebus. Bu Rahma sudah tinggal sendiri sejak ditinggal mati suami dan anaknya lima tahun lalu.
     “Ibu tidak jualan?” Tanyaku pada bu Rahma yang kulihat sibuk menyapu.
     “Masih sempat bu Bidan, tak elok rasanya meninggalkan rumah dalam keadaan kotor.”
     “Ini sudah bersih Bu, apa dibersihkan tiap hari?”
     “Begitulah bu Bidan, kita harus membersihkan secara rutin, bukankah Allah mencintai hambaNya yang senantiasa mensucikan diri?”
     “Betul sekali, Bu.” Jawabku sekenanya.
     “Kita menyapu, sepatutnya bukan hanya membersihkan sampah dan remah di lantai, bu Bidan. Yang lebih penting adalah membersihkannya secara batin. Rumah harusnya bebas dari iri dan dengki, dan diisi dengan sikap belas kasih.” Bu Rahma lalu melanjutkan aktivitasnya menyapu sambil tersenyum. Aku teringat dengan pakaian kotorku yang teronggok di sudut kamar, sarang laba-laba di pojok, dan kaca jendela yang berdebu.
*     *     *
            Sore di teras pustu, aku menikmati teh hangat bersama Salma. Sejak memutuskan tidur di pustu, Salma sesekali datang menemaniku.
     “Salma, saya sudah pernah ke rumah bu Rahma. Tapi sepertinya tak ada yang luar biasa di sana, aku menjadi heran dengan laranganmu mendekati rumahnya. Apa kau tak berlebihan melarangku ke sana?”
     “Sebenarnya, saya juga tak tahu alasan munculnya larangan itu, bu Bidan.”
     “Lalu mengapa warga di desa ini seperti menjauhinya?”
     “Semua itu bermula saat anak dan suami bu Rahma meninggal.”
     “Maksud kamu?”
     “Sebenarnya, suami bu Rahma adalah kakak dari ayahku, dan dialah kepala desa di sini sebelum ayahku.”
     “Lalu apa hubungannya dengan menjauhi bu Rahma?”
     “Setelah anaknya, tak lama suami bu Rahma juga meninggal tiba-tiba. Warga desa menuduh bu Rahmi sebagai perempuan pembawa saal.”
     “Sejak itu dia dijauhi?” Tanyaku masygul.
     “Ya.” Salma menjawab singkat, tatapannya datar.
*     *     *
Balai desa ramai oleh warga yang berkerumun, hari ini jadwal untukku memberikan penyuluhan kesehatan.
     “Salah satu penyakit yang patut diwaspadai adalah Pesteurellosis, atau yang lebih dikenal dengan nama Pes. Penyakit ini menular melalui kutu tikus. Maka kebersihan lingkungan dan menghindari kontak langsung dengan penderita adalah langkah tepat mencegah penularan penyakit ini.” Terangku di hadapan warga.
     “Sebagai desa yang dikelilingi oleh hutan, tempat ini rentan terpapar wabah pes, seperti yang dialami oleh almarhum suami bu Rahma dan anaknya dulu. Anaknya tertular duluan, yang kemudian ikut menulari ayahnya. Justru beruntung bu Rahma tak ikut tertular.”

Kudengar suara warga berisik seperti dengung lebah, sekilas kulihat bu Rahma di depan pintu samping balai desa yang tersambung ke pustu, dia menyeka bulir air mata di pipinya, lalu tersenyum padaku.

Konon cerpen ini nangkring di Harian Fajar edisi 29 Oktober 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama