Hari pertama ramadan 1440 H, media sosial masih diramaikan
pesan berantai perihal permohonan maaf sebelum menjalankan ibadah puasa. Kebiasaan
yang nampaknya malah mendegradasi kesakralan proses maaf memaafkan dalam relasi
sosial yang kian banal. Permohonan maaf menjadi begitu mudah diucapkan, semudah
menekan tombol copy dan paste dalam gawai. Namun sayang, untaian kata – kata
itu terasa sudah terlucuti sakralitasnya.
Fenomena ini mengingatkan kita pada sebuah kalimat pintas yang diucapkan
oleh Jerry Yan, seorang pesohor asal Taiwan kala memerankan tokoh Tao Ming Tse
dalam sebuah drama anyar, Meteor Garden (2001). Pada sepenggal scene drama yang diangkat dari
manga/komik Jepang yang berjudul asli Hana Yori Dango, Jerry Yan berucap lirih,
“Kalau semua masalah bisa selesai dengan minta maaf, buat apa ada polisi?”
Sepintas, tentu kita akan bertanya – tanya, bagaimana mungkin kita
mengabaikan permohonan maaf? Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita untuk
meminta maaf bila melakukan kesalahan dan kekhilafan, terutama tindakan yang
berdampak negatif atau merugikan orang lain. Bahkan orang tua dan guru – guru
kita juga senantiasa mengingatkan agar kita mau meminta maaf.
Namun ternyata, bila ditelisik lebih serius, kemuliaan dan ketinggian
derajat seseorang di sisi Allah, bukanlah karena dia rajin meminta maaf, malah
sebaliknya, kemuliaan bisa diraih dengan memberi maaf. Bahkan konon, tak ada satu
pun ayat dalam al Quran yang membahas soal meminta maaf, semua berbicara
tentang memberi maaf. Jadi, bukan meminta maaf yang dianjurkan, memberi maaflah
yang menjadi laku utama.
Dalam surah Ali Imran, Allah bertutur, “Dan bersegeralah kamu mencari
ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan bagi orang – orang yang bertakwa (133), (yaitu) orang –orang
yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang - orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan (134).”
Coba perhatikan, menurut Allah, jalur untuk mendapat ampunanNya dan
menjadi orang yang dicintaiNya adalah dengan menjadi orang bertakwa dan orang
yang berbuat baik. Manusia yang mana itu yang masuk kategori bertakwa dan
berbuat baik? Ayat 134 Ali Imran menyebut ada tiga cirinya: (a) berinfak, baik
di waktu lapang maupun sempit; (b) orang
- orang yang menahan amarahnya; dan (c) mereka yang memaafkan
(kesalahan) orang lain.
Apakah ini lalu berarti bahwa meminta maaf tidaklah penting? Tidak
demikian juga, tetapi bahwa memberi maaf menjadi perkara yang demikian berat
timbangan amalnya di sisi Allah. Sebab dalam memberi maaf, seseorang harus
memiliki hati lapang dan jiwa yang lempang untuk menerima kekeliruan yang
disengaja, kekhilafan yang tak tertakar dari orang lain, yang berimplikasi
negatif bagi diri kita.
Apakah bila permintaan maaf dilontarkan dan pemberian maaf diulurkan,
persoalan lalu menjadi selesai? Tidak demikian adanya, sebab pada hakikatnya
kesalahan tetaplah kesalahan dan kealpaan tetaplah kealpaan. Tak ada yang
berubah pada tindakannya, pun pada efek dan implikasinya. Pemberian maaf hanya
mengubah sikap dan menggeser perspektif kita dalam menanggapi dan merespon
tindakan negatif tersebut.
Apakah luka yang tertoreh di jiwa, sayatan yang mengguris di hati lalu
menjadi hilang dengan adanya proses maaf memaafkan? Tidak, sama sekali tidak.
Luka itu akan tetap tertoreh dan sayatannya akan tetap perih. Tapi memaafkan membuat
kita punya waktu untuk membalur luka dan sayatan itu, memaafkan juga memberi
kita ruang untukmemilih respon tanpa didikte oleh amarah.
Mengenai maaf ini, ada sebuah kisah masyhur yang ingin aku waritakan
ulang di sini. Syahdan pada suatu sore, seorang guru mengingatkan pada muridnya
agar menyimpan baik – baik permohonan maafnya.
“Bagaimana caranya duhai guru? Apakah saya tak perlu meminta maaf atas
kesalahan yang saya lakukan kepada orang lain?” Tanya si murid yang bernama La
Capila.
Mendengar tanya muridnya, I Mapesona tersenyum sebelum memberi jawab.
“Muridku, agar kau tak perlu menggunaan permohonan maafmu, maka jaga
tindakanmu, jaga sikap, perilaku dan kata – katamu, agar tak ada orang yang
terluka karenanya.” Terang I Mapesona.
“Mengapa harus begitu, duhai guru. Apakah meminta maaf itu terlarang?”
“Tidak begitu, muridku. Pahamilah, meminta maaf tidak akan mampu apa –
apa, kata maaf tak pernah bisa menghapus luka.” Jelas I Mapesona lagi. La
Capila terdiam mendengarnya dengan memasang muka tak mengerti.
“Kau lihat pagar papan di halaman itu?” I Mapesona bertanya, muridnya
hanya mengangguk sambil mengilik – ilik telinga.
“Mulai hari ini sampai satu pekan ke depan, setiap ada sikap, perbuatan
atau kata – katamu yang menyakiti dan melukai perasaan orang lain, pasanglah
sebatang paku pada bilah pagar yang paling ujung itu”, La Capila hanya bisa melongo
mendengar perintah gurunya, dia membatin.
“Wah, jangan – jangan guruku mulai pikun? Kita lagi membahas masalah
maaf, dia tiba – tiba bicara soal pagar.”
“Apa maksudmu duhai guru?” Akhirnya La Capila tak tahan untuk tidak
bertanya.
“Jangan banyak tanya, lakukan saja.” Seru I Mapesona.
“Satu pekan berikutnya, setiap kau meminta maaf atau berbuat baik pada
orang yang telah kau lukai hatinya, cabutlah sebatang paku yang kau pasang sepekan
sebelumnya.”
“Baiklah guru.” Jawab La Capila taat.
“Jangan menemuiku sebelum dua pekan itu berlalu.
Begitulah, La Capila menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya I
Mapesona tanpa banyak bertanya. Pekan pertama memasang – masang paku, pekan
berikut mencabutinya satu – satu. Sampai awal pekan ketiga, La Capila baru
berani menemui gurunya yang langsung mencecarnya dengan tanya.
“Sudahkah kau kerjakan apa yang gurumu ini pinta kepadamu duhai muridku
yang banyak tanya?”
“Tentulah sudah wahai guru”, jawab La Capila sekenanya.
“Lalu apa yang kau dapatkan?”
“Bilah pagar tersebut berlubang – lubang, guru.”
I Mapesona terdiam sambil mengelus-elus janggutnya yang hampir
seluruhnya telah memutih.
“Sekarang, cobalah kau poles bilah pagar itu dengan cairan kapur, apakah
akan kembali seperti semula?” I Mapesona kembali bersuara.
“Wah, bagaimana pula guru ini, lubang-lubang bekas pakunya tentu akan
tetap kelihatan”, sergah La Capila.
I Mapesona tersenyum, manis sekali, lalu ditepuk-tepuknya pundak La
Capila dengan lembut,
“Begitu pulalah hati yang terluka, anakku. Ketika kau melukai hati
saudaramu, itu ibarat kau memasang paku pada bilah pagar di halaman itu. Saat
kau meminta maaf, maka kau mencabuti paku-paku itu kembali. Bila kau berbuat
baik kepada mereka, itu seperti mengapuri pagar itu agar kembali seperti
semula. Tapi yakinlah, pagarnya tak pernah kembali seperti semula kan?”
Di bulan ramadan ini, alangkah eloknya bila kita menyimpan rapat – rapat
permohonan maaf kita dengan lebih menjaga diri dari perkataan dan perbuatan
yang mungkin saja bisa melukai sesama. Bukankah kebenaran pun selayaknya
disampikan dengan qaulan makrufan dan melalui uswah al hasanah? Mari
memanfaatkan ramadan dengan memperbanyak memberi maaf, baik diminta maupun
tidak. Bukankah kita semua berharap dapat ampunan dari Allah?
Sebagaimanan kataNya dalam An Nur, “Dan janganlah orang – orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
(tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang – orang miskin, dan
orang – orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa allah mengampunimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang (22).”
Makassar, 02 ramadan 1440 H
Tags:
Keagamaan