Lorong, Genangan dan Tenda Pengantin

[05.11.2017] Ini bukanlah tulisan ilmiah, hanya setumpuk kata yang menyusun esai sederhana berisi kesah seorang warga yang tinggal di pinggir kota Makassar, berbatasan dengan wilayah tetangga, Kabupaten Gowa. Aku menulisnya sambil menikmati tawa riang siswa Raudathul Athfal (RA) Jamiatul Khaer Mallengkeri yang terletak pas di seberang jalan depan rumah.

Ini kisah semalam, kejadian biasa yang kualami semalam, yang bisa saja segera kulupakan. Tapi kok rasanya sayang bila tak dipahat dalam kata, agar meninggalkan jejak digital untuk menjadi penanda bahwa persitiwa ini ada. Ini kisahku menelusuri lorong-lorong di ujung selatan kota, bertemu genangan air sisa hujan sore hari, dan harus berbalik arah karena bersua tenda pengantin.

Kisah ini bermula saat aku meninggalkan kantor jelang magrib, seusai hujan mengguyur kota. Kupilih melambatkan hujan karena dua hal: macet, dan genangan yang memperparah kemacetan. Ternyata benar, meski sudah melambatkan waktu pulang, ruas jalan kompleks perumahan pertamina yang memtotong dari jalan buakana ke rappocini, masih terendam bak sungai yang tenang.

Begitupun suasana di rappocini, terutama di depan kantor Kementerian Agama Kota Makassar menuju arah jalan pettarani, air masih setia menggenangi bahu jalan, maka suasana lalu lintas yang memang sudah kadung hobi memacetkan diri kian punya alasan untuk menambah sesaknya jalan. Suara klakson berseliweran dan bertingkah-tingkah dengan salawat tarhim dari masjid H.M. Asyik. Sore yang bising.

Jalan pettarani kulintasi dengan mulus, kemacetan di ujung jalan, pas depan kantor PT Telkom, sebelum pertigaan jalan alauddin, adalah hal biasa, biar pun tak ada hujan. Volume kendaraan yang berjejalan seperti ikan tangkapan nelayan dalam keranjang. Pelan, aku memilih belok kanan lalu masuk  ke jalan mannuruki, jalan yang dikenal sebagai salah satu kawasan kos-kosan di Makassar.

Dari mannuruki, aku banting setir ke arah mannnuruki II. Tak lama, aku bertemu mulut jalan mamoa raya. Setelah kemacetan kecil akibat ada mobil yang mudur dari dalam, aku berhasil masuk. Tapi apa lacur, pantas saja mobil tadi berusaha berbalik arah, mannuruki II tertutup total oleh tena penganti yang berdiri kokoh, bahkan cenderung congkak dan pongah. Tak ada toleransi, semua harus menghindar, padahal, belum ada aktivitas apa-apa di dalam tenda yang juga masih gelap.

Untuk menyelamatkan diri, dengan berbekal insting pemotor yang sudah malang-melintang di lorong-lorong Makassar, aku mencari jalan tembus ke pabettengang. Eureka! Dapat! Maka melengganglah aku sampai ke jalan alauddin II dengan secercah harap jalanan akan lancar hingga ke ujung alauddin III, meski beberapa bagian terlihat genangan seperti situ buatan.

Tapi rupanya tak seindah bayanganku. Perjalananku di alauddin II lagi-lagi harus terhambat, dan lagi-lagi karena tenda pengantin. Tak lagi-lagi deh, keluhku. Maka aku memaksa motor bututku menyusur lorong kecil di sisi ‘pasar’ pabbentengang ke arah selatan, lalu berbelok ke arah barat yang tembut ke ujung jalan mallengkeri luar yang tergenang luar biasa. Maklum kawasan rawa yang jadi pemukiman padat.

Tapi benar-benar simalakama, setelah mengikhlaskan diri membelah jalan-jalan yang tenggelam –sambil membayangkan nabi Musa membelah laut merah, bukannya lolos dari hambatan tenda pengantin, malah kembali bertemu dengan rangka besi yang hampir identik dengan warna biru itu. Ingatanku melintas jauh ke Desi Ratnasari, saat membuka lagu lawasnya yang berjudul Tenda Biru dengan kalimat, ‘takdir memang kejam’. Oh.

Beruntung, dengan muka sedikit memelas dan kepala yang ditunduk-tundukkan, aku bebas melintas di bawah tenda yang masih belum dipenuhi kursi secara sempurna. Meski harus menahan kecut di hati, saat melintas di depan yang punya gawai, mukanya hampa senyum. Mungkin merenungi nasib kursi-kursi yang ditatanya akan kedinginan karena kaki-kakinya terendam genangan.

Setelahnya, aku melenggang menunggang motor bututku dengan  lancar jaya melintasi mallengkeri luar, berlalu di depan masjid yang jamaah salat magribnya sudah berhamburan keluar. Aku tiba di rumah saat waktu magrib sudah di ujung, segera kutuntaskan kewajiban itu dengan tetap berusaha khusyuk, meski setelahnya, zikirku berganti dengan gerutu perihal banyaknya tenda pengantin yang dipasang menutupi lorong.

Memang tak bisa disalahkan mereka yang akan melaksanakan hajat dan menunaikan sunnah: menikah dan berwalimah. Tapi haruskah merampas hak pengguna jalan yang mencoba menikmati lorong, sebab jalan utama sudah sumpek? Aku memikirkan perkara ini sampai beberapa lama, bahkan saat makan malam pun, soal ini masih terus menggelayuti pikiranku.

Apa tak elok kiranya, bila Pemerintah Kota melalui Pemerintah Kelurahan memfasilitasi hal sedemikian dengan optimalisasi pemanfaatan lahan dan gedung kelurahan? Mungkin bisa dipikirkan untuk membangun kantor kelurahan yang dilengkapi dengan gedung serbaguna, di samping berfungsi sebagai ruang pertemuan pegawai kelurahan, juga bisa menjadi tempat warga melaksanakan berbagai aktivitas, termasuk pesta pernikahan.

Perlu dipahami, salah satu alasan warga mengelar pesta dengan memasang tenda yang sampai harus mengokupasi lorong, adalah masalah biaya. Tentu bila menggunakan gedung serbaguna di kelurahan, masalah biaya pesta ini bisa ditekan. Apalagi bila pengelolaan gedung ini diserahkan ke Badan Usaha Lorong (BULO), bukankah menambah produktivitas warga kota juga?

Bila pesta pernikahan, sunatan, aqiqahan, bahkan pesta rakyat dalam rangka perayaan hari kemerdekaan digelar di gedung serbaguna milik kelurahan, tentu semua warga bisa bahagia, yang menggelar hajatan bisa berpesta dengan biaya murah di tempat yang memadai, dan pengguna jalan beserta penyusur lorong bisa tetap melaju tanpa hambatan tenda dengan palang kayu atau bambu yang mendahuluinya.

Bukankah tujuan utama pembangunan yang berkemanusiaan adalah kebahagiaan?


Tulisan ini dimuat di: MakassarBicara pada 04 November 2017. Ilustrasi bersumber dari: YallaFinance 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama