Tjokro: Menulislah Seperti Wartawan!

[23.12.2017] Dalam berbagai kesempatan, Tjokroaminoto senantiasa mengingatkan bahwa pemimpin bangsa ini haruslah mumpuni kemampuan menulisnya dan pilih tanding kapasitas pidatonya. “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator!” Demikian teriak Tjokro menyemangati kaum muda di sekitarnya.
Di penggal terakhir tahun 1926, Tjokroaminoto duduk bersama Agus Salim, Soekarno dan Mr Sartono mengelilingi sebuah meja bundar dari kayu jati. Mereka membincang secara serius upaya menghadirkan sebuah surat kabar yang merepresentasikan perjuangan mewujudkan Indonesia di atas landasan Nasionalisme dan Islam, dua gagasan besar yang populer kala itu.
Setelah melalui perdebatan yang alot, pertemuan yang turut dihadiri oleh Sjahbudin Latief, Mohammad Roem, AM Sangadji dan beberapa kader muda Sarekat Islam, akhirnya menyepakati untuk menerbitkan Bendera Islam,surat kabar yang mengangkat jargon, “Soeara Pergerakan Pan-Islam dan Nasional Indonesia”. Tjokroaminoto dan Agus Salim bertugas mengisi rubrik Pergerakan Islam, sedang isu Pergerakan Nasional menjadi tugas Soekarno dan Sartono.
Meski surat kabar ini tak lama terbit, tapi konsistensinya terbit harian dengan tebal sepuluh halaman telah menjadi kanal bagi kaum pergerakan menyuarakan keberpihakan dan pembelaannya terhadap nasib rakyat jajahan. Pasca hengkangnya Sartono dan Soekarno, Tjokroamnoto dan Agus Salim meneruskan penerbitan Bendera Islam dengan nama Fadjar Asiasejak November 1927.
Sebagai seorang pemimpin pergerakan, Tjokro memanglah seorang penulis yang produktif, buah penanya tersebar di berbagai media. Keberpihakannya pada kaum bumi putera, serta ide-ide tentang pentingnya zelfbestuur bagi nusantara tercurah pada ketajaman lidahnya saat orasi dan kejelian penanya saat menulis. Ulasannya tentang berbagai kejadian politik dalam dan luar negeri tak pernah sepi di media massa.
Selain menulis di berbagai surat abar seperti SarotomoDoenia BergerakNeratja, dan Hindia Baroe, Tjokro juga turut berperan aktif dalam keredaksian berbagai media pergerakan seperti Oetoesan Hindia (1912 – 1923), Bendera Islam (1926 – 1927), Fadjar Asia (1927 – 1930), terakhir di Oetoesan Indonesia (1931 – 1932). Oetoesan Indonesia adalah surat kabar yang diterbitkannya bersama Soekiman, Soetan Sjahrir, Soeroso, Abikoesno Tjokrosoejoso, RM Soegijopranoto, dan Soesowijono.
Iswara N. Raditya (2012:85) menulis, “Meski citranya di jagad pers tidak segemerlap ketenarannya sebagai ahli pidato namun suara lantang Tjokro versi cetak tetap patut diperhitungkan dalam mewarnai perjalanan jurnalistik Indonesia.” Tjokro tak pernah melupakan bahwa media massa merupakan sarana propaganda yang ampuh untuk menggugat kesadaran kaum bumi putera.
Kesadaran akan peran media massa dalam pergerakan, disuntikkan oleh Hasan Ali Soerati, seorang pengusaha keturunan Arab yang juga tokoh Sarekat Islam di Surabaya dan memimpin perusahaan media, NV Handel Maatschkappij Setija Oesaha Soerabaia yang kemudian menerbitkan edisi perkenalan Oeteosan Hindia pada 3 Desember 1912 sebelum terbit resmi pada 1 Januari 1913. Kala itu, Tjokroaminoto masih tak familiar dengan dunia jurnalistik.
“Setiap perkumpulan harus memiliki penerbitannya sendiri, seperti IP (Indische Partij) yang memiliki De Express,” seru Ali Surati dalam sebuah pertemuan umum Sarekat Islam. Maka terbitlah Oeteosan Hindia sebagai corong perjuangan Sarekat Islam sekaligus media pedagang-pedagang Arab dan bumi putera muslim untuk memasang iklan karena keengganan beriklan di surat kabar yang dikelola kaum Tionghoa.
Melalui Oeteosan Hindia, Tjokro menumpahkan kritikan tajamnya terhadap berbagai masalah nasional dan internasional, terutama pergerakan politik dan ekonomi kolonial yang berakar pada kapitalisme, sesuatu yang begitu dibencinya. Perihal aktivitas Tjokro di Oeteosan Hindia, sejarawan Anhar Gonggong mengungkap, “Paling tidak satu kali dalam satu bulan ia menulis di situ.”
Meski begitu membenci kapitalisme, Tjokro tetap bisa melihat persoalan dengan jernih. Sebagaimana dikutip oleh Amelz (1952 : 126), suatu waktu Tjokro menulis, “Sarekat Islam tidak memusuhi manusia yang manapun juga, tetapi yang harus dibongkar ke akar-akarnya ialah paham imprealisme dan kapitalisme. Sedang orang-orang yang menjalankan paham-paham yang jahat itu hanya sebagai alat belaka.”
Pilihan Centraal Sarekat Islam (CSI) memanfaatkan surat kabar, dalam hal ini Oeteosan Hindia sebagai sarana perjuangan, kemudian diikuti oleh Sarekat Islam di tingkat lokal, mereka pun menerbitkan surat kabar sendiri. Bila Oeteosan Hindia terbit di Surabaya, SI Batavia menerbitkan Pantjaran Warta, SI Bandung punya Hindia Serikat, SI Semarang memiliki Sinar Djawa(kemudian berubah menjadi Sinar Hindia), dan SI Surakarta menerbitkan Sarotomo.
Salah satu murid terbaik Tjokro, Soekarno mengikuti jejak sang guru dengan dalam semangat menulis, dan gaya menulis sekaligus. Anhar Gongggong, mendaku bila gaya tulis pria kelahiran Madiun, Jawa Timur ini, ditiru Soekarno. Maka tak heran, semasa Oeteosan Hindia terbit, tak kurang ada 500 artikel yang ditulis Soekarno dengan nama samaran Bima.
Lalu bagaimana dengan para aktivis hari ini, terutama mereka yang mendaku sebagai penerus perjuangan Tjokroaminoto, dan pelanjut cita-cita Ideologis Partai Sarekat Islam Indonesia? Apakah menulis masih menjadi kompetensi dasar yang senantiasa dipupuk? Apakah pemanfaatan media massa tetap menjadi bagian penting dalam strategi perjuangan?
Adalah hal yang penting untuk dipikirkan dan mendesak diikhtiarkan, bahwa gerakan ini, selain butuh topangan kemandirian ekonomi umat dengan pendirian koperasi dan unit usaha di semua level organisasi perjuangan, pun diperlukan keberadaan media massa dan kader yang bisa menulis sebagai ujung tombak propaganda perjuangan organisasi.
Tulisan ini tayang di Edunews

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama