Eh, Petugas Sampah Tak Mengenal LiSA

[03.12.2017] Tadi pagi, aku mengantar anak keduaku, Mehdi Daeng Rewa (7 tahun) untuk memangkas rambutnya yang sudah mulai panjang. Hari senin besok, dia mulai ujian, dan gurunya mensyaratkan potongan rambut pendek dan rapi baginya untuk bisa ikut ujian. Sebagai santri pondok pesantren di bilangan kampus Fakultas Teknis Unhas, Kabupaten Gowa, taat aturan adalah harga mati bila tak siap dicukur plontos.

Setelah berkeliling seputar jalan Alauddin II, Manuruki II, hingga Manuruki Raya dan belum satupun tempat pangkas rambut yang buka, terdamparlah kami di tempat pangkas rambut madura di jalan Mallengkeri Raya, tepat di depan pintu masuk ke Kompleks Perumahan TVRI. Tempat pangkas rambut yang sesungguhnya tak terlalu jauh dari rumah kami di jalan Mallengkeri I.
Dengan sedikit kesabaran untuk menunggu hingga tukang cukur itu siap, maklum baru saja buka, akhirnya Mehdi duduk juga di kursi kebesaran pelanggan tukang cukur, dengan badan berbalut kain putiih untuk mencegah helai-helai rambut bekas pangkas menancap di baju dan celana. Senyum mereka di muka si tukang cukur, baru saja buka, sudah dapat pelanggan, seorang siswa sekolah dasar pula.

“Dimodel bagaimanaki ini, Pak?” Tanya si tukang cukur dengan bahasa Indonesia ala Makassar, aksen Maduranya sudah tak kentara.
“Kasi’ pendek saja, ratakan sepanjang satu senti.” Jawabku sekenanya. Memang potongan rambut Mehdi yang penting pendek, pikirku.
“Kalau satu senti, segini, Pak.” Sambil menunjukkan ujung jemarinya.
“Wah, bagusmi itu.” Tanggapku. Dan dia sudah siap beraksi dengan alat cukur mesin di tangan kanan dan sisir di tangan kiri.

Tapi kulihat Mehdi cemberut. Alisnya mengkerut, ujung bibirnya melengkung ke bawah.
“Tungguki’ dulu, Pak.” Tangan kiriku kulambaikan ke si tukang cukur, seperti lambaikan seorang polisi yang menahan kendaraan.
“Biarmi begitu, Mehdi?” Tanyaku pada anakku sambil menyentuh pundaknya. Dia menggeleng.
“Kalau begitu, cukur modelmi, Pak. Tapi kasi’ pendek.” Aku menyilakan tukang cukur melaksanakan kerja profesionalnya.

Kudengar bunyi mesin cukur listrik itu beraksi, aku selonjoran di kursi tunggu, mataku terpejam.
“Bagaimana menurutta’ dengan pemilihan walikota, Pak?” Tanya si tukang cukur membuyarkan keasyikanku leyeh-leyeh.
“Kalau saya, kutunggu dulu penetapan calon dari KPU, baruka’ bisa menimbang-nimbang untuk dukung siapa.” Sambil membetulkan letak duduk, sepertinya si tukang cukur mengajak diskusi serius.

“Saya bilang sama tetanggaku, janganmi lagi yang lama.” Lontaran pendapatnya membuatku tersentak. Ada juga warga kota yang kritis terhadap petahana, pikirku.
“Kenapaki’ bilang begitu?” Selidikku.
“Liatmi nanti, kalau periode pertama, pasti membangun karena masih berharap periode kedua, tapi kalau periode keduami, aih...” Terangnya.
“Bagusnya memang cuma satu periode, Pak, dih? Kalau periode keduami, berusaha mami balik modal.” Aku mencoba memancing.
“Kita harus belajar dari pemerintahan SBY. Pas periode kedua, liat maki’...” Tanggapnya, aku diam saja.

“Eh, bagaimanaji cukurnya, Pak. Bagusmi?” Tiba-tiba pembicaraannya berbelok.
“Iya, begitumo. Untung kutanya memang tadi, khawatirka’ dia menangis sampai sore karena tidak suka cukurnya, hehehehe.....” Timpalku.
“Ada dulu, Pak. Karena tidak nasuka cukurnya, dia pecahkan kaca meja di rumahnya, ada juga nalemparkan Hpnya bapaknya.” Ceritanya sambil meletakkan alat cukur listriknya, lalu menyiapkan pisau untuk merapikan pinggiran rambut si Mehdi.

“Di Makassar ini susah, karena dekat rumahnyaji naperbaiki, kalau di sini, tidak nasentuh.” Eh, dia loncat lagi. Aku cuma senyum.
“Coba lihat kebersihan, di sini kotor. Katanya LiSA, lihat sampah ambil. Bagaimana masyarakat mau begitu, na petugas sampah saja tidak begitu. Sampah berhamburan, tidak napungut,” si tukang cukur mengeluhkan kinerja awak truk sampah Kota Makassar.
“Saya lihat juga begitu,” tanggapku sekenanya. Kulihat dia fokus melicinkan pinggiran rambut Mehdi di bagian tengkuk.

“Kita diminta bayar, katanya uang operasional pengangkut sampah. Kita mengerti, tapi mereka tidak mengerti kita. Sampah, bila tidak dikantongi atau tidak dibungkus, tidak mau naambil, padahal itu tugasnya, sudah dibayar.” Wah, dia berondong aku dengan keluhnya, yang sebenarnya juga keluhanku.
“Iya, Pak. Saya juga begitu di depan rumah, tidak mau naambil kalau tidak terbungkus, padahal sudah disimpan bersama sampah dalam kantong plastik, pilih-pilih sampah.” Aku menimpali.

“Itu di samping rumah orang tuaku di Lorong III, ada tanah kosong, kadang masyarakat tumpuk sampahnya di situ, tidak pernah diambil, padahal kan tugasnya memang mengambil sampah.” Ada kesal dalam nada bicaranya.
“Kenapa bisa begitu? Na itu sampah masyarakat?” Selidikku.
“Mereka berharap ada sampah borongan dari warga. Bagaimana caranya mobil pelat merah mau napakai bisnis? Harusnya janganmi lagi berharap begitu, ka tidak adami warga mau begitu.” Ccelotenya berakhir bersamaan tuntasnya proses cukur di kepala si Mehdi.

Saat tiba giliranku dicukur, sambil menunggu dia menyiapkan peralatan, kali ini aku yang memancing pembicaraan.
“Tinggal di manaki’, Pak?”
“Di kompleksji, di dalam.”
“Blok berapaki’? Di blok C?”
“Blok B, pas di samping rumahnya Pak RT.”
“Oh, di samping rumahnyaki’ Pak Mahmud?”
“Ya, pas di samping kanannya. Pak RT itu paling tidak suka konsultasi sama saya, karena saya suka protes.”
“Hehehehehe... Kenapa bisa?   
“Saya suka protes, soal sumbangan pos kamling, iuran sampah, macam-macam. Hehehehe....”
Setelahnya, aku lebih banyak diam, takutnya kepalaku goyang dan cukurku jadi tidak rata dan seperti model tangga.

Sepanjang waktu selama tukang cukur itu beraksi di kepalaku, aku terngiang dengan pernyataannya soal petugas sampah yang tak mengenal program LiSA. Ini gugatan yang sangat menarik dari seorang warga. Apa yang dikeluhkannya pun pernah, bahkan sering aku alami. Sampahku tak terangkut, hanya karena tak kumasukkan ke dalam kantong plastik, meski sudah kutumpuk bersama sampah dalam kantongan.

Aku sampai bertanya-tanya, apa bayarannya kurang? Atau bayarannya tak sampai ke tangan para awak truk sampah yang di sisinya terpampang besar tulisan Tangkasa’ki (Truk Angkutan Sampah Kita). Buktinya, kerjanya seperti asal-asalan dan pilih-pilih sampah: mana yang mau dia angkut, dan mana yang dia biarkan tergeletak di pinggir jalan.

Ataukah ini soal mental, soal kesadaran, dan soal pemahaman akan hakikat menjadi ujung tombak program kebersihan kota. Sepertinya mereka bekerja secara mekanik, lalu mencari keuntungan pribadi di balik itu. Sore hari truk Tangkasa’ki akan melintas di jalan yang telah ditentukan, awaknya memungut sampah yang terlah dalam kantongan, membiarkan sampah yang terserak begitu saja, lalu berkumpul di titik tertentu memilah sampah yang bisa diuangkan.

Aku tak menyoal bila mereka menjual sampah yang masih bernilai uang itu untuk mengisi kantong pribadi, tapi selayaknya kerja mereka tetap profesional, tak asal-asalan, dan sekedar menggugurkan kewajiban. Bila memang iuran warga kurang, mari kita bicarakan dan menghitungnya secara profesional. Bukan malah memberi preseden buruk pada kognisi warga tentang kualitas kinerja mereka.

Bagaimana kita berharap warga memiliki kesadaran LiSA, bila petugas kebersihan dan persampahan pun tak mengenal siapa dan bagaimana LiSA diimplementasikan.


Tulisan ini dimuat di: MakassarBicara pada 02 Desember 2017

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama