[24.02.2018] Senja menjelang di Watampone, mentari redup,
angin sore musim kemarau berembus kering menerbangkan dedaun kerontang,
beriring debu yang berputar pelan di halaman belakang masjid. Sayup terdengar
petikan kecapi di kejauhan, nadanya lirih. Siapa yang main kecapi jelang
magrib, di tengah kota pula? Gumam Ajéng. Langkahnya kian cepat, tangannya
mengepit setumpuk buku. Sore itu, dia telat pulang dari tempat mengajar, tak
ada becak, dia pulang jalan kaki melalui jalan pintas, di sela rumah penduduk.
Rumah Ajéng di sebelah timur masjid,
diantarai dua rumah panggung mungil, tak seperti rumahnya yang mirip Saoraja istana raja, orang tuanya masih
keturunan langsung raja Bone. Saat melintas di samping masjid, suara petikan
kecapi kian keras dan jernih. Seorang lelaki muda dengan rambut tersisir rapi,
muka klimis, mengenakan baju kemeja panjang lengan warna biru muda berpadu
celana panjang berwarna senada, bersandar pada dinding teras rumah toko di sisi
kanan masjid. Tangannya lincah memainkan dawai kecapi yang tergolek di
pangkuannya. Matanya terpejam.
Sekilas Ajéng melirik ke arah lelaki
itu, selepas itu, dia kembali bergegas, magrib segera tiba, tak baik anak gadis
masih berkeliaran di saat senja. Lamat-lamat dia dengar penggalan lagu yang
dinyanyikan lelaki itu: pada mani
bunga-bunga / maddunu ri tanaé / ri alai makelle toni / ri taneng na téa tuo*.
Langkah Ajeng terhenti, ada ihwal yang tiba-tiba terlintas saat bait itu berlalu.
Tapi tak ada waktu untuk menelisik, Ajéng kembali melangkah. Dilihatnya,
seorang lelaki tua yang saban hari dia sapa Etta, sudah menanti di kaki tangga
rumahnya.
* * *
Selepas makan malam, Ajéng memilih masuk
kamar, tugas-tugas siswa menumpuk di mejanya menanti untuk dikoreksi. Kedua orang
tuanya berbincang ringan di depan televisi.
Sampai kapan kita akan menolak setiap
lelaki yang datang melamar Ajéng, Daéng? Suara pelan Petta Cenning, ibunda Ajéng
menelusup di sela suara Yasir Den Has dalam Siaran Berita TVRI.
Bagaimana tidak kutolak kalau tak jelas abbatirengnya. Aku tak mau cucuku lahir
dari lelaki yang tak terang asal-usulnya. Petta Wellang menjawab lalu
menyeruput kopinya.
Menantu seperti apalagi yang Daéng cari,
bukankah bila agama dan pendidikannya sudah baik, itu lebih dari cukup?
Calon menantuku harus lebih dari itu!?
Daéng, umur Ajéng tidak muda lagi, dan
dunia terus berubah.
Berubah apanya? Tak ada yang berubah di
dunia ini. Suara Petta Wellang meninggi, istrinya tak berani membantah.
Dunia kita tak pernah berubah, kau tahu, penghargaan hanya menjadi hak
mereka yang berkuasa dan banyak harta. Lanjutnya.
Dengan mengorbankan masa depan Ajéng?”
Justru aku berusaha menjaganya dari
lelaki yang tak pantas!”
Jadi, bagaimana dengan Ajéng, Daéng?
Bila tak ada calon yang memenuhi
harapanku, lebih baik dia tak menikah!
Daéng....!
Daripada menikahi lelaki yang entah
keturunan siapa! Dia akan lebih terhormat sebagai anakku! Anak Andi Baso
Mattappa Petta Wellang! Ada darah raja Bone yang mengalir di tubuhnya, itu tak
boleh tercemar! Petta Wellang berdiri, memperbaiki letak sarungnya lalu
meninggalkan istrinya yang masih berusaha mencerna kata-kata suaminya.
Di dalam kamar, Ajéng yang
sebelumnya sibuk meneliti lembar-lembar tugas siswanya, menghempaskan diri ke
tempat tidur, mukanya dia tekuk ke balik bantal, isaknya terdengar lirih,
tertahan di kerongkongan. Di saat yang sama, Petta Cenning tercenung di depan
televisi, Yasir Den Has masih betah mewartakan beragam peristiwa dari seluruh
tanah air. Sementara Petta Wellang berdiri berkacak pinggang di teras rumah
sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
* * *
Sabtu pagi, jarum jam beranjak
melewati angka sembilan. Petta Wellang mengenakan atasan jas tutup hitam
mengkilap yang dipadu dengan celana paroci berwarna senada dalam balutan lipa
garusu sarung tenun khas untuk lelaki
bugis– berwarna merah menyala. Pada kancing teratas jas tutupnya yang
berwarna emas, menjuntai rantai yang juga keemasan ke arah saku kirinya. Di
kepalanya, tersampir songko pamiring ulaweng –topi anyaman bersepuh emas dengan posisi agak condong ke kanan.
Cenning, bagaimana dengan barongko dan béppa
puté, apa sudah siap?
Insya Allah, sudah siap semua, Daéng. Petta
Cenning meyakinkan suaminya dengan meminta seorang ibu mengeluarkan bosara
berisi kue dimaksud, lalu ditata di ruang tamu.
Siang itu, keluarga Petta Wellang memang
lagi bersiap menyambut tamu. Seseorang akan datang mengajukan lamaran untuk
Ajéng, lelaki dari kota Makassar. Dia berjanji akan tiba paling lambat pada
pukul sebelas. Namun demikian, Petta Wellang telah bersiap diri sejak pukul
delapan pagi, dia tak mau ada sedikitpun perkara yang bisa membuat keluarganya
kehilangan muka sebagai orang terpandang di Watampone.
Sekira jam sepuluh, seorang lelaki muda
memarkir motornya di halaman rumah. Setelah melepas tas ransel dan disampirkan
di setang motor, menyusul jaket dan helm juga ditumpuk di sana. Sebelum
menapaki anak tangga, lelaki muda itu menyempatkan diri merapikan tata rambut
sambil bercermin di kaca spion, lalu memasang peci dengan perlahan. Sepasang
sepatu kets membalut kakinya, dia melangkah dengan hati-hati menaiki rumah.
Assalamu alaikum... Ucapan salam terdengar
lantang dari arah pintu. Ajéng yang sementara di kamarnya beranjak keluar hendak
menyambut yang datang, namun baru selangkah kakinya meninggalkan kamar, Petta
Wellang memegang lengannya.
Kau tetap di kamar, tak baik perempuan
yang akan dilamar berkeliaran keluar kamar! Tegas Petta Wellang menyuruh Ajéng
untuk surut ke kamar. Dia sendiri bergegas menuju pintu depan sambil
memperbaiki letak badik yang terselip di pinggang kirinya.
Waalaikum salam warahmatullah
wabarakatuh... Jawaban salam dari Petta Wellang membuat Ajéng menelan kembali
jawaban salam yang sudah dia siapkan di ujung lidah, dia kembali ke kamarnya.
Cari siapa, Nak?
Apa betul ini rumah Andi Baso Mattappa
Petta Wellang, Puang?
Betul, mari masuk, Nak.
Samar, Ajéng mengikuti percakapan di
ruang tamu, namun perhatiannya terpecah karena dua orang sepupu yang
menemaninya di kamar, tak henti mencandai dirinya. Sampai tiba-tiba dia
mendengar teriakan Ettanya.
Jadi kau yang ingin melamar anakku? Mata
Petta Wellang melotot ke arah lelaki muda yang bersila di hadapannya, di
seberang barisan bosara yang tertata rapi.
Iya, Puang. Lelaki muda itu menjawab
dengan penuh percaya diri.
“Seorang
diri!? Petta Wellang menyelidik.
Iya, Puang. Seorang diri. Lelaki muda
itu mengangkat kepala untuk menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang pemberani
dan pantas diandalkan. Tapi bukannya simpati, malah dongkol yang muncul di hati
Petta Wellang.
Kau pandang apa aku!” Mata Petta Wellang
mendelik.
Saya tak bermaksud apa-apa.... Puang...
Justru ini bentuk penghargaanku sebesar-besarnya dengan tidak mewakilkan proses
lamaran ini pada orang lain. Lelaki muda itu kaget, namun mencoba menjelaskan.
Itu sama dengan menghinaku, aku tak akan
membicarakan masa depan anakku dengan seorang bocah! Petta Wellang menggeleng
kepala, masygul.
Maaf kalau saya salah, Puang. Tapi ini
bentuk penghargaanku pada orang tua perempuan yang kucintai.
Lelaki tak tahu adat!! Petta Wellang memukulkan tinjunya ke lantai.
Ajéng tak berani meninggalkan kamar saat
mendengar suara Petta Wellang menggelegar. Hatinya ciut akan ketegasan hati dan
kekerasan tekad Ettanya dalam mempertahankan tradisi yang dianutnya. Begitupun
dengan Petta Cenning, dia berdiri mematung di dekat Ajéng termangu.
Kau tahu Ajéng anak siapa? Lalu siapa
kakekmu!?
Saya... Saya memang... hanya keturunan
orang biasa, Puang... Tapi...”
Plak..!!! Telapak tangan Petta Wellang
mendarat telak di pipi kiri lelaki muda itu.
Kurang ajar!
Maafkan saya.... Puang... Tapi...” Lelaki
muda itu tetap bersimpuh.
Pergi! Enyah kau dari hadapanku!” Teriak
Petta Wellang.
Pergi!! Sebelum badikku yang bicara!
Pergi...!!! Badik yang semula bertengger indah di balik lipa garusunya,
telah berpindah ke tangan kiri Petta Wellang. Telunjuk tangan kanannya menuding
tajam ke arah lelaki muda yang gemetar. Melihat itu, secepat kilat Petta
Cenning beranjak menuntun lelaki muda itu berdiri dan beranjak pergi. Tak lama,
bosara berisi barongko dan béppa puté yang tertata di ruang tamu, melayang kena
tendang Petta Wellang. Isinya berhamburan. Ajéng pun menghambur ke kamar dengan
isak yang menggantung.
* * *
Lelaki pemetik kecapi itu sudah
menjadi warga tak resmi kota Watampone, dia bisa ditemui di teras ruko kosong
di sisi kanan masjid. Dia memang tak pernah bicara dengan orang lain, kerjanya hanya
memetik kecapi sepanjang hari. Dia akan berhenti bila azan berkumandang, sebab
dia selalu berada di saf terdepan. Selepas itu, dia kembali memangku kecapinya,
lalu melantunkan lagu bugis dengan irama menyayat hati.
Seperti sore itu, suara petikan kecapi
terdengar kian lirih. Jamaah salat magrib yang mulai berdatangan masih
menyempatkan diri berhenti menyaksikan lelaki muda itu memainkan tangan pada
dawai kecapinya. Agana ugaukengngi / Pakkadang
teng maddapi / Na bua maka cenning**. Ajéng yang melintas dengan
langkah tergesa, berhenti sejenak lalu menatap sendu ke arah lelaki muda pemain
kecapi itu. Bibirnya menggumam lemah, maafkan aku Daeng, lalu kembali menggegas
langkah.
Makassar, 06 Oktober 2017
* Ibarat bebungaan, berguguran ke tanah,
dipungut pun telah layu, ditanam tiada kan tumbuh
** Apalah dayaku, galah tak cukup
panjang, padahal buah amatlah manis
Keduanya adalah penggalan lagu Bunga Madunué ciptaan H.
Mustafha Bande yang dinyanyikan oleh Irma Ayu Andira.
Tags:
Cerita Pendek