Semua Karena Pengumuman Singkat

[19.03.2018] Salat sunah dua rakaat kuselesaikan dalam tiga menit empat belas detik. Waktu sebelum ikamah tersisa dua puluh empat detik sebagaimana tampak pada jam digital khusus yang terpasang di atas mihrab. Dari pengeras suara dalam masjid Jamiatul Khaer terdengar pengumuman singkat yang diulang dua kali, maklumat yang langsung disambut dengan ikamah oleh muazin.

Salat subuh dipimpin oleh naib, imam tetap masjid tak hadir subuh ini. Dua rakaat subuhku pungkas tanpa khusyuk, terganggu oleh ingatan akan pengumuman sebelum ikamah tadi. Bunyi pengumumannya begini, "Bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengenakan cadar, dilepas itu cadarnya!" Maklumat itu terngiang di telinga, resahnya masih menggelayuti perasaan, risaunya mengusik pikiran.

Gayung bersambut, ini hari ahad. Seperti ahad sebelumnya, di masjid ini dilaksanakan pengajian. Si pemberi pengumuman soal cadar tadi, pun mengumumkan perihal pengajian ahad pagi saat jamaah masih sibuk berzikir pasca salat subuh. "Jamaah jangan pulang dulu, seperti pekan kemarin, subuh ini kita akan melanjutkan pengajian rutin kita bersama ustaz Jabir," demikian bunyi pesannya.

Jujur saja, aku tak pernah ikut pengajian itu, tapi pagi ini aku memilih tinggal bersama segelintir jamaah yang menjadi peserta tetap pengajian ustaz Jabir. Ini pengajian tafsir, tapi tak apalah, akan kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengkonfirmasi perihal pengumuman singkat soal cadar tadi, apalagi akan ada ustaz yang hadir.

Saat pengajian berlangsung, tak ada paparan ustaz Jabir yang melekat di ingatanku, bacaan quran dan penjelasan yang diberikannya, tak lebih menjadi pengantar kantuk. Tapi saat pengajian memasuki sesi tanya dan jawab, kantukku lenyap, kesempatan bertanya tak kulewatkan, aku menjadi penanya pertama.

Setelah menghaturkan permohonan maaf karena akan menanyakan hal yang keluar dari tema kajian, aku pun mengajukan permintaan agar tanya saya dijawab langsung oleh pengurus masjid. Pintaku diterima, maka bertanyalah aku.
"Apakah masjid ini dan pengurusnya berafiliasi ke kelompok keagamaan tertentu?"
"Tidak, ini masjid jami', ini milik kaum muslimin," jawab pengurus masjid, sambil menjelaskan bahwa masjid itu memang pada awalnya didirikan oleh salah satu ormas Islam yang cukup besar di Indonesia timur.

"Berarti bermazhab Syafi'i dong." Tanyaku.
"Tentu, Dik!" Jawab pengurus masjid dengan suara ditinggikan, seperti mengintimidasiku.
"Bila demikian, mengapa ada pengumuman soal cadar tadi?
"Apa masalahnya, Dik?
"Tadi disebut soal bapak-bapak bercadar, apa mazhab Syafi'i menyebut soal lelaki bercadar? Bukankah yang bercadar cuma perempuan?
"Hahahaha... Soal bapak-bapak bercadar, itu cuma bercanda." Jawabnya terkekeh, aku terperangah.

"Tapi soal perempuan bercadar?" Lanjutku.
"Nah, kalau itu serius."
"Kok bapak melarang cadar?"
"Bukannya memang dilarang? Itu berlebihan, Dik. Pakai jilbab itu sudah cukup, muka tak perlu ditutup. Kita tak boleh berlebihan dalam beragama, itu dilarang!" Jelasnya panjang lebar.
"Bapak tahu dari mana kalau cadar itu dilarang?" Cecarku.
"Dari group WA pengurus masjid se-Makassar. Ini masih hangat dibincangkan." Katanya sambil membuka HPnya.

"Coba lihat ustaz, saya tidak berbohong, kan?" Bapak pengurus masjid itu berupaya mencari dukungan dari ustaz.
"Bukan saya tak percaya dengan group WA itu, tapi apa benar cadar dilarang, ustaz?" Aku ikut-ikutan melibatkan ustaz.
"Mmm... Setahu saya, soal cadar itu masalah khilafiyah di antara imam mazhab." Jawab ustaz Jabir.
"Tapi bukan sesuatu yang dilarang, kan, ustaz?"
"Bukan, bahkan ada yang mewajibkan." Ustaz Jabir menjawab singkat. Kulihat pengurus masjid itu terdiam.

"Nah, tadi bapak ini mengumumkan agar yang bercadar untuk membuka cadarnya, terus bapak ini mengaku penganut mazhab Syafi'i. Bagaimanakah sebetulnya pendapat Imam Syafi'i mengenai cadar, ustaz?" Tanyaku ke ustaz Jabir sambil melirik ke bapak pengurus masjid.
"Bila menurut mazhab Imam Syafi'i, sebagian besar ulama menyepakati wajibnya cadar. Imam al Ghazali dalam Ihyaa Uluum ad Diin, Imam an Nawawi dalam Minhaaj at Thalibin, maupun al Juwaini dalam Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab menyepakati hal tersebut."

"Wah, terima kasih atas penjelasannya, ustaz." Kembali aku menghaturkan maaf kepada jamaah pengajian al Quran yang harus terganggu dengan pertanyaanku. Sekaligus aku pamit untuk pulang lebih cepat karena ada urusan mendesak. Sebelum beranjak, aku sempat berucap dan mellirik si pengurus masjid, "Berarti pengumuman tadi keliru dong, Pak. hehehehe...."
Saat aku berdiri, bapak pengurus masjid yang tadi mengumumkan soal cadar,ikut berdiri dan mengikutiku sampai di luar.

"Apa maksud kamu memprotes soal pengumuman saya mengenai cadar tadi? Jangan-jangan kamu kelompok radikal? Mau mencoba menyusup ke masjid kami, ya!?" Kata-kata bapak itu terdengan kasar, kulihat matanya menatap tajam ke arah celanaku yang cingkrang.
"Saya tak punya maksud apa-apa, Pak. Sungguh, saya cuma mau mengingatkan bahwa menurut ulama Syafi'i, mazhab yang bapak anut, jangankan melarang, bahkan sebagian besar mewajibkannya." Jawabku pelan, bapak itu mendengus.

"Larangan bercadar itu bagian dari anjuran pemerintah untuk mencegah kelompok radikal, paham!?" Matanya melotot.
"Sejak kapan mengenakan cadar identik dengan radikalisme, Pak?"
"Sudah jelas kamu terpengaruh radikalisme, itu celanamu  juga cingkrang, bergaul di mana!?" Bapak yang kutahu merupakan pensiunan lembaga negara yang bertugas menjaga keamanan tersebut melotot padaku.
"Lo, kok melebar lagi ke soal celana? Jangan menuduh sembarangan, Pak!" Ucapku tegas, dia melengos.

"Kalau beragama itu, yang moderat." Suaranya merendah.
"Yang moderat itu yang bagaimana, Pak?" Tanyaku sambil memasang sandal.
"Ya, yang sesuai dengan sunah nabi, tak usah ditambah-tambah." Jawabnya agak kebingungan.
"Memakai cadar itu dicontohkan para istri nabi dan sahabiyah, Pak. Celana di atas mata kaki juga sunah nabi, justru yang kainnya panjang, itu yang menambah-nambah." Terangku panjang.
"Ah, kamu jangan banyak membantah, ini anjuran pemerintah!"
"Pemerintah yang mana maksud bapak?"
"Tentulah pemerintah kita, kamu jangan pura-pura bodoh!" Perkataan bapak ini betul-betul menguji kesabaran.

"Saya yang bodoh, atau bapak yang kurang informasi? Tiga hari yang lalu, Menteri Agama mengatakan bahwa cadar adalah hak seseorang yang harus dilindungi. Jangan-jangan bapak yang mau melawan pemerintah?" Kucecar bapak itu dengan fakta, emosiku mulai terpancing.
"Mengaku mazhab Syafi'i, tapi pas diberitahu kebenarannya, malah menolak. Harusnya bapak belajar lagi sebelum mengeluarkan larangan bercadar. Assalamu alaikum..." Dengan langkah tergesa kutinggalkan masjid, takut terpancing emosi, bapak itu masih mematung di sana.

2 Komentar

  1. Terima kasih atas dukungan nya terhadap cadar heheheh. ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus didukung, Kak.
      di tengah banyaknya pihak yang latah menolak

      Hapus
Lebih baru Lebih lama