Sate, Ikhlas dan Riya di Makassar Kota Dunia

[18.02.2018] Malam sudah jelang pukul 10, volume kendaraan yang melintas di jalan Sultan Alauddin Makassar, sudah berangsur berkurang. Biasanya, jalur ini adalah salah satu titik kemacetan parah di Makassar. Ini malam sabtu, Makassar perlahan ditinggalkan oleh penghuninya yang akan menghabiskan pekan di luar kota.
Gerimis perlahan membasuh permukaan jalan, juga wajah. Aku duduk mencangkung di atas sadel motor yang kuparkir di tepi jalan, dekat gerbang masuk perumahan Bumi Permata Hijau, kompleks di mana Gubernur daerah ini —yang akan mengakhiri jabatannya April 2018— bermukim.
Sambil menunggu sate ayam yang kupesan, pikiranku menerawang ke sepenggal slogan yang selama ini merecoki kesadaranku: Makassar Kota Dunia. Sebuah obsesi muluk nan prestisius yang membius warga kota akan wujud peradaban yang maju, dinamis, dan juga sejahtera.
Tentu tak ada yang ingin mewujudkan masa depan suram. Makassar Kota Dunia adalah sebuah hasrat positif. Namun entah mengapa, mengingatnya membuatku gundah. Aku membayangkan implikasi negatif yang mungkin timbul dan menjadi derita yang mesti ditanggung warga saat kotanya mendunia.
Pembangunan ekonomi yang timpang, munculnya kelompok warga yang tersingkir oleh persaingan hidup nan diskriminatif, karakter warga yang teralienasi dari lingkungan sosial akibat hidup yang kian mekanik, dan beragam problem sosial lain adalah fragmen yang silih berganti membayang.
Aku masih menunggu, asap tebal yang beranjak dari pembakaran sate menampar-nampar hidungku, tukang sate yang berbadan tambun itu bekerja cekatan menyiapkan 42 tusuk sate yang kupesan, seharga 60 ribu rupiah. Gerimis masih setia dengan rinai-rinainya yang mungil.
Petrikor menguar dari sisa-sisa permukaan tanah yang luput dari ekspansi aspal dan beton, juga masih ada rumput mungil yang setia bertahan. Aroma geosmin terasa masin, mungkin karena cemaran asap kendaraan yang tak henti melintas. Pasangan berusia dewasa dalam balutan baju pesta turut mampir, juga memesan sate, entah berapa.
Dari jauh kulihat perempuan bertubuh imut melangkah terseok. Kepalanya dibalut jilbab kusam, entah berwarna kuning atau krem, atau mungkin coklat muda. Penerangan lampu jalan yang menerobos sela dedaunan tak mampu memperjelas warna kerudungnya. Tangan kanannya membawa buntalan, tangan kirinya menggendong kaleng biskuit bulat dengan lubang persegi di tengah penutupnya, seperti celengan.
Saat perempuan bertubuh imut yang sepertinya itu berjarak sekira lima meter dari posisinya, perempuan pasangan berbaju pesta tadi dengan cekatan membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang, entah berapa nilainya. Dengan muka berhias senyum, perempuan berbaju pesta itu mengangsurkan uang ke dalam kaleng di gendongan perempuan pengemis yang telah berdiri di sisi kanannya.
Senyum mengembang di mukanya yang mulai keriput, matanya ikut tersenyum. Melihat itu, dadaku seperti tertohok. Tak bisakah aku ikut membuatnya tersenyum? Aku yang selama ini berlindung di balik perda larangan memberi sesuatu kepada pengemis di jalan raya untuk menutupi kemalasanku bersedekah, refleks menggerakkan tangan merogoh saku celana, mencari lembar uang yang tersisa.
Begitu perempuan berbaju kumal itu melintas di sisiku, aku melongokkan badan, tangan menjangkau kaleng celengannya, kumasukkan duit ke sana. Nilainya jauh dari harga sate yang harus kubayar, tapi semringah di hatiku yang mengiringi mekar di wajahnya, jauh lebih mahal. Tak terjangkau digit angka.
Sekilas dadaku begah, rasa meluah, mungkin inilah bahagia, atau riya barangkali? Memang ada rasa bangga diri di sana. Cekatan aku meredam amuk di dada, kembali menarik pikiran perihal kemungkinan sisi negatif dari pembangunan kota. Tentang bagaimana rasa kemanusiaan tergerus oleh kalkulasi materi nan untung rugi.
Aku meragukan keikhlasan diri, barusan. Pun curiga pada perempuan berbaju pesta itu, mungkin saja dia bersedekah ke perempuan dekil itu karena dia lagi berjalan bagi pasangannya, sehingga ingin dinilai positif. Aku tak percaya bila masih ada yang namanya ketulusan di kota yang kian banal.
Tapi kekhawatiranku terbantahkan oleh kejadian beberapa menit berikutnya, ketika seorang lelaki tambun berusia sekira 50an, menunggangi motor bebek butut, berhenti dan menyapa ibu tua kumal itu. Tak lama, sebuah motor lain berhenti, di atasnya duduk dua orang remaja tanggung, mungkin mahasiswa semester awal.
Perempuan dekil itu disapa dengan lembut oleh mereka, diperlakukan demikian hormat. Terakhir, sebelum mereka beranjak menjauh, seorang di antara mereka mengangsurkan sebuah bungkusan berisi makanan yang disambut perempuan itu dengan terima kasih yang terlukis di wajahnya.
Sekilas kulirik ke atas motor rombongan kecil itu, ada kantung plastik hitam besar berisi bungkusan makanan. Kuikuti dengan pandangan mata sejauh kemungkinan. Beberapa kali mereka menghampiri orang-orang yang mungkin mereka pikir kesepian atau kesusahan, pantas disapa dan dibantu semampunya. Isi kantung plastik hitam itu, satu-persatu berpindah tangan.
Pikiranku tentang mereka terusik oleh tukang sate yang menghampiri lalu menyodorkan kantongan berisi 42 tusuk sate pesananku. Sambil memicu motorku berlalu, berlomba dengan hujan yang mulai menderas, aku menyadari bahwa rombongan kecil seperti itulah yang menyangga kota ini, memupuk nurani kemanusiaan, dan menyelamatkan Makassar dari nekrofilia, naluri kematian.
Tulisan ini dimuat di MakassarBicara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama