Fiksi dan Kegilaan Pada Kebenaran

[12.04.2018] Dalam sebuah diskusi ringan, seorang kawan mengingatkan pada kalimat pintas seorang  pujangga kenamaan Romawi, Publius Vergilius Maro, yang dalam lidah Inggris, cukup disapa Virgil. Menurut kawan tadi, Virgil pernah berucap lirih, obscura vera involvens. Kurang lebih maknanya, kebenaran lahir dari rahim kebohongan.

Tapi tulisan ini bukan soal bagaimana rahim kebohongan bisa melahirkan kebenaran. Bukan. Tulisan ini sekadar ingin ikut memeriahkan silang sengketa pendapat perihal ungkapan seorang Rocky Gerung, pengampu filsafat di Universitas Iandonesia, tentang fakta, fiksi, dan fiktif, serta soal realitas dan faktual.

Pemaparan Rocky lalu menyerempet sampai ke frasa, kitab suci adalah fiksi. Diksi yang tak ubahnya menyiramkan bensin pada gunungan sekam kering yang sementara terbakar. Ya, ruang publik kita lagi terbakar oleh kata fiksi, sejak Prabowo, dengan mengutip Ghost Fleet -sebuah karya fiksi, mengingatkan kemungkinan hilangnya Indonesia dari peta dunia pada tahun 2030.

Sejak detik itu, diskursus tentang fiksi menggeliat, penikmat dinamika di media sosial menggelinjang bak cacing tanah yang berjemur. Lalu hasilnya, fiksi menjadi terdakwa, menjadi pihak yang terdesak ke sudut antagonis. Dinamika lalu fokus pada status fiksi informasi yang disampaikan Prabowo tanpa ada upaya serius meneroka soal fiksi secara serius.

Rocky pun sempat menyentil publik soal perlakuan tak adil yang dialami fiksi ini. Bahwa fiksi telah diperlakukan buruk di ruang publik, oleh politisi, tuding Rocky. Maka Rocky berusaha mengembalikan muruah fiksi dengan menegaskan bahwa fiksi itu baik, yang buruk adalah fiktif. Jadi, situasi oposisinya bukan antara fakta vs fiksi, melainkan faktual vs fiktif.

Apa yang dijelaskan oleh Rocky membuka mata kita bahwa kebenaran itu tak melulu urusan logis, tapi lebih dari itu, kebenaran perlu retoris. Mungkin inilah yang  memicu sebagian kita menuding seorang Rocky hanya bermain kata-kata dan berupaya membangkitkan arwah sophisme yang telah dikubur oleh kaum filosophis sejak sebelum masehi di Yunani sana.

Padahal apa yang dilakukan Rocky, bukanlah upaya untuk membungkam pendekatan logis dalam mengungkap kebenaran lalu memamerkan kebenaran retoris, sekali lagi tidak. Menurutku, Rocky mencoba menunjukkan kepada publik bahwa kebenaran itu tak harus kaku dan beku, kebenaran bisa meliuk demikian indah dalam untaian kata retoris melalui fiksi.

Seorang dosen FIB Unhas, Alwi Rahman pun sejalan dengan Rocky, dakunya, "Ini pandangan pribadi, fiksi adalah cara mendudukkan kebenaran faktual di kursi kebenaran estetik." Lebih lanjut, Alwi menerangkan, fakta hanya benar secara empirik: kebenaran empirik. Ketika tiba di pengetahuan ia menjadi kebenaran teoretik. Ketika ia tiba di Sastra, ia menjadi kebenaran estetik.

Lalu mengapa fiksi? Sebab mengungkap kebenaran melalui jalan fiksi adalah lintasan yang estetik. Bagi Rocky, fiksi adalah energi untuk membangkitkan, dan mengajak kita berpikir imajinatif. Maka demikianlah kitab suci menurutnya, ia adalah fiksi dan memenuhi fungsi fiction bagi manusia. Fungsi yang menyeret penganutnya untuk beranjak menuju telos (Ļ„Ī­Ī»ĪæĻ‚).

Maka mendudukkan kitab suci sebagai fiksi, alih-alih menurunkan derajat kebenarannya, justru mengangkatnya ke posisi tertinggi sebagaimana selayaknya ia, menjadi petunjuk nyata menuju destinasi, dan tak sekadar prediksi. Kitab suci yang sedemikian layak menjadi alasan kaum beriman untuk tabah menanti eskaton.

Mungkin ada yang menyoal, bukankah kitab suci tak hanya memapar perihal kemasadepanan, namun juga masa lalu? Ya, kitab suci membabar masa lalu sebagai sesuatu yang faktual -tidak fiktif, berakar dari fakta, dan untuk memahaminya, tetap membutuhkan imajinasi sebagai fungsi dari fiction. Maka kehadiran kisah masa lalu dalam kitab suci, tak membatalkan kefiksiannya.

Sebagai fiksi, semua yang disajikan dalam kitab suci, entah itu masa lalu atau masa depan, tetaplah menjadi jerat bagi hasrat untuk bergerak menjangkau telos dan eskaton. Bukankah pemahaman akan 'Yang Akhir' (al ma'ad) tak pernah bisa melepaskan diri dari 'Yang Awal' (al mabda)? Maka tepatlah bila dikatakan bahwa, sejatinya, berangkat selalu bermakna kembali.

Lalu di mana soalnya? Soalnya adalah ketika keindahan bahasa dan keluasan pahaman perihal fiksi, terkerangkeng pada defenisi fiksi sebagaimana ditegaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): 1. cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); 2. rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; 3. pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.

Saya termasuk orang selalu berusaha taat pada pakem penulisan kata berdasarkan KBBI, terutama soal mana yang baku dan tak baku. Namun dalam kasus fiksi -yang lebih pada soal makna kata, dan bukan pada penulisan baku dan tak bakunya, saya manut pada fatwa Alwi Rahman, "Banyak sekali kamus yang jahat terhadap makna fiksi." Bagaimana dengan anda?

ilustrasi dicomot dari https://nyoemhokgie.wordpress.com/2016/03/07/kata-adalah-senjata/

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama