16. Akhlaq: Titian Makhluq Menuju Khaliq

Pada kesempatan ini, aku tertarik menuliskan beberapa poin terkait dengan sebuah kata dalam bahasa Arab, خَلَقَ atau 'khalaqa'.

Kata yang termasuk kata kerja ini berarti ‘menciptakan’.

Apabila kata 'khalaqa' digunakan dalam perspektif 'pelaku', maka terbentuklah sebuah kata turunan, 'khaaliq' yang berarti pencipta, pencipta alam semesta.

Bila kata yang sama dipakai dalam perspektif 'penderita' maka akan terbentuk kata turunan, 'makhluq' yang berarti yang diciptakan.

Sementara kalau digunakan dalam bentuk  jamak, maka lahir kata “khuluq”, yang berarti akhlaq atau budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat.

Menurut Sadruddin Al-Qunawi, sesungguhnya sangat erat keterkaitan antara akhlaq dengan makhluq dan Khaliq.

Lanjut Sadruddin, maka dalam ber-akhlaq pun, makhluq (manusia) harus berperilaku sebagai representasi atau perpanjangan dari Khaliq (Sang Pencipta).

Ini berarti bahwa manusia sebagai makhluq, dalam menjalani hidupnya, diharapkan mampu mengimplementasikan akhlaq dari Allah Sang Khaliq secara sempurna.

Akhlaq ini pula yang menjadi substansi diutusnya Muhammad saw. Kata nabi dalam haditsnya "Sungguh tidaklah aku diutus (oleh Allah) kecuali untuk menyempurnakan akhlaq."

Hal yang lalu ditegaskan dalam al Quran dalam al Qalam [68] : 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (khuluqul adzim).” 

Semua ini menunjukkan bahwa temali terkuat dan sulur hakiki bagi seorang makhluq untuk kembali kepada sumber azalinya, khaliq-nya, adalah melalui akhlaq.

Bahkan seorang pemikir sosial juga yang didaku sebagai bapak psikoanalisis Amerika, Erich Fromm mengklaim bahwa Tuhan adalah manusia, saat manusia benar-benar manusiawi.

Artinya apa? Bisa dikatakan bahwa makhluk akan menjadi bayang-bayang Khaliq secara sempurna apabila dia mengamalkan 'khuluqul adzim' sepenuh-penuhnya dan seluas-luasnya.

Dalam tradisi Bugis, kita mengenal tiga buah frasa ringkas dengan makna yang berkelindan mengenai posisi ke-makhluq-an manusia dengan peran akhlaq.

Sadda mappabbati ada (Suara menitiskan kata), Ada mappabbati gau (kata menitiskan laku, Gau mappabbati tau (laku menitiskan manusia).

Sadda Mappabbati Ada. Kualitas Sadda (suara) ditentukan apakah suara tersebut bukan sekadar bunyi, melainkan menjadi kendaraan makna, dia menjadi Ada (kata).

Ada Mappabbati Gau. Kualitas Ada (kata) diukur dari sejauh mana dia diimplementasikan dalam Gau (laku, perbuatan). Ada tanpa Gau, tak lebih dari sekadar Sadda.

Ini selaras dengan pesan arkais lain, Taro Ada Taro Gau. Secara sederhana bermakna sejalannya Ada (kata) dan Gau (perbuatan). Salah satu prinsip dasar Tau adalah hal ini.

Namun demikian, keselarasan Ada dan Gau belum utuh bila tak dibareng dengan pemahaman perihal Gau. Sebab tak semua Gau menopang eksistenai Tau.

Gau Mappabbati Tau. Kualitas Gau (laku) diukur dari sejauh mana dia representasi Tau (manusia). Derajat kemanusiaan ditunjukkan dalam nilai dan kualitas Gau (laku, tingkah, perbuatan, dan akhlaq).

Bila Gau sebatas akhlaq al sayyi'ah, maka dia tak lebih dari Gau/Kedo Sala yang mewujud dalam Tau Sala (insan yang berhias dengan sifat tercela atau mazmumah).

Selain Tau Sala, tradisi Bugis juga mengenal istilah Tau-Tau yang mengacu pada orang-orangan sawah (pajo-pajo).

Sebentuk tiruan manusia yang berfungsi sekadar mengusir pipit di sawah. Ini derajat kemanusiaan yang lebih rendah dari Tau Sala.

Bila Tau Sala bisa disejajarkan dengan istilah 'ulaaika ka al an'am' atau 'asfala saafiliin' dalam al Quran. Maka Tau-Tau setara dengan 'ulaaika hum al ghaafiluun'.

Sedangkan Gau yang akan mewujudkan Tau Tongeng (insan dengan sifat terpuji atau mahmudah) adalah Tau yang mempraktikkan Gau Madeceng (akhlaq al karimah).

Tau madeceng ini, mengacu pada terminologi al Quran, 'ahsanu takwim' pun 'al hafiiz'. Mereka yang meraih posisi sebagai sebaik-baik ciptaan.

Maka seseorang bisa disebut Tau (makhluq) dalam arti sebenar-benarnya Tau, ditentukan oleh kualitas Gau (akhlaq)nya.

Dengan Gau-lah, seorang Tau melepaskan diri dari lembah Tau-Tau, belukar Rupa Tau yang dihuni oleh Tau Sala, lalu menjangkau derajat Tau yang sebenar-benarnya Tau.

16 Ramadan 1439 H / 31 Mei 2018 M

Ilustrasi pinjam dari blog http://subhan-makkuaseng.blogspot.com/2013/01/dari-rupa-tau-menjadi-tau-bugis-selalu.html

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama