17. Safari Ramadan, Imsak, dan Azan Pemerintah

Aku tak jadi salat berjamaah tarawih di masjid, padahal aku sudah berniat untuk melakukannya. Tapi rupanya niatku berubah sesuai situasi dan kondisi. Aku pulang dari masjid sekira pukul 20.35 wita. Saat pejabat eselon II di Kabupaten Takalar baru melempar salam.

Ya, malam ini aku lagi di Takalar. Berencana tarawih di salah satu masjid jami' dekat rumah mertua. Tapi sayang, semua kandas karena kedatangan tim Safari Ramadan tingkat kabupaten. Kedatangan yang lumayan mengagetkanku sebagai jamaah tak tetap masjid tersebut.

Aku sudah merasa heran saat waktu sudah jelang pukul 20.00, dan iqamat belum dikumandangkan. Jam digital penunjuk waktu kapan iqamat mesti dikumandangkan, dibiarkan berlalu. Siapa gerangan yang dinanti? Aku berdiri dekat jendela, samar kulihat sebuah mobil SUV berplat nomor latar merah, terparkir.

Benar saja, pengurus masjid kelihatan tergopoh menyambut yang datang. Rupanya, rombongan safari ramadan tingkat kabupaten datang bertandang. Ini malam terakhir rangkaian safari, saatnya menyisir masjid-masjid di ibu kota kabupaten.

Setelah basa-basi ala birokrat dan para abdi, salat isya berjamaah ditegakkan. Selepasnya, posisi pembawa acara yang biasanya dijalankan oleh siswa SMP, diambil alih oleh sesepuh pengurus masjid. Sebuah pengantar yang lumayan melelahkan, tak kurang lima belas menit berisi puja puji pada Allah, nabiNya, dan para pembesar yang hadir.

Sampai di situ, aku masih bersabar. Selepas sesepuh, kulihat beberapa jamaah berusia muda, hengkan satu persatu. Tiba giliran kepala rombongan tampil ke muka. Aku berharap ini ringkas saja, tapi aku salah kira. Selain mengenalkan tim, si kepala juga mengambil kesempatan berceramah.

Ketika akhirnya si kepala yang petinggi legislatif itu menguluk salam penutup, kulongok jarum jam telah melangkahi pukul setengah sembilan, kalau biasanya jamaah sudah menegakkan salat witir. Saatnya pejabat yang lain menapaki mimbar, akan memaparkan keberhasilan pembangunan daerah.

Otakku bergerak cepat, bila aku bertahan maka sedikitnya pukul sepuluh baru jamaah bubar jalan. Maka begitu si pejabat Pemda melontar salam, kujawab dengan suara pelan diiringi langkah kaki menuju pulang. Mana tahan, dia akan berbicara sekurangnya tiga puluh menit, yang akan disusul oleh seorang mubalig dengan waktu tak kurang sama.

Di perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi ingatan sekira hampir dua puluh tahun lalu. Saat kami memandang bahwa apapun yang dikatakan pemerintah, patut dicurigai sebagai sebentuk hegemoni melalui retorika persuasif dengan bumbu religiusitas. Sebentuk penguasaan yang nikmat.

Kala itu, bersama beberapa kawan, kami menjalani ramadan di sebuah rumah kontrakan mungil nanti asri. Bila waktu sahur tiba, maka kami sengaja mengulur waktu hingga imsak. Saat sirine tanda menahan, berbunyi, barulah kami makan, sambil bergumam, imsak itu bid'ah.

Namun yang lebih parah, karena terlambat memulai, sementara waktu imsak ke azan, sebanyak-banyaknya sepuluh menit, maka kami baru setengah jalan saat azan berkumandang. Lalu kami, tetap melanjutkan makan dengan lahap.

Sambil menuding-nuding ke angkasa arah suara azan itu berasal, seorang kawan berseloroh, "ltu azan pemerintah, tak apa kita abaikan, bukankah tak ada kewaniban taat pada pemerintahan yang zalim?" Maka kami melanjutkan santap sahur dengan tergelak.

Memang, terkait dengan imsak yang bid'ah dan azan pemerintah tadi, secara fiqh masih menjadi perbincangan hangat di beberapa kalangan ulama sangat cerdik cendekia. Tapi kami tidak bermain di wilayah fiqh, kami berlandas pada semangat perlawanan.

Kembali pada soal safari ramadan, sambil melangkah pelan, aku membatin. Apa yang aku alami hampir dua puluh tahun lampau, rupanya tak banyak berubah. Safari ramadan masih tak lebih dari upaya pemerintah melakukan hegemoni atas rakyatnya. 

Mengapa safari ramadan tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masjid-masjid terpencil yang memang kekurangan imam dan mubalig? Mengapa pelaksanaannya masih menunjukkan kesan penguasa mengunjungi abdinya? Bukankah paradigma pemerintahan kita telah berubah?

Seandainya tim safari ramadan itu tak harus memakai pemberitahuan sebelumnya agar pengurus masjid tak jadi kesusu, lantas masjid yang di datangi adalah masjid yang memang minim imam dan mubalig. Bukankah menjadi lebih berkesan bila perjalanan safari ramadan itu berbentuk incognito? Tentu menjadi kejutan tersendiri bagi rakyat.

17 Ramadan 1439 H / 1 Juni 2018 M

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama