Entah mengapa, sejak sore bawaannya cuma mau tidur.
Komitmen untuk tadarus dengan target jumlah juz tertentu, bablas. Tubuh serasa
seperti habis menumpang kapal laut yang diamuk ombak, perut ikut berombak, dan
isinya melunjak. Maka sejak lepas asar, setelah mendaras beberapa patah ayat,
kupilih merebahkan raga di atas tilam.
Meski tak tidur dalam arti sebetul-betulnya tidur,
mata kupejamkan dalam suasana tidur-tidur ayam, teringat pada ajaran nabi
perihal buruknya melelapkan jiwa dan raga selepas asar. Aku teringat pada
ramadan-ramadan yang silam. Tak ada awal ramadan yang lolos kulalui tanpa
sakit. Entah mengapa, setiap awal ramadan, aku tepar.
Aku jadi teringat dengan sebuah istilah kampung nakellu. Kata dalam bahasa Bugis yang
biasa digunakan pada sebentuk derita yang melanda sebagai efek menikmati
sesuatu yang berlebihan. Kadang bermakna keracunan ringan, namun lebih tepat
diartikan sebagai mabuk. Misalnya, saat seseorang mengkonsumsi durian secara
berlebih, terkadang berakhir mabuk. Demikianlah kira-kira nakellu itu.
Maka untuk mewakili situasi yang kualami,
kugunakanlah istilah nakellu puasa. Gejalanya sama, aku seperti mabuk puasa.
Tapi bukan berarti ini akibat kelebihan melakukan puasa, bukan. Mungkin ini
karena kesiapan fisikku yang memang tidak kuat menampung hakikat puasa. Toh ramadan
memang merupakan bentuk mashdar (infinitive)
yang terambil dari kata ramidha - yarmadhu
yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas.
Dalam salah satu tulisannya, M. Quraish Shihab[1]
mengungkap bahwa ramadan terambil dari akar kata yang berarti
"membakar". Penamaannya demikian karena ketika terjadi perubahan
nama-nama bulan, yang kemudian dikenal dengan nama Hijriah, penduduk Mekkah
menamai bulan-bulan sesuai dengan suasana iklim yang mereka alami ketika itu
atau tradisi yang mereka lakukan.
Demikianlah kondisiku kini, aku benar-benar merasa
terbakar, persendian seperti akan rontok tanpa pelumas yang menguap entah ke
mana, tenggorokan jangan ditanya betapa keringnya. Derita itu berlanjut hingga
selepas berbuka. Meski asupan makanan sudah menelusup masuk hingga ke lambung,
aku masih mabuk. Salat isya berjamaah lewat, salat tarawih pun berlalu.
Aku lalu merenung, betapa dasyat bakaran yang
kurasakan, padahal ramadan baru beranjak memasuki malam kelima. Mungkin selama
di luar ramadan atau bahkan di dalam ramadan yang sudah empat hari berjalan,
aku terlalu banyak menuruti khatawat
asy-syaithan, langkah-langkah setan. Mungkin aku telah berlebihan saat
berbuka, sehingga aku nakellu puasa.
Maka tak ada pilihan lain, kuraih gawaiku, kubuka
aplikasi al Quran, kucoba kembal mendaras beberapa bait sebagai penawar, seperti
kata Allah dalam surah al Isra (17) ayat 82, “Dan Kami turunkan dari al Quran sesuatu
yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Maka dengan
tertatih, mataku meneliti setiap huruf, baris dan tanda baca lalu diolah
menjadi suara oleh pita suaraku.
Bukannya membaik, ragaku makin lelah dan jiwaku kian
payah. Ragu kembali berhembus: tak ada penawar pada kitab itu, yang ada hanya
bertambah letih. Dari mana gerangan bisikan itu beresonansi? nabi yang mulia
bersabda, “Kalau (bulan) Ramadan tiba, pintu-pintu surga terbuka dengan lebar,
pintu-pintu neraka tertutup dengan rapat dan setan-setan terbelenggu (HR.
Muslim).”
Bukankah sekarang bulan ramadan? Bukankah setan sedang
dirantai dan pasukannya sementara dibelenggu? Lalu siapa yang mendendangkan
rasa was-was ini? Putra Imam Ahmad bin Hanbal yang bernama Abdullah pun pernah bertanya
pada ayahnya: “Apa makna terbelenggunya setan sedang masih ada saja gangguannya
di bulan Ramadan?”
M. Quraish Shihab menjawab tanya itu dengan
mengutip riwayat an-Nasa’i yang menyatakan bahwa: (Yang) dibelenggu ketika itu
adalah setan-setan yang amat durhaka. Artinya, masih menurut Quraish, setan-setan
manusia, bahkan setan-setan kecil, bisa jadi berkeliaran dan melakukan
godaan-godaan yang menyesatkan, khususnya terhadap mereka yang tidak
memperhatikan tuntunan dan adab puasa.
Meski demikian, tetap juga aku goyah. Pantaslah bila
setan dinamai al-Khannas oleh Allah
dalam al Quran surah An-Nas (114) ayat 4. Al-Khannas
adalah mereka yang apabila bujuk rayunya tak mempan, ia akan surut mengatur
strategi dan model godaan baru, sesaat kemudian ia akan datang lagi. Menggoda lagi.
Mundur lagi. Menggoda lagi. Demikian seterusnya. Itulah ulah setan.
Beruntung, di tengah ragu yang menggelinjang, mataku
terantuk pada sebuah ayat dari al Quran surah Yunus (10) ayat 57, “Hai sekalian
manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rab kalian, dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Lalu lelap mengelus-elus mataku, lalu berlayar ke
alam mimpi, saat malam baru menanjak.
5 ramadan 1439 H / 20 mei 2018
Tags:
Catatan Hati