05. Inimi Mungkin Dibilang Nakellu Puasa

Entah mengapa, sejak sore bawaannya cuma mau tidur. Komitmen untuk tadarus dengan target jumlah juz tertentu, bablas. Tubuh serasa seperti habis menumpang kapal laut yang diamuk ombak, perut ikut berombak, dan isinya melunjak. Maka sejak lepas asar, setelah mendaras beberapa patah ayat, kupilih merebahkan raga di atas tilam.

Meski tak tidur dalam arti sebetul-betulnya tidur, mata kupejamkan dalam suasana tidur-tidur ayam, teringat pada ajaran nabi perihal buruknya melelapkan jiwa dan raga selepas asar. Aku teringat pada ramadan-ramadan yang silam. Tak ada awal ramadan yang lolos kulalui tanpa sakit. Entah mengapa, setiap awal ramadan, aku tepar.

Aku jadi teringat dengan sebuah istilah kampung nakellu. Kata dalam bahasa Bugis yang biasa digunakan pada sebentuk derita yang melanda sebagai efek menikmati sesuatu yang berlebihan. Kadang bermakna keracunan ringan, namun lebih tepat diartikan sebagai mabuk. Misalnya, saat seseorang mengkonsumsi durian secara berlebih, terkadang berakhir mabuk. Demikianlah kira-kira nakellu itu.

Maka untuk mewakili situasi yang kualami, kugunakanlah istilah nakellu puasa. Gejalanya sama, aku seperti mabuk puasa. Tapi bukan berarti ini akibat kelebihan melakukan puasa, bukan. Mungkin ini karena kesiapan fisikku yang memang tidak kuat menampung hakikat puasa. Toh ramadan memang merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidha - yarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas.

Dalam salah satu tulisannya, M. Quraish Shihab[1] mengungkap bahwa ramadan terambil dari akar kata yang berarti "membakar". Penamaannya demikian karena ketika terjadi perubahan nama-nama bulan, yang kemudian dikenal dengan nama Hijriah, penduduk Mekkah menamai bulan-bulan sesuai dengan suasana iklim yang mereka alami ketika itu atau tradisi yang mereka lakukan.

Demikianlah kondisiku kini, aku benar-benar merasa terbakar, persendian seperti akan rontok tanpa pelumas yang menguap entah ke mana, tenggorokan jangan ditanya betapa keringnya. Derita itu berlanjut hingga selepas berbuka. Meski asupan makanan sudah menelusup masuk hingga ke lambung, aku masih mabuk. Salat isya berjamaah lewat, salat tarawih pun berlalu.

Aku lalu merenung, betapa dasyat bakaran yang kurasakan, padahal ramadan baru beranjak memasuki malam kelima. Mungkin selama di luar ramadan atau bahkan di dalam ramadan yang sudah empat hari berjalan, aku terlalu banyak menuruti khatawat asy-syaithan, langkah-langkah setan. Mungkin aku telah berlebihan saat berbuka, sehingga aku nakellu puasa.

Maka tak ada pilihan lain, kuraih gawaiku, kubuka aplikasi al Quran, kucoba kembal mendaras beberapa bait sebagai penawar, seperti kata Allah dalam surah al Isra (17) ayat 82, “Dan Kami turunkan dari al Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Maka dengan tertatih, mataku meneliti setiap huruf, baris dan tanda baca lalu diolah menjadi suara oleh pita suaraku.

Bukannya membaik, ragaku makin lelah dan jiwaku kian payah. Ragu kembali berhembus: tak ada penawar pada kitab itu, yang ada hanya bertambah letih. Dari mana gerangan bisikan itu beresonansi? nabi yang mulia bersabda, “Kalau (bulan) Ramadan tiba, pintu-pintu surga terbuka dengan lebar, pintu-pintu neraka tertutup dengan rapat dan setan-setan terbelenggu (HR. Muslim).”

Bukankah sekarang bulan ramadan? Bukankah setan sedang dirantai dan pasukannya sementara dibelenggu? Lalu siapa yang mendendangkan rasa was-was ini? Putra Imam Ahmad bin Hanbal yang bernama Abdullah pun pernah bertanya pada ayahnya: “Apa makna terbelenggunya setan sedang masih ada saja gangguannya di bulan Ramadan?”

M. Quraish Shihab menjawab tanya itu dengan mengutip riwayat an-Nasa’i yang menyatakan bahwa: (Yang) dibelenggu ketika itu adalah setan-setan yang amat durhaka. Artinya, masih menurut Quraish, setan-setan manusia, bahkan setan-setan kecil, bisa jadi berkeliaran dan melakukan godaan-godaan yang menyesatkan, khususnya terhadap mereka yang tidak memperhatikan tuntunan dan adab puasa.

Meski demikian, tetap juga aku goyah. Pantaslah bila setan dinamai al-Khannas oleh Allah dalam al Quran surah An-Nas (114) ayat 4. Al-Khannas adalah mereka yang apabila bujuk rayunya tak mempan, ia akan surut mengatur strategi dan model godaan baru, sesaat kemudian ia akan datang lagi. Menggoda lagi. Mundur lagi. Menggoda lagi. Demikian seterusnya. Itulah ulah setan.

Beruntung, di tengah ragu yang menggelinjang, mataku terantuk pada sebuah ayat dari al Quran surah Yunus (10) ayat 57, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rab kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Lalu lelap mengelus-elus mataku, lalu berlayar ke alam mimpi, saat malam baru menanjak.

5 ramadan 1439 H / 20 mei 2018




[1] Ramadan yang Membakar, dapat dibaca selengkapnya di https://tirto.id/ramadan-yang-membakar-cpqX

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama