01. Madduppa Tarawe, Witir Yang Terpelecok, dan Gerakan Literasi Masjid

Ini malam pertama ramadan 1439 H, sebagaimana biasa, aku tetap menunaikan salat berjamaah di masjid Jamiatul Khair, termasuk menunaikan salat sunnah tarawih secara berjamaah, yang oleh orang-orang di kampungku, dinamai dengan istilah madduppa tarawe (menyambut/menjemput tarawih).

Selain waktu isya yang dilaksanakan lebih belakangan, sebenarnya tak ada yang istimewa malam ini. Bila sebelumnya dilaksanakan berdasarkan waktu salat sepanjang masa yang masyhur itu, maka selama ramadan, pengurus masjid menyepakati akan azan isya pukul 19.45 dan menggelar salat isya berjamaah seperempat jam setelahnya.

Suasana tiba-tiba menjadi riuh saat salat witir ditegakkan. Memasuki rakaat kedua, imam duduk dan membaca tahiyat. Tindakan itu membuat beberapa jamaah 'takkes' alias kecele, serempak, puluhan jamaah mengucapkan subhanallah secara koor sebagai mekanisme menegur imam yang dianggap keliru dalam memimpin salat.

Tapi rupanya, imam bergeming dengan pilihannya, dia tetap melanjutkan tahiyat, maka beberapa jamaah yang terlanjur berdiri harus memaksa diri untuk kembali duduk, taat pada imam. Namun di situlah pangkal soalnya, rupanya mereka duduk tak sekadar duduk, mereka duduk dengan gerutu tertahan, bahkan celetukan tak tertahan.

Seorang bapak di samping kanan saya, dengan suara yang cukup keras berseru dalam bahasa Makassar, "Wittiri'...! Ngapa na kamma anne! (Ini Witir...! Kok seperti ini!)" Nada suaranya terdengar begitu kesal, dia mendengus. Tapi lucunya, dia tetap melanjutkan tahiyatnya hingga ke salam. Sisa satu rakaat witir yang ditegakkan iman, dia ikuti dengan muka cemberut.

Lalu kehebohan pun menguar di seantero masjid sesaat setelah imam menuntaskan doa pasca witir dengan fatihah. Meski imam sudah mencoba meredam gejolak pas jeda witir antara salat dua rakaat dan salat satu rakaat, dia mengumumkan bahwa dia tetap tahiyat di rakaat kedua witir karena dia memilih paket witir dua satu, bukan paket langsung tiga.

Namun demikianlah, bubur memang selamanya tak sempat bisa kembali menjadi nasi, maka perbincangan seputar witir yang bagi sebagian jamaah telah terpelecok, menjadi viral. Beragam komentar mengemuka dengan mengandalkan pengalaman tanpa dasar argumen yang kukuh. Aku memilih diam.

Jamaah di samping saya yang sempat teriak tadi, bersikukuh bahwa witir harus langsung tiga rakaat seperti tahun-tahun sebelumnya, "Apalagi salat tarawih kita cuma delapan rakaat, harusnya witir langsung tiga. Berbeda kalau tarawihnya duapuluh rakaat, barulah pakai witir dua satu!" Dia tak bisa terima, meski seorang jamaah yang nampaknya punya pemahaman lebih, mencoba menjelaskan.

Maka sepanjang jalan pulang aku merenung, bahwa betapa benih ekstrimisme umat berkelindan dengan indeks literasi beragama. Semakin dangkal pemahaman keagamaan seseorang, potensinya untuk menjadi ekstrim dalam mempertahankan, bahkan memaksakan sikap dan pendapatnya menjadi lebih besar.

Dengan semangat beragama yang menggebu, namun pemahaman yang cetek, tentu mereka akan cenderung ngotot dengan apa yang dianggapnya kebenaran tunggal. Padahal ini baru sebatas fiqh salat witir, mereka sudah menggunakan kacamata kuda. Lalu bagaimana dengan aspek agama yang lain?

Namun entah mengapa, sebagian besar pengurus masjid lebih memilih mempercantik polesan masjidnya dalam menyambut ramadan, daripada menggelontorkan dana celengan untuk memperkaya bahan pustaka serta menghadirkan mubalig yang kaya perspektif beragama.

Seharusnya, fenomena ini bisa menjadi titik tolak bagi para pegiat masjid untuk mempelopori gerakan literasi berbasis masjid. Secara pragmatis, pengayaan perspektif beragama jamaah sangat dibutuhkan untuk menandaskan benih ekstrimisme yang bisa berujung pada tindak terorisme.

Secara sustantif, menjadikan masjid sebagai sentrum gerakan literasi merupakan implementasi pondasi awal berislam. Dalam ayat al Quran yang pertama kali didaraskan oleh Jibril kepada Muhammad, terkandung prinsip dasar literasi, yang sayangnya, hari ini dilalaikan di masjid.

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (Q.S. 96:1)," lalu, "Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia (Q.S. 96:4)." Sungguh tegas Allah memerintahkan manusia untuk membaca, bahkan tak sekadar perintah, Allah juga menunjukkan cara membaca yang baik: membaca dengan nama Tuhan yang Maha Pencipta, sekaligus Maha Mulia.

Di surah yang sama, Allah menuntun manusia untuk ikut mengimplementasikan sunnahNya. Apakah sunnah Allah itu? "Yang mengajari dengan perantaraan qalam (Q.S. 96:5)," dan, "Mengajari insan perihal apa yang tak diketahuinya (Q.S. 96:6)." Allah menunjukkan bahwa selain membaca, manusia harus menyebarkan pengetahuan melalui teks. Maka menulislah!

Jadi demikianlah pangkal tolak literasi masjid itu, sebab Allah memerintahkan dan menunjukkan cara membaca, lalu Allah juga mencontohkan cara menyebarkan pengetahuan dengan perantaraan tulisan. Tentu kita juga bersepakat, kita tak bisa menjadi penulis yang baik bila tak kaya bacaan. Demikian pun sebaliknya, kita mau membaca apa tanpa tulisan?

Nah, lalu seberapa banyak masjid kita yang punya perpustakaan? Usahlah kita memaksakan kualitas bahan bacaan, ketersediaan bahan bacaan saja, sungguh minim. Ini tentu patut mendapat perhatian dari mereka-mereka yang berkutat mengurusi masjid seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Badan Kontak Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI).

Dari pada sibuk sekadar membatasi jangkauan suara pelantang suara masjid-masjid, atau menyeragamkan waktu salat sampai ke detik, alangkah menariknya bila DMI mendorong tradisi literasi di masjid, dengan mengadakan perpustakaan-perpustakaan masjid, dan menjadikan keberadaan ruang baca di masjid sebagai indikator masjid yang baik.

Pun dengan BKPRMI, selain mengurusi TK/TPA, bukankah menarik bila mereka tak sekadar merangsang minat baca tulis al Quran, tapi juga minat baca tulis secara umum bagi generasi muda agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi generasi 'rakus ilmu'? Bukankah Allah berfirman, "Dan katakanlah, Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku! (Q.S. 20:114)"

Bila tradisi literasi bisa berkembang subur di masjid, dan memang selayaknya demikian, maka ini tentu akan berkontribusi bagi pengayaan perspektif beragama dan menurunkan kadar ekstrimitas serta menangkal potensi teroris. Dan tentu pula kita tak lagi harus mendengar seorang jamaah berteriak dalam salatnya, "Wittiri'...! Ngapa na kamma anne!" Hanya karena dia tak paham bahwa tak selamanya witir itu langsung tiga rakaat.

1 Ramadhan 1439 H/16 Mei 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama