02. Mencari Buku Fiqh di Hari Buku

Malam ini, 2 ramadan 1439 hijriah bertepatan dengan hari ketujuhbelas bulan kelima penanggalan miladiah. Hari telah berganti sejak magrib tadi berdasarkan almanak hijriah yang mengacu pada pergerakan bulan, sementara bagi kalender miladiah yang berbasis rotasi matahari, pergantian hari baru akan terjadi sebentar, tepat tengah malam.

Aku bergerak ke masjid tepat saat azan isya usai dikumandangkan, setelah berjalan selama tiga menit empat puluh tujuh detik, aku tiba di pintu masuk masjid Jamiatul Khaer yang telah sesak dengan jamaah yang berdiri. Aku sempat berpikir untuk beralih ke masjid lain, namun saat melongok ke dalam masjid melalui sela bahu para jamaah yang mengantri, kulihat banyak titik kosong di sela jamaah bagian depan.

Waktu untuk salat sunah masih ada, masih tersedia enam menit empat detik. Maka kuputuskan beringsut menyusup di sela para jamaah, berjalan di titik-titik kosong dari saf belakang ke saf yang lebih di depan, hingga tiba di saf ketiga. Di sana, kupungkas dua rakaat salat tahiyah al masjid dalam tiga menit lebih lima belas detik.

Masih tersisa dua menit sekian detik sebelum ikamah, kurogoh saku mencari mushaf mungil, ternyata tak terbawa. Mau berzikir, suara bocah dari lantai dua, mendengung seperti kawanan lebah. Ingatanku malah sesak dengan sepenggal tanya: mengapa jamaah enggan mengisi saf depan, dan memilih bersesak ria di barisan belakang.

Selintas, memoriku beranjak menyusuri halaman-halaman buku yang sempat kumamah, pembahasan tentang masalah saf salat sudah banyak diulas dan semua sepaham bahwa saf depan lebih mulia daripada saf yang di belakang. Bahkan ada pula iming-iming akan mendapatkan pahala sebesar binatang tertentu dengan level berdasarkan di saf mana seseorang berada dalam jamaah.

Tapi sepertinya itu semua tak mempan menggoda umat untuk berlomba-lomba berada di depan. Apakah di sana ada interpretasi yang keliru perihal ketawaduan? Bahwa tak baik memperebutkan posisi terdepan, dan lebih baik mendahulukan orang lain? Atau umat ini mengidap semacam sindrom tak percaya diri berada di barisan terdepan?

Semua buku, artikel, dan ujaran-ujaran mengenai saf dalam salat yang pernah kuindera, berpendar pada soal kemuliaan saf yang di depan, serta pentingnya meluruskan dan merapatkan barisan. Entah mengapa, tema buku perihal ini tak pernah bergeser dari soal memotivasi orang untuk mengejar saf depan, dan itu menurutku kurang berhasil.

Pada 17 Mei yang oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional sejak 2010 --mengambil momentum peresmian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1980 silam, secebis tanya bergelayut di benakku, mengapa tak ada buku yang mengulas tema ini dari perspektif yang berbeda? Seperti tanyaku tadi: mengapa jamaah enggan mengisi saf depan, dan memilih bersesak ria di barisan belakang? 

Bukankah tema ini menarik untuk diulas!Bukankah memberi motivasi dan iming-iming akan dapat unta bagi saf terdepan terbukti tak mampu menggiring umat memperebutkan posisi itu? Mengapa tak ada penulis buku yang berkompeten di tema ini, mencoba mencari tahu motivasi apa yang melatari jamaah untuk bertahan di saf belakang, lalu menuliskannya.

Bila motivasi tak berhasil, tentu perlu mencari tahu motif apa yang bekerja dan menggerakkan umat melakukan hal sebaliknya dari yang dianjurkan. Kalau motifnya berhasil dilacak, maka itu menjadi modal dasar bagi para mubalig untuk menemukan cara baru dalam memotivasi jamaah untuk meraih kemuliaan di saf pertama.

Ada yang tertarik menulisnya? Di Hari Buku Nasional ini, aku menitip harap.

2 Ramadan 1439 H/17 Mei 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama