Malam ini, aku keliling kota Takalar menjumpai beberapa kerabat untuk tujuan tertentu. Waktu sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam, sudah larut. Aku dibersamai oleh istri, dan dua orang anak yang sudah pada tertidur.
Saat beranjak keluar dari lorong tempat rumah ipar yang kukunjungi, mulut lorong telah tertutup oleh sebuah mobil yang mesinnya tetap menyala, lampu kabin menyala, bahkan lampu depan utama pun menyala. Tapi tak ada siapa-siapa.
Begitu kepala mobil yang kukemudikan mentok di mulut lorong dan tak bisa keluar, kutengok ke kanan dan kiri. Rupanya ini sederetan mobil yang tetap menyala, terang benderang, namun tanpa pengemudi.
Sudah sekian menit aku menanti, tak jua ada siapa pun yang patut dimintai keterangan apa hal yang sedang berlangsung. Malam kian larut, dan kami masih tertahan, aku mulai gelisah, berusaha menahan godaan amarah.
Melihat gelagat aku akan meledak, istriku berinisiatif mencari tahu. Dia meninggalkan mobil, menyusur di mana gerangan kepala rombongan mobil itu berujung. Ternyata, mentok di sebuah panti asuhan.
Sekira tiga menit, istriku kembali muncul.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Rombongan klub mobil"
"Tapi kok tutup jalan?"
"Mereka lagi kunjungan ke panti asuhan."
"Tapi kok tutup jalan?"
"Mereka menyerahkan sumbangan, sebentar lagi bubar."
"Tapi kok tutup jalan?"
"Tunggu saja."
Aku diam menjinakkan dongkol. Belum juga muncul siapa gerangan empunya mobil. Untuk menenangkan hati, volume musik kubesarkan lalu ikut bersenandung, Nissa Sabyan lagi melantunkan Ya Maulana, single terbarunya.
"Itu, mereka sudah bubar!" Seru istriku setelah sekira lima menit sejak kedatangannya.
"Alhamdulillah...!" Hatiku mulai lega, maka gigi mobil kugeser ke posisi D, rem tangan kulepas bersiap bergerak.
Tapi dasar tak tahu adat, begitu mobil yang menyumbat mulut lorong, bergerak, mobil yang dibelakangnya berusaha menutup jalurku. Maka jengkel pun kembali bertamu. Tombol klakson menjadi pilihan untuk menegur.
Dengan sedikit menggeber gas, dan menekan rem depan sekaligus, kubiarkan ban belakang berputar di tempat sebentar hingga menimbulkan debu dan bunyi berdecit, lalu mendesakkan kepala mobil masuk di sela-sela iring-iringan yang hendak berbalik arah secara serempak.
Betul-betul mengecewakan. Sudah menghalangi jalan kami sampai batas waktu penantian yang membosankan, begitu ada kesempatan bagi kami untuk lewat, masih juga coba dipotong hanya untuk menjaga kerapian iring-iringan rombongannya yang baru saja menyumbang.
Hati kecilku bergejolak dalam tanya, mengapa kian banyak orang yang sakit dalam beragama? Nabi yang mulia mengajarkan agar kita bersedekah dan berinfaq dalam diam. Tapi mereka malah show of force.
Belum lagi dengan kebiasaan berbagi penganan bukan puasa di jalan-jalan sambil membentangkan spanduk, jepret sana dan sini, unggah ke media sosial dengan caption "Alhamdulillah bisa berbagi" atau "Subhanallah sambutan pengguna jalan" dan sejenisnya.
Ini bukanlah fenomena beragama yang sehat. Kenikmatan iman bukanlah sesuatu yang bisa digapai dalam riuh dan gempitanya komentar orang di media sosial atau pujian kekaguman warga di dunia maya.
Menurutku sih begitu, entah menurut anda.
Saat beranjak keluar dari lorong tempat rumah ipar yang kukunjungi, mulut lorong telah tertutup oleh sebuah mobil yang mesinnya tetap menyala, lampu kabin menyala, bahkan lampu depan utama pun menyala. Tapi tak ada siapa-siapa.
Begitu kepala mobil yang kukemudikan mentok di mulut lorong dan tak bisa keluar, kutengok ke kanan dan kiri. Rupanya ini sederetan mobil yang tetap menyala, terang benderang, namun tanpa pengemudi.
Sudah sekian menit aku menanti, tak jua ada siapa pun yang patut dimintai keterangan apa hal yang sedang berlangsung. Malam kian larut, dan kami masih tertahan, aku mulai gelisah, berusaha menahan godaan amarah.
Melihat gelagat aku akan meledak, istriku berinisiatif mencari tahu. Dia meninggalkan mobil, menyusur di mana gerangan kepala rombongan mobil itu berujung. Ternyata, mentok di sebuah panti asuhan.
Sekira tiga menit, istriku kembali muncul.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Rombongan klub mobil"
"Tapi kok tutup jalan?"
"Mereka lagi kunjungan ke panti asuhan."
"Tapi kok tutup jalan?"
"Mereka menyerahkan sumbangan, sebentar lagi bubar."
"Tapi kok tutup jalan?"
"Tunggu saja."
Aku diam menjinakkan dongkol. Belum juga muncul siapa gerangan empunya mobil. Untuk menenangkan hati, volume musik kubesarkan lalu ikut bersenandung, Nissa Sabyan lagi melantunkan Ya Maulana, single terbarunya.
"Itu, mereka sudah bubar!" Seru istriku setelah sekira lima menit sejak kedatangannya.
"Alhamdulillah...!" Hatiku mulai lega, maka gigi mobil kugeser ke posisi D, rem tangan kulepas bersiap bergerak.
Tapi dasar tak tahu adat, begitu mobil yang menyumbat mulut lorong, bergerak, mobil yang dibelakangnya berusaha menutup jalurku. Maka jengkel pun kembali bertamu. Tombol klakson menjadi pilihan untuk menegur.
Dengan sedikit menggeber gas, dan menekan rem depan sekaligus, kubiarkan ban belakang berputar di tempat sebentar hingga menimbulkan debu dan bunyi berdecit, lalu mendesakkan kepala mobil masuk di sela-sela iring-iringan yang hendak berbalik arah secara serempak.
Betul-betul mengecewakan. Sudah menghalangi jalan kami sampai batas waktu penantian yang membosankan, begitu ada kesempatan bagi kami untuk lewat, masih juga coba dipotong hanya untuk menjaga kerapian iring-iringan rombongannya yang baru saja menyumbang.
Hati kecilku bergejolak dalam tanya, mengapa kian banyak orang yang sakit dalam beragama? Nabi yang mulia mengajarkan agar kita bersedekah dan berinfaq dalam diam. Tapi mereka malah show of force.
Belum lagi dengan kebiasaan berbagi penganan bukan puasa di jalan-jalan sambil membentangkan spanduk, jepret sana dan sini, unggah ke media sosial dengan caption "Alhamdulillah bisa berbagi" atau "Subhanallah sambutan pengguna jalan" dan sejenisnya.
Ini bukanlah fenomena beragama yang sehat. Kenikmatan iman bukanlah sesuatu yang bisa digapai dalam riuh dan gempitanya komentar orang di media sosial atau pujian kekaguman warga di dunia maya.
Menurutku sih begitu, entah menurut anda.
18 Ramadan 1439 H / 2 Juni 2018 M
Tags:
Keagamaan