20. Kolom Kosong, Sensasinya Bung!

Tadi aku menghadiri buka puasa yang digelar Forum Komunikasi Muslimah (FKM) Pusat Makassar. Acaranya digelar di lokasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dikelola yayasan FKM, Insan Ulil Albab namanya.

Aku ikut karena dua alasan: selain untuk mengantar istri yang tercatat sebagai pengurus, aku juga datang untuk memenuhi hasratku bertemu para senior. Maklum, FKM adalah yayasan yang digawangi oleh alumni-alumni Korps HMI Wati (Kohati), dan suami-suami mereka hampir semua juga alumni HMI.

Maka demikianlah, acara buka puasa menjelma ajang reuni kecil-kecilan. Perbincangan seputar tema berat hingga tema ecek-ecek mewarnai persamuhan tersebut. Ada yang mengangkat tema poligami, pun ada yang membahas politik kontemporer.

Menariknya, karena lahir dari rahim organisasi pergerakan, dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam, maka mata percakapan apa pun yang mengemuka akan mengalami pengayaan memadai dari perspektif yang kadang tidak diduga-sangka.

Salah satunya, ihwal kolom kosong yang merupakan isu hangat pada pelaksanaan Pilkada serentak 27 Juni 2018. Sedikitnya ada tiga daerah yang dipastikan Pilkadanya hanya diikuti oleh satu pasangan calon: Bone, Enrekang, dan Makassar. Itu berarti masyarakat akan dihadapkan pada kolom kosong di kertas suara.

Seorang sesepuh melontar pendapat, "Kayaknya saya akan coblos kolom kosong ini, sensasinya! Saya penasaran dengan sensasi mencoblos kolom kosong, mencoblos gambar sudah terlalu mainstream." Ujarnya sambil terkekeh, aku ikut tergelak, meski sesungguhnya berpikir.

Seorang yang lain menimpali, "Wah menarik ini, setelah sekian lama memilih golput, kesempatan pertama ingin menggunakan hak suara, langsung mencoblos kolom kosong, hehehe..." Kembali aku tergelak, memang terasa sarkastisnya, dan aku masih berpikir.

Sampai akhirnya aku berkata, "Ini memang menarik, sebab kita toh tak punya ekspektasi berlebih atas semua calon. Siapapun yang terpilih dalam Pilkada, pemerintahan akan berjalan konvensional, maka mending kita mencoba yang berbeda, merasai sensasinya."

Setelah itu, pikiranku melanglang jauh hingga berpadu dengan ujaran seorang filosof Kroasia kontemporer. Seorang pemikir nyeleneh, yang pemikirannya dicurigai sekaligus dinanti, Slavoj Zizek. Dia pernah mendaku bahwa seorang subyek politik dikenali dari respon dia saat menghadapi momentum politik tertentu.

Orisinalitas respon non-reflektif yang diambil oleh seseorang terhadap momentum yang dihadapi, menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang politisi, yang diidentikkan sebagai pejuang kesejahteraan publik. Pun termasuk saat berhadapan dengan kertas suara yang berisi sepasang kandidat, berdampingan dengan kolom kosong.

Sesepuh tadi menunjukkan dengan gamblang perihal ini, dia merespon fenomena kolom kosong dengan cara yang berbeda, dan hebatnya, otentik. Dia berpihak ke kolom kosong bukan sebagai wujud balas dendam politik. Dia memilih dengan independen, pilihannya pada kotak kosong dilambari alasan yang dia rajut sendiri.

Sebagai seorang (mantan) aktivis, sesepuh tadi juga enggan ikut latah dengan argumen yang dikemukakan orang lain bahwa memilih tanda gambar kontestan adalah pilihan rasional untuk menjegal peluang kemenangan kolom kosong, dan itu bisa menghemat anggaran. 

Dengan meneguhkan pilihan berbasis alasan yang sepenuhnya ditentukan secara bebas dan merdeka, sesepuh tadi seakan mengamalkan ajaran Naomi Klein, bahwa "Demokrasi bukan hanya hak untuk memberi suara, melainkan juga hak untuk hidup layak dan terhormat."

Bahwa berpartisipasi dalam momentum pemilihan kepala daerah adalah sebentuk penghargaan atas hidup dan merupakan tindakan terhormat bagi seorang demokrat sejati. Bahwa pilihan dijatuhkan pada kolom kosong untuk sekadar merasai sensasinya di tengah tak adanya jaminan bahwa kondisi akan membaik bila dia memilih sebaliknya.

Ini menjawab kekhawatiran dramawan Jerman yanh kesohor, Bertolt Brecht akan menjamurnya political illiterate (tuna politik). Memilih kolom kosong tak identik dengan apatisme dan keputusasaan, ada perlawanan di sana. Bukan hanya melawan kandidat tunggal, tapi sebentuk protes atas prosedur demokrasi yang terlucuti substansinya.

Maka berkaca pada seloroh kawan tadi, aku lalu berkesimpulan bahwa orang yang memilih kolom kosong dalam pilkada bukanlah orang yang tuna politik, justru mereka adalah orang-orang yang punya kesadaran politik tinggi, namun muak dengan realitas politik yang kian absurd.

Tentu sebagai seorang Aparatur Sipil Negara aku tak akan mengumumkan pilihan dan mendeklarasikan dukungan politik. Aku hanya berharap, seperti asa Pj. Gubernur Sulsel beberapa waktu lalu, agar partisipasi politik warga bisa tinggi, terserah mereka pilih yang mana. Bagaimana dengan anda?

20 Ramadan 1429 H / 4 Juni 2018 M

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama