Dalam Pelukan Do(s)a


[10.01.2019] Pagi kusambut dengan tergesa, agar bisa tiba di kantor sebelum apel pagi digelar. Meski demikian, sepeda motor tetap kupacu dengan perlahan, aku bertetangga dengan sekolah, sepagi ini, pengantar siswa masih pada berkerumun di depan gerbang sekolah. Maka begitulah, meski tergesa, tetap tak ngebut.

Begitu gerbang sekolah kulalui, sebuah penggaduh menyambutku, laju motor yang memang pelan, kian kupelankan. Namun tunggu, bukan penggaduh itu yang membuat aku membuat lajuku melambat, bahkan hampir berhenti. Tak jauh dari penggaduh itu, kulihat seseorang berdiri di tepi jalan, sedang bercakap dengan penjual sayur yang berhenti tepat di depannya.

Kalian pernah mendengar atau menonton video yang sempat viral di intagram dan youtube beberapa pekan silam? Sebuah lagu berbahasa tutur Pelembang, dengan judul ‘Adek be jilbab ungu’. Video pintas yang memperdengarkan suara @prdd99_ menyanyikan syair yang ditulis oleh @imam._nahla itu, berdendang di memoriku saat melihat dia yang menawar sayur.

Meski aku melafalkan lagu @imam._nahla, perlu kuberitahukan kepada kalian, dia yang membuatku terhenti, tak berjilbab ungu. Dia mengenakan jilbab warna hijau tosca, oh jenis warna hijau kesukaanku, maka aku terpaku. Soal apel pagi, menjadi ingatan nomor kesekian dalam memori pagiku. Aku butuh waktu yang lebih luang untuk menikmati kibaran ujung jilbabnya yang dihembus lembut angin pagi.

Amboi, hatiku tertawan. Tanganku tak kuasa memutar gas. Motorku sedikit oleng sampai aku harus menopangnya dengan hentakan kaki yang sesungguhnya juga goyah. Bulu tengkukku meremang saat dia berbalik menatap sekilas ke arahku. Dia, perempuan berjilbab hijau tosca itu mengenakan niqab, masya Allah terlontar dari mulutku secara spontan.

Dia tinggi semampai, di punggungnya tersampir sebuah tas imut berwarna cokelat, sepadan dengan warna dalaman jilbab yang dikenakan, serta sepatu yang membalut kakinya. Sempat kulihat matanya berkedip lembut. Duh! Sehimpun rambut imut dengan nama Latin cilia yang memayungi teduh pandangnya seakan lambaian bagiku untuk menyelami misteri bola matanya.

Aku tergemap. Apa betul itu sebentuk ajakan, atau itu adalah peringatan agar aku menundukkan pandang? Atau ini jebakan? Perangkap rasa agar aku kian penasaran pada jilbabnya? Pada dia yang telah berusaha melindungi diri dari beragam pandang? Segera kutegur diriku: tahan pandanganmu hai lelaki, kalau kau simpati padanya, hormati dia dengan menundukkan pandanganmu!

Namun berat, sungguh! Sepasang bola mata itu, sebandung alis itu, selarap bulu mata itu, membetot urat leherku, enggan berpaling. Pandang dia, pelototi dia, apa yang kamu takutkan, toh dia sudah menutup rapi auratnya. Nikmati dia, keindahan Tuhan yang dihadiahkan untuk pagimu. Bisikan-bisakan itu memenuhi gendang telingaku, memancingku untuk menatapnya lekat.

Maka beginilah diriku kini. Saat motorku melintas pas di depannya, tak kuasa kutahan hasrat ini. Kupandang dia sekilas, hanya sekilas, kusapu dari jilbab hingga sepatu. Wah, ada keindahan yang luput dari mataku sedari tadi, handsock berwarna cokelat yang membalut hingga ke punggung tangannya, adalah keelokan unik nan sederhana. Oh Tuhan, ada apa denganku?

Kutarik nafas panjang, segera kuberlalu. Batinku teringat pada nasihat nabi yang mulia, Muhammad saw. kepada sepupu, sahabat, menantu, serta penghulu keluarganya, “Duhai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan yang berikutnya, sesungguhnya pandangan pertama (diampuni) bagimu, dan tidak dengan yang berikutnya.”

Sepanjang jalan menuju kantor, ingatanku perihal perempuan berniqab hijau tosca itu berkelindan dengan nasihat nabi. Aku menjadi sangsi dan bertanya-tanya, jangan sampai aku terjerembab ke dalam kategori pandangan berikutnya. Bukankah aku sudah memandangnya dua kali, tadi, meski sekilas. Namun mau bagaimana lagi, aku tak bisa mengendalikan diri untuk tak mengagumi ciptaanmu, Tuhan.

Bahkan saat aku menuliskan perihalnya saat ini, aku dilanda gelisah nan sangat. Bukankah larik-larik tulisan ini juga sebentuk pandangan atasnya? Ya Tuhan, aku terjerat dalam pelukan dosa, aku memang tak lagi memandangnya dengan mata kepalaku sejak pandangan kedua, tadi. Kini aku memandangnya dalam ingatan yang lalu kupatri dalam huruf dan kata.

Bahkan aku memandangnya pula dalam doa-doaku , kuharap dia bisa dibersamai oleh lelaki yang se-kufu dengannya, kumohon dia bisa istikamah dalam pilihan jalannya. Apakah aku terjerembab dalam pandangan berikutnya? Entahlah, tetapi bila dengan mengingatnya aku bisa mengingati dosaku padaMu lebih baik, Tuhan, biarlah. Semoga kesalahan ini bisa menjadi jalan menujuMu, melalui ampunanMu.

Foto meminjam dari BukaLapak.Com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama