Suara Lirih Anakku

[10.04.2019] Aku melangkah memasuki masjid, tepat ketika ikamah mulai dikumandangkan oleh Daeng Kulle, siak yang merangkap sebagai naib bila imam tetap berhalangan hadir memimpin salat berjamaah. Suaranya masih lantang, meski usia telah menggerus daya hidupnya. Sudah sepuluhan tahun sejak aku menetap di lingkungan ini, Daeng Kulle telah berperan sebagai siak.
Dengan tergesa aku menuju saf yang telah tersusun. Subuh itu, seperti subuh -subuh sebelumnya, hanya dua saf yang terbentuk. Berbeda bila salat jamaah magrib, jamaah terkadang tembus hingga tujuh saf, mungkin karena masjid ini terletak di jalur padat, banyak pengendara yang mampir. Rewa, anakku yang berusia delapan tahun, ikut berdiri di sisi kananku di saf kedua, sejurusan dengan imam. Memantaskan diri untuk segera bisa bertakbir, sesaar setelah imam memulai.
Tiba – tiba, seorang jamaah yang berdiri tepat di belakang imam, berbalik. Janggut tipis berwarna kelabu menghias dagunya, peci putih kerucut ala sufi, nangkring di atas kepalanya, menutupi rambutnya yang juga kelabu. Baju gamis putihnya, dan celana cingkrang hitam membalut tubuhnya. Dia kukenali sebagai jamaah hampir tiap salat akan berdiri di saf pertama, tepat di belakang imam. Ada apa gerangan?
Dengan suara serak yang khas, lelaki usia enampuluhan itu memecah konsentrasi jamaah, bahkan mungkin imam yang sudah bersiap mengangkat takbir, ikut terganggu. Dia menunjuk ke arah Rewa dan berujar,
“Anak – anak di belakang saja, biarkan saf depan diisi oleh orang dewasa, itu masih ada yang baru datang.”
Mengapa? Tanyaku, meski cuma dalam hati. Selama ini belum ada yang menegur bila aku membawa anak – anak ke masjid, kami juga telah komitmen bahwa dia tak akan bermain selama salat.
Tak ada tanggapan dari jamaah, semua tetap menjaga sikap jelang takbir. Aku juga diam, berusaha menahan diri untuk tak ikut berkomentar, meski seruannya ditujukan pada keberadaan anakku, Rewa di sampingku, di saf kedua. Merasa tak ditanggapi, sekali lagi, jamaah yang mengenakan peci putih kerucut ala sufi itu bersuara.
“Jangan putuskan saf dengan anak – anak. Ke belakang!” Perintahnya.
Dengan enggan, kulihat Rewa memilih mundur ke belakang, aku tak punya sela untuk menahannya, sebab pada saat yang sama, suara imam tetap masjid Jamiatul Khair, ustaz Irfan terdengar telah mengangkat takbir dengan lantang. Meski, terus terang, aku menjalani subuh itu tanpa khusyuk. Pikiranku berkecamuk, menjelajah hingga ke masa ketika Muhammad Sang Nabi menunda kebangkitannya dari sujud, sebab cucunya tercinta sementara menggelayut di punggungnya.
Masalah itu, tetap menjadi beban pikiranku sepanjang jalan menuju rumah, beberapa tetes bening tak berhasil kubendung di pelupuk. Sedih dan amarah bercampur aduk memikirkan sikap jamaah tadi terhadap anak – anak. Mengapa dia bisa sampai berpikir bahwa anak – anak adalah masalah bagi aktivitas ibadah di masjid? Bukankah anak – anak adalah calon orang dewasa yang akan mengisi masjid itu di suatu saat. Mengapa tak dibiasakan sejak dini?
Satu kesyukuran, subuh di hari berikutnya, Rewa tetap bersemangat ikut ke masjid. Namun mungkin karena mengingat teguran subuh kemarin, Rewa sudah enggan ngotot berdiri di sisiku di saf depan. Dia memilih berdiri di saf terakhir. Kulihat, jamaah yang mengenakan peci putih kerucut ala sufi itu tetap berada di posisinya, tepat di belakang imam. Saat ikamah dikumandangkan, dia sibuk ikut menata saf dengan mulutnya.
Melihat saf kedua masih lowong, terutama di bagian tengah, yang berada tepat di belakangnya, dia seperti bingung, sebab sayap kiri dan kanan sudah terlihat rapi. Sepertinya, jamaah yang hadir, enggan menempati bagian tengah, entah mengapa. Aku memilih kembali berdiri tepat di belakangnya, seperti subuh sebelumnya. Tiba – tiba dia bersuara,
“Jangan biarkan saf jamaah terputus, itu anak – anak maju ke sini.”
“Jangan putus saf, biarkan orang dewasa di depan, anak – anak di belakang saja!” Tanggapku spontan, menggunakan kata – katanya yang kemarin.
Kata – kata yang kulontarkan, membuat dia tersinggung, suasana menjadi agak gaduh. Banyak jamaah yang ikut berkomentar, suaranya ibarat bunyi segerombolan lebah. Bahkan, ustaz Irfan yang sudah siap mengangkat takbir, ikut berkomentar. Salat subuh tertunda sesaat. Beruntung, Daeng Sattu salah seorang jamaah yang dituakan mengingatkan para jamaah untuk melanjutkan salat terlebih dahulu, yang pasti, anak – anak tetap berada di saf terakhir, termasuk Rewa.
Alhasil, salat subuh ditegakkan dalam nuansa yang rikuh. Pada rakaat kedua, usai membaca al Fatihah, ustaz Irfan lanjut membaca surah at Taubah. Namun mungkin karena pengaruh suasana sebelum salat, hafalan ustaz Irfan kandas di tengah jalan.
“Wa ulaaika humul muflihuun”
Penggalan akhir ayat 88 telah dia ulang dua kali, berharap ada petunjuk dari jamaah berupa penggalan awal ayat 89.
Sayang, karena tak ada petunjuk, ustaz Irfan memanfaatkan kesempatan terakhir dengan mengulang penggalan akhir ayat 88 untuk ketiga kalinya. Lazimnya, bila telah tiga kali diulang dan imam belum juga mengingat lanjutan ayatnya, atau tak ada jamaah yang membantu mengingatkan, maka otomatis salat dilanjutkan ke ruku. Sepertinya ustaz Irfan sudah memutuskan untuk mengambil opsi ini.
Begitu ustaz Irfan usai membaca “Wa ulaaika humul muflihuun” untuk ketiga kalinya dan bersiap untuk ruku, tiba – tiba terdengar suara lirih dari arah jamaah, dari saf terakhir, saf yang lebih banyak diisi oleh anak – anak. Suara itu membaca ayat 89 surah at Taubah.
“A’addallaahu lahum jannaatin tajerii min tahtihal anhaaru khaalidiina fiihaa, dzaalikal fauuzul adhiim”
Lututku gemetar, dadaku bergetar, mataku berembun, aku terisak. Suara lirih itu begitu kukenal, suara dari Rewa, anakku.
Salat berlanjut, ustaz Irfan mengulang ayat 89, lalu melanjutkan membaca at Taubah hingga ayat terakhir. Salam kusambut dengan haru yang membuncah, aku langsung berbalik, memeluk tubuh mungil anakku. Tak peduli dengan pandangan jamaah yang entah memikirkan apa.
NB: Cerpen ini dimuat di Corong Informasi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama