Mana Nilai Kepemimpinanku Di SKP, Pak?


[22.01.2022Hari pertama masuk kantor di bulan Januari, kami langsung disodori dokumen Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil oleh Sub Bagian Kepegawaian untuk dikoreksi dan diajukan keberatan bila ada hal yang dianggap keliru, atau ditandatangani bila dirasa sudah tepat. Ini memang rutinitas seorang PNS setiap akhir yang menyeberang ke awal tahun. kami sering saling mencandai bahwa Penilaian Prestasi Kerja ini ibarat Buku Laporan Hasil Pendidikan bagi anak sekolah.

Sebagai pegawai baru yang masih berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), kulihat Sabur celingak – celinguk, mungkin mencari contekan tentang apa yang harus dilakukan terhadap Penilaian Prestasi Kerja itu. Aku yang sudah jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dua tahun lebih dahulu darinya, mendapatkan ide untuk mengerjai Sabur, hitung – hitung sebagai hiburan di awal tahun. setelah mendapat persetujuan dari teman – teman sesama pegawai di ruangan, aku mulai melancarkan aksiku.

Kudekati ia yang seperti orang bingung, namun juga malu bertanya secara langsung. Lalu kusodorkan ke hadapannya selembar dokumen Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil yang sudah selesai diproses, milik seorang pejabat struktural eselon IV. Dokumen itu tinggal menunggu dokumen lain untuk diajukan secara bersama ke atasan langsung pejabat penilai masing – masing.

“Pak Sabur, coba perhatikan di bagian belakang, apa bapak tidak merasa ada yang keliru di punya bapak?”  Lalu kutunjuklah bagian Unsur yang Dinilai pada poin b. Perilaku Kerja. Lekas dia bandingkan dengan miliknya, mulai dari poin Orientasi Pelayanan, Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan.

Saat tiba di poin Kepemimpinan, kulihat pupil mata Pak Sabur membesar, dalam hati aku membatin, “Nah, umpanku disambar.” Bolak – balik dia perhatikan miliknya dengan dokumen yang kusodorkan tadi. Setelah beberapa lama, dia tersenyum berseri, seperti menemukan hal yang janggal namun menyenangkan hati.

“Nah, ini dia. Kenapa saya tidak diberi nilai di poin kepemimpinan?” Tanyanya dengan nada gugatan

Kubiarkan dia gelisah beberapa jenak, sebelum akhirnya aku menanggapi ringan, namun provokatif.

“Sepertinya bapak ada masalah di mata Pak Kasubag sehingga poin itu tidak dia nilai.” Umpanku mengenai sasaran.

“Masalah apa? Saya merasa tak pernah membuatanya kecewa, juga tak pernah menolak perintahnya.” Suara Pak Sabur terasa sedikit bergetar, mungkin menahan emosi.

“Mana saya tahu, yang pasti, orang lain dinilai di poin kepemimpinan, tapi Pak Sabur, tidak. Maka tentu ada masalah.” Aku kembali menyiram bara yang baru menyala.

“Jadi?” TanyaPak Sabur yang kian penasaran.

“Pak Sabur sebaiknya menghadap dan menanyakan langsung ke Pak Kasubag.” Pesanku.

“Bisakah saya yang anak baru mengajukanprotes?”

“Tentu bisa, ini kantor egaliter kok.” Jawabku sekenanya.

Tanpa membuang –buang waktu, dengan langkah tegap, Pak Sabur menuju ruang Kasubag. Selang sepuluhan menit, pak Sabur belum juga keluar, ada apa gerangan, pikirku. jangan – jangan terjadi hal yang tidak diinginkan. Malah lalu Kasubagnya yang muncul dari ruangan dengan tersenyum simpul.

“Siapa lagi yang mengerjai Pak Sabur sehingga berani mengajukan gugatan?” Tanya Pak Kasubag. Saya pura – pura tak mengerti.

“Mengerjai bagaimana maksudnya, Pak?” Tanyaku balik sambil menahan tawa, teman – teman yang lain sudah pada membelakang sambil cekikikan.

“Itu, dia datang ke ruanganku dan meminta agar poin kepemimpinan di Penilaian Prestasi Kerja-nya, diberi nilai.” Terang Pak Kasubag.

“Hahahahaha… Jadi, bapak beri nilai?” Tanggapku, tawa sudah tak tertahan.

“Ya tidaklah, setengah mati saya jelaskan bahwa poin itu hanya untuk yang pejabat struktural. Tapi dia ngotot.” Terang Pak Kasubag.

“Jadi bagaimana, Pak?”

“Saya minta dia melihat Penilaian Prestasi Kerja kalian.” Pak Kasubag kembali ke ruangannya.

Tak lama, Pak Sabur muncul dengan senyum dikulum, entah apa di pikirannya.

“Aduh, bapak mengerjai saya lagi.” Serunya ke arahku. Kudatangi dia, kujabat tangannya, dan meminta maaf.

“Maaf Pak, tapi sebetulnya bapak justru dapat pahala di sini.” Ujarku membesarkan hatinya.

“Loh, kok bisa?” Tanya Pak Sabur dengan lugu. “Karena Pak Sabur telah menghibur kami semua, hahahaha…” Begitu tawaku menggema, seisi ruangan ikut terbahak, termasuk Pak Sabur.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama