Ode Untuk Rinai


Telah berbilang hari, kau begitu rajin mengetuk-ngetuk tingkap. Titismu yang berdahanam, ditingkahi melodi kesiur angin nan menderu. Lalu membasuh segala permukaan yang menyambutmu dengan tengadah.

Kuselisik bulirmu yang mengalir menyusur tepian kaca jendela. Selaksa soalan bergelayut di perdu hati. Perkara apa gerangan yang ingin kau bincangkan, dan pesan yang hendak engkau sampirkan?

Kubayangkan rinai-rinai yang kau ukir di reranting dan dedaunan, serupa rerangkai mantra yang mengundang gigil hingga ke tulang. Oh, inilah jampi pamungkas sejak zaman azali. Aji-aji yang tetap misterius hingga era kiwari.

Mungkin juga engkau adalah bait-bait syair dengan diksi-diksi elusif yang hanya mampu dimengerti oleh para perenung, atau para penenung? Betapa banyak jiwa yang terperangkap dalam aura mistis yang menguar dari aroma petrikor.

Jujur saja, telah lama kucoba meneroka tafsir atas hadirmu dalam rintik-rinaimu. Ingin kusingkap apa yang meringkuk di balik renai-renyaimu, bahkan pada percik dan tempias yang menampar-nampar ujung sepatuku di bawah payung berwarna pelangi.

Berdiri di jerambah nan lempang, berlindung di balik kain parasut yang terbentang oleh rangka metal seukuran lidi, aku sengaja berdiri menyambut titik-titikmu yang menerpa permukaan payung. Ingin kuterka hasratmu.

Aku yakin banyak kesaksian yang ingin kau ceritakan pada kami. Siklusmu telah membersamai bentala jauh sebelum Adam dan Hawa memijak benua, melintasi kala saat Ibrahim r.a. menyembelih anaknya, Musa r.a. meninggalkan Mesir, hingga Muhammad saw. menjejak tanah Palestina.

Tak hanya sebagai penyaksi, hadirmu membersamai lintasan sejarah telah begitu intens memengaruhi arah perjalanan nasib. Masih ingatkah kau, saat menjadi terup bagi Nuh, saat mendera kaumnya, bahkan anak dan istrinya?

Tapi juga tak terhitung periode zaman berkelindan dalam titis-titismu. Kau menjadi rahim yang hangat bagi mungkin milyaran bahkan trilyunan kenangan. Juga telah membelai lembut dan membasuh sulur hayat berbilang era.

Bahkan, novelis Turki, Mehmet Murat Ildan dengan anggun mendaku, “Matahari setelah hujan jauh lebih indah daripada matahari sebelum hujan.” Ini adalah kenyataan yang sulit dibantah. Betapa lirihnya kerling mentari, saat rinai masih menggantung di ujung dedaunan.

Beberapa hari terakhir, hadirmu disertai tanda tanya pada setiap bulirmu. Di benakku pun, soalan itu menari-nari dengan elok, mencari-cari jawab dengan gelisah. Mungkin sudah kondratnya hidup, penuh dengan tanya dan kegelisahan.

Apakah kau hadir sebagai pasukan Nuh yang bersiap memberi hukuman pada para pencoleng dan sampah peradaban, atau kau berhasrat menyubur dan menyabarkan kehidupan, serta memekar-makmurkan buana.

Aku meraba-raba makna hadirmu. Tapi apapun itu, aku percaya bahwa tak pernah hujan berarti negatif. Ibarat kelahiran yang senantiasa disertai darah, tangis, dan air mata. Demikian pun cara hujan menghadirkan kehidupan yang penuh rahmat.

Seperti ode yang selalu didendangkan dengan syahdu oleh dara Bugis di tanah Sidenreng,

Tenna bosi ri ulunna

Na lémpeq ri toddanna

Na maliq lebbaé

Penggal galigo yang menyeru-rayu, semoga hujan terus mendera, terutama di hulu. Agar air melimpah mengaliri hilir. Supaya seberinda derita, segala duka, segenap lara, sepenuh fadihat, sirna tersapu deraianmu.

Tayang juga di: BengkelNarasi.Com



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama