Surat Untuk Istriku Yang Belum Tentu Dia Baca


Aku ingat, 15 (lima belas) warsa silam, kujabat tangan penghulu yang menjadi wali hakim mewakili bapakmu. Ia membuhul kita dalam mitsaqan ghalidza. Kontrak suci, semacam toddoq yang mematenkan hubungan kita.

Hari itu bertarikh 6 Februari 2008, sehari setelah semesta kita riuh oleh kumandang hymne dan mars dalam gelaran Dies Natalis ke 60 HMI, organisasi kemahasiswaan yang menjadi ruang perjumpaan kita, doa-doa mengurapi kita sebagai mempelai. Engkau menjadi istri, lalu aku bergelar suami.

Rabu pagi itu, hujan mengguyur pesisir barat Sulawesi Selatan, membasuh sekujur lintasan Makassar hingga Takalar. Kilat menyambar, dedaunan beterbangan tertiup angin yang menggeliat. Penanda alam itu seakan menjadi pengingat bahwa hidup bukanlah perkara lempang semata.

Telah 5.475 hari kita lalui bersama (itu kalau kita sepakat bahwa setahun itu ada 365 hari), tapi itu belum cukup bagi kita untuk saling mengenal, silih melengkapi, dan baku menyempurnakan. Masih terlalu banyak sisi remang dari diri kita masing-masing yang menanti untuk dijelajahi, ceruk terdalam perasaan kita masih tetap misterius bahkan bagi diri sendiri.

Karena itu pula, di sepanjang lintasan waktu yang berbilang tahun itu, kita terlatih untuk saling memaafkan tanpa perlu diminta, terbiasa merasa tersinggung tanpa harus terluka, bahkan menjadikan itu sebagai bentuk perhatian yang malah membuat kita kian penasaran soal berapa dalam kita saling mengenal.

Kalau dipikir-pikir, kita ini bukan pasangan yang romantis, meski mungkin bagi sebagian orang yang melihat, akan berpandangan berbeda. Terlalu minim kata rayuan yang keluar dari bibir kita masing-masing, paling jauh, kita bertukar tangkap kerling di ujung mata, dan kita sudah bisa merasakan geletar di relung hati.

Di bilangan waktu yang sudah memasuki usia kehidupan remaja tanggung itu, berkali-kali rasa kita dipiuh untuk memahami kekurangan masing-masing, dan uniknya, kita tak juga saling memunggungi. Sebaliknya, kita kian bersemangat untuk menutupi kekurangan pasangan, dan menjadikan itu sebagai motivasi untuk saling melengkapi.

Hingga kini, kita masih juga menjadi keluarga yang tidak memiliki pembagian kerja dengan garis demarkasi yang tegas. Hanya beberapa aktivitas kodrati yang tak pernah dipertukarkan, bahwa hanya dirimu yang hamil, melahirkan, dan lalu menyusui. Selebihnya, semua dikerjakan melalui kesepakatan temporer berbasis kesempatan masing-masing.

Seingatku, kau tak pernah mengeluh bila sayur buatanku kekurangan garam, bahkan kau memujinya sebagai perpaduan rasa yang pas di lidah, lalu kau menyantapnya dengan lahap. Entah kau memuji karena memang demikian, atau untuk menghibur. Tapi pasti, kuyakin kau melakukan itu dengan ketulusan tak terperi untuk menyenangkanku, suamimu.

Pun sebaliknya, aku tak pernah mengeluh ikan goreng yang kau hidangkan agak kehitaman, dan rasanya jadi sedikit pekat. Tapi jujur aku memang menyukai ikan goreng yang sedikit hangus, bau sangit bisa mengalihkanku dari amisnya ikan yang kadang bikin enek. Pun dengan itu, aku menikmatinya seperti makan kerupuk. Garing.

Tapi aku menulis surat ini bukan untuk mengisahkan bahwa aku kadang memasak sayur dan bekerja di dapur. Bukan. Kata-kata dalam surat ini kugoreskan dan kuhampirkan padamu hanya untuk menyampaikan bahwa jangan ragu, aku takkan bosan padamu. Terlalu banyak hal-hal baru dan menarik yang kutemukan sepanjang kebersamaan kita.

Aku yakin masih terlalu banyak hal yang akan membuatku tetap, dan bahkan makin cinta padamu. Engkau semesta bahagiaku, meluap-luap dan tak pernah berujung.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama