Renungan di Tribun Selatan Lapangan Makkatang Daeng Sibali


[25.07.2021] Pagi menjangkau pukul 06.57 wita saat kakiku mengijak pelataran alun-alun kebanggaan masyarakat Takalar, Lapangan Makkatang Daeng Sibali. Mentari sedari tadi sudah mencumbu buliran embun di ujung rerumputan sebagian besar area lapangan, sebagian lagi masih terlindung bayangan atap tribun utama si sisi timur.

 

Jogging track sepanjang 480 meter dengan luas sekira 3 meter yang mengitari lapangan, telah sesak dengan warga yang datang, ada yang berjalan ringan, ada yang berlari, ada juga yang sekadar mencari spot berswafoto, bahkan ada yang menyempatkan diri bergoyang mengikuti musik dari gawai sambil merekam diri untuk di unggah ke tik tok.

 

Ada ratusan warga yang berputar, selain di jogging track, mereka yang lebih serius berolahraga memilih berlari atau bersepeda melintas di jalan raya yang mengitari area alun-alun. Sementara aku, memilih berjalan cepat di dalam area lapangan sepak bola, tanpa alas kaki, untuk merasai sensasi butir-butir embun yang perlahan manguap tersaput sinar mentari.

 

Selain untuk memanjakan kaki, pula untuk memuaskan paru-paru dengan asupan oksigen yang bisa kuhirup dalam-dalam tanpa halangan masker. Memang tak ada yang memilih berjalan atau berlari di lapangan, mungkin takut kotor. Aku bebas melepas maker karena jarak putaranku dengan jogging track yang sesak itu, sekira 10 meter lebih. Sebuah anugrah pagi yang luar biasa.

 

Dengan bantuan aplikasi pedometer di gawai, tercatat aku berjalan selama 53 menit, memungkas 6455 langkah, melipat 4,32 kilometer, dan membakar kalori sebesar 196,9 kcal. Lumayan, membuat badan mandi keringat dan cahaya pagi yang hangat. Jumlah capaian yang menjadi rata-rata capaian harianku. Baik berjalan langsung, atau memanfaatkan fasilitas threadmill apabila hujan menyapa pagi.

 

Setelah merasa cukup, aku memilih melipir ke tribun selatan, melakukan peregangan. Aku memilih sebelah selatan sebab di sini terpapar sinar, sementara tribun di sisi Utara dan tribun utama di sisi timur, terlindung. Lapangan ini tak memiliki tribun di sebelah barat, entah apa alasannya. Mungkin karena di sisi barat selalu digunakan untuk menjadi tempat imam dan khatib bila salat Ied digelar di lapangan ini saban tahun.

 

Sambil meregangkan otot, jemariku lincah berselancar di papan ketik gawai lawasku, mencatatkan serpih refleksi yang melintas bak kilat di ingatanku. Semua kulakukan karena khawatir lintasan pengetahuan serupa cahaya penerang bagi gelapnya kebodohan itu, menguap entah kemana, meninggalkanku tanpa jejak dalam belukar kepandiran. Bukankah menulis juga adalah sunnah yang agung?

 

Syahdan rasul mulia, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, pernah bersabda

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya

 

Tak berhenti di situ, beliau bahkan menunjuk salah seorang sahabat menjadi juru tulisnya. Muhammad memerintah Abdullah bin ‘Amru

اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran.

Aku mengamati ratusan warga yang tawaf mengelilingi lapangan Makkatang pagi ini, aku melihat hasrat eksistensial yang melandasi mereka bergerak. Bila Rene Descartes pernah bersabda bahwa “Aku Ada Karena Aku Berpikir (Cogito Ergo Sum)”, Emanuel Levinas memfatwakan “Aku Ada Karena Aku Bertanggungjawab (Respondeo Ergo Sum)”, maka mereka ini digerakkan prinsip “Aku Ada Karena Aku Eksis di Lapangan”.

Faktanya, lebih banyak yang hanya datang untuk berjumpa dengan kawan, bersua dengan sahabat, atau hanya demi kebutuhan live di laman facebook, intagram, bahkan tik tok. Emak-emak paruh baya, sibuk mematut-matut diri di tribun utara untuk menemukan pose yang pas di depan kamera gawai yang dibidik oleh sekondannya. Dengarlah percakapannya:

 

“Tenapa nusimpangngi? (Belum kamu simpan?)” Tanya yang sibuk bergaya.

“Belumpi, ulangi dulu, yang tadi silau,” jawab yang memegang gawai.

Belum lagi remaja tanggung yang memanfaatkan beberapa kursi taman di sisi barat untuk melampiaskan ekspresi cinta monyetnya, mereka ‘menyet’ dengan malu malu. Simaklah:

“Buat apa kita ajakka’ bertemu di sini?” Tanya si gadis yang duduk di kursi taman, tertunduk malu, jemarinya mengaduk-aduk rerumputan yang berembun.

“Tidakji, agar kita bisa olah raga sama-sama,” jawab si jejaka tak kalah grogi, pura-pura berjalan mondar mandir meregangkan badan di depan kursi taman.

“Jadi, kita mau lari-lari, jalan beriringan, atau mau traktirka’ minum jus?” Si gadis makin tersipu. Eeaaaa….

Yang betul-betul serius berolahraga hanya mereka yang sudah bangkotan, bapak-bapak sekira umur 50an ke atas. Lalu bila ditilik dengan pola gerakan yang mereka praktikkan, bisa dipastikan, mereka-mereka yang telah mendapat saran dari dokter untuk lebih banyak bergerak untuk mengantisipasi intaian penyakit jantung, darah tinggi, diabetes, atau gejala stroke.

Lihatlah, betapa kita semua yang hadir, memanfaatkan momentum pagi ini untuk menjaga eksistensi dan keberadaan kita sebagai manusia, sedangkal apapun modus eksistensial yang melandasi. Bahkan, ada juga beberapa pejabat publik yang nampak hadir, mungkin menjalani rutinitas pagi sebagai sesuatu yang telah digariskan oleh protokoler.

Dalam tilikan Martin Heidegger, polah tingkah sebagian besar warga yang berpendar di alun-alun pagi ini tak lebih hanya berpijak pada modus ‘adaan’, belum menjangkau ke dasar eksistensial ‘Ada’. Eksistensi yang menyeruak tak lebih dari sekadar memenuhi kewajiban rutin.

Bahwa remaja tanggung, harus bisa ‘menyet’ sebagai bentuk pembuktian eksistensial di hadapan generasinya. Emak-emak tanggung menunjukkan bahwa mereka juga rajin jogging pada group WA arisan kompleksnya, pun bapak-bapak bangkotan menunjukkan bahwa mereka bisa bertahan di tengah kondisi kesehatan yang rentan.

 

Maka aku pun bekerja dalam logika yang sama, aku menuliskan apa yang kugiatkan pagi ini sebagai bentuk pembuktian eksistensial, bahwa aku ada. Tapi yang mungkin berbeda adalah, bahwa aku membuktikan eksistensi, menunjukkan kehadiranku, dengan pembuktian yang kukuh, buhul yang kuat, bahkan akan mengabadi: menulis. Bukankah Pramoedya Ananta Toer menegaskan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian?

Pun, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya, Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat

 

Maka tulisan ini kupahatkan di dinding keabadian, sebagai pembuktian bahwa aku pernah Ada, bukan sekadar mengada. Dalam perspektif filosofi Bugis, aku mencoba menjadi Tau, bukan sekadar bagian dari kerumunan rupa tau, bukan pula hanya tau-tau dan pajo-pajo.


Tulisan ini pernah tayang di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama