Resensi: Perempuan-Perempuan Tangguh Di Cerita-Cerita Anggun


Saat menimang buah karya Anggun Safitri ini kali pertama, lalu sekilas melihat judul yang dipilih, ‘Dipeluk Angin’, terlintas gambaran kisah mendayu-dayu, penuh drama cengeng, serta cerita yang akan menguras air mata pembaca serupa menonton drama Korea atau film-film Hollywood.

Apalagi ditambah blurb yang mengutip, ‘Cinta kadang datang di waktu yang tidak tepat. Kadang datang pada orang yang salah‘, makin sempurnalah gambaran itu. Bahwa buku ini akan mengumbar romantisme berbalut religiusitas, atau gombalan maut remaja yang lagi bucin.

Tapi setelah membuka lembaran-lembaran isi, dan membaca beragam lakon yang tersaji, gambaran itu buyar berkeping-keping, kenyataan begitu berbeda dari ekspektasi. Benarlah kata pemeo, ‘Don’t Judge A Book By Its Cover‘. Ya, jangan langsung menghakimi kualitas sebuah buku dengan hanya melihat sampulnya.

Gambar siluet wanita dengan lanskap pantai yang temaram, kepakan sayap camar di langit yang berawan, lambaian dedaunan yang disamarkan, dengan dominasi warna kelabu, tak selalu menandakan bahwa situasi benar-benar muram. Di sana justru tersimpan misteri terdalam gejolak jiwa yang kadang tak tertebak.

Dalam cerita ‘Dipeluk Angin’ yang lalu dipilih menjadi tajuk kumpulan ini, Anggun berhasil menghadirkan seorang perempuan tangguh dan tak ragu mengambil keputusan terkait dengan akhir hidupnya. Ia akhirnya memilih membiarkan tubuhnya dipeluk angin dan raganya didekap arus demi merengkuh kesendirian dan kesepian.

Perempuan itu seperti takluk dalam upaya mempertahankan rumahtangganya yang dimulai sejak dini, mengakhiri kebersamaan dengan sang suami, tapi enggan menerima uluran tangan lelaki lain yang menjanjikan cinta nan meruah. Sebuah liku hidup yang tak datar.

Sebagai penulis cum aktivis perempuan, Anggun berhasil mengungkap secara gamblang sudut pandang perempuan merdeka dalam tokoh-tokohnya. Tengoklah pemberontakan Alia (Alia dan Bayangan yang Mengikutinya) yang lebih memilih kebebasan di sekolah daripada terkekang di rumah, meski akhirnya di sekolah pula yang merenggut itu darinya.

Atau perlawanan Lisa (Bebas) pada Rian -suaminya, bapak dari kedua anaknya, digambarkan dengan gamblang, bahkan begitu berani menggenggam pisau dapur sebagai persiapan bila suaminya mencegah pilihannya untuk meninggalkan rumah.

Longok pula keberanian Karin (Jam Tangan Merah Muda) merengkuh getirnya hidup dengan mencintai dan menerima cinta dari lelaki beristri dan punya anak. Mengenai hal ini, Karin berucap lirih, “Ia tetaplah milik istri dan anak-anaknya yang setia menunggunya pulang setiap senja.”

Serta ketegasan Rina (Pernikahan yang Batal) menganulir pernikahannya dengan seorang lelaki yang mencarinya kemana-mana, demi menunjukkan keberpihakan pada kakeknya, seorang lelaki tua yang diterungku berbilang tahun tanpa pernah tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya.

Demikian pula dengan tokoh perempuan lain yang dikisahkan Anggun dalam ke delapan belas cerita dalam kumpulan ini, didominasi oleh karakter perempuan yang berani bersikap cadas, keluar dari pakem gambaran perempuan baik-baik, penurut, dan mungkin salehah.

Sayang, berbilang cerita yang dibabar Anggun akan membuat pembaca yang begitu mencintai kehidupan yang harmonis, keluarga yang bahagia, jalan hidup yang happy ending, akan kecewa dan meradang. Kehidupan tokoh-tokohnya selalu diposisikan pada titik nadir kegelisahan dan derita yang tak biasa.

Alia yang begitu menyukai sekolah, malah dilemparkan ke peristiwa silam yang hendak dilupakannya, kisah yang mengorek trauma di jiwa mudanya. Trauma yang lalu membuatnya linglung dan bahkan merenggut nafas terakhirnya.

Lisa memilih mengakhiri rumah tangga yang telah memberinya dua orang anak, Karin yang bersetia hanya menjadi perempuan pilihan lain daripada merusak rumah tangga lelakinya, serta Rina yang memilih menolak lelaki yang begitu mendambakannya menjadi istri.

Alih-alih menyenangkan hati pembaca cibi-cibi, Anggun memilih untuk mewartakan, melalui cerita-cerita gubahannya, kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi perempuan dalam hidup. Kejadian yang selalu berusaha dihindari, bahkan dalam kisah sekalipun.

Anggun memberi mulut untuk bersuara pada perempuan yang selama ini dibisukan oleh peradaban lelaki nan ‘baik-baik saja’. Anggun menerabas jalan bagi keluarnya kegelisahan, meski ia tak memberi pilihan jalan keluar, semua dibiarkan mengalir entah menuju ke mana.

Itu menunjukkan bahwa penulis kelahiran Banggai 4 Mei 1992 ini, tak berkehendak mendikte pembacanya, bahkan terlihat enggan mengarahkan tokoh-tokoh rekaannya. Pembebasan bagi perempuan yang diberikan oleh Anggun pada tokoh-tokohnya, begitu total.

Atau bisa juga, tokoh-tokoh itu merupakan altar ego seorang Anggun. Seorang perempuan yang berhasrat tinggi pada kesendirian dan kesepian. Seperti narasi ini, “Semua berakhir. Aku kembali sendiri dan sepi“. Apa benar demikian? Hanya Anggun yang bisa menjawabnya, dan tentu saja, kita para pembaca bebas mempertanyakannya.

Judul: Dipeluk Angin | Penulis: Anggun Safitri | Penerbit: CV. Cleopatra Mandiri | Cetakan: Pertama, Desember 2020 | Jumlah Halaman: 179 | ISBN : 9-786236-016374

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama