Perilaku Koruptif Di Hari Raya


[04.05.2022] Ramadan telah berlalu, Idulfitri pun sudah diriuhkan dengan ibadah, silaturahmi, berbagai penganan, juga pakaian baru. Saatnya merefleksi berbagai lampah yang mungkin tersilap dan berlaku lajak.

Salah satu tindak yang menarik dicermati adalah kebiasaan untuk mengaveling posisi salat Idulfitri. Laku ini dilakonkan terutama oleh jemaah perempuan.

Sejak subuh, sajadah mereka telah terhampar rapi di sepanjang saf salat. Meski yang datang salat subuh berjemaah hanya segelintir orang, tetapi sajadah yang terhampar bisa seantero masjid.

Tak jarang, kegaliban ini difasilitasi oleh pengurus masjid, atau panitia perayaan hari Idulfitri, entah karena ada imbalan tertentu, kedekatan darah, atau tekanan akibat status sosial yang berbeda.

Tentu saja, niatan untuk melaksanakan ibadah salat Idulfitri di saf depan adalah hal yang baik dan dianjurkan, patut diapresiasi secara positif. Ini menandakan bahwa jemaah menyadari pentingnya berlomba dalam kebaikan.

Namun, masalah lalu timbul, saat jemaah telah bergegas dan berbondong-bondong ke masjid, tapi mereka hanya bisa bertumpuk dan melongo di pintu masjid, atau paling banter dapat posisi di emperan.

Mereka hendak bergegas saf depan, lalu merasa serba salah. Sebab dengan nyata kelihatan bahwa masjid masih melompong, tapi sajadah yang tanpa kehadiran pemiliknya itu, telah berbaris rapi memenuhi saf dan posisi strategis.

Sialnya, saat ada jemaah yang beriniaiatif mengisi saf di depan yang masih kosong, meski bertabur sajadah itu, bisa memicu keributan antar jemaah. Pemilik sajadah yang tergurus akan protes karena tempatnya dirampas.

Dalam situasi dilematis sedemikian, pengurus masjid yang harusnya hadir sebagai fasilitator pelaksanaan ibadah, sekaligus eksekutor bagi berbagai persoalan antar jemaah, memilih untuk tak menampakkan diri.

Maka pilihannya adalah, bergerombol di depan pintu masuk, menyaksikan para pelaku pengavelingan posisi di saf depan, melangkah masuk dengan jemawa sambil memamerkan senyum penuh kepalsuan.

Tanpa merasa bersalah dan menyesal, mereka lngsung duduk di saf depan, meski mereka datang terlambat. Sambil sesekali membetulkan letak ‘talilling‘ yang memperlihatkan cuping telinga berhias giwang emas yang besarnya nauzubillah.

Sesekali, mengayunkan kipas di tangan, bukan untuk menghalau gerah di ruang berpendingin, tapi lebih untuk memamerkan setumpuk gelang emas yang gemerincing setiap kali lengannya terayun.

Repotnya memang, sebab fenomena menjamurnya sajadah yang tanpa tuan itu, tak lepas dari andil mereka, para pengurus masjid itu, dalam konspirasi mengaveling posisi. Sebuah keajaiban, bukan?

Bisa dibayangkan, betapa mereka, pengurus masjid itu, yang dipercaya mengurus dan memfasilitasi perkara akhirat dari umat, berlaku curang dan terlibat dalam permufakatan lancung.

Pun tingkah para jemaah yang memasang sajadah tanpa tuan itu, adalah ekspresi dari hasrat kuasa dan egoisme yang belum berhasil dikikis oleh proses ‘pembakaran’ diri di bulan Ramadan.

Saat Ramadan, jiwa kita ditempa untuk mengedepankan ikhlas dalam ibadah dan menomorsatukan pandangan serta penilaian Tuhan semata atas segala ketaatan.

Begitu 1 Syawal tiba, alih-alih bersuka karena keberhasilan menjangkau fitrah, kita malah sibuk dengan pencitraan diri dan ketaatan artifisial seperti salat Idulfitri di saf depan, demi pandangan indah di mata sesama.

Semua itu merepresentasikan betapa perilaku koruptif tak hanya menggerogoti proses penyelenggaraan negara, manajemen pemerintahan, dan kebijakan publik.

Aksi manipulatif ini juga merambah ke ranah yang lebih privat, hubungan pribadi seorang manusia dengan Tuhannya. Manipulasi yang dilakukan sambil main mata dengan pengurus masjid, pihak yang seharusnya menegakkan keadilan bagi para jemaah.

Lalu apa yang tersisa dari sebulan penuh ibadah siam itu ditunaikan? Tak lebih dari ritus lapar dan dahaga tahunan. Lebih dari itu, saum pun hilang tak berjejak, terlibas oleh mesin hasrat untuk pamer ketaatan palsu.

Selamat jalan Ramadan. Izinkan kami melupakanmu, sambil berpura-pura merindu dan terus menanti kedatanganmu di tahun mendatang, untuk sekadar menjadi altar ego mesin hawa nafsu kami yang menggelegak.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama