Budaya Anti Korupsi di Birokrasi

[13.09.2008] Hampir tiap hari kita disuguhi dengan pemberitaan tentang perilaku korupsi, baik yang dilakukan oleh kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sendiri.Sepertinya korupsi telah menjadi kebiasan hidup sehari-hari oleh mereka yang memiliki kekuasaan, bahkan mungkin korupsi telah menjadi budaya. Yang lucunya lagi, ketika melakukan ibadah mereka ogah-ogahan bahkan terkesan enggan untuk berjemaah, namun bila tiba giliran korupsi, mereka berjemaah.

Seiring dengan pemberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian dipertegas dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi dari penerapan Otonomi Daerah, maka kesempatan untuk melakukan korupsi pun menjadi kian besar karena bertambahnya kekuasaan dan besarnya dana yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, tidak bermoral dan penyimpangan. Bahkan secara formal hukum perundang-undangan, korupsi disebut sebagai TIndak Pidana Korupsi.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi adalah perbuatan setiap orang, baik pemerintahan maupun swasta, yang secara melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur yang menyusun perilaku pidana korupsi ini, yaitu (1) adanya pelaku, yang bisa berasal dari kalangan pejabat/pegawai pemerintahan, pengusaha, profesional maupun korporasi bahkan sampai kepada politisi,

(2) adanya perbuatan yang bertentangan dengan produk hukum, norma, maupun etika, (3) adanya unsur merugikan keuangan negara atau masyarakat baik secara langsung maupun tidak, (4) adanya tujuan untuk menguntungkan diri sendiri/keluarga/kelompok atau golongan,

dan terakhir (5) bersifat tersembunyi (clandestine), motifnya berubah-ubah dan dimanipulasi menjadi seolah-olah legal dan tidak ada masalah.

Korupsi dan Indonesia 2020

Efek dari tindak pidana korupsi bagi kehidupan sosial, akan mengakibatkan rusaknya tatanan masyarakat karena mengakibatkan kerugian pada sektor ekonomi, administrasi, politik maupun hukum.

Ini juga akan memicu munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pihak penyelenggara pemerintahan dan tentunya ini kontraproduktif bagi pembangunan.

Bahkan lebih jauh lagi, tindakan korupsi mengancam terhambatnya pencapaian pelaksanaan Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 yang berisi tentang visi Indonesia 2020 yang berbunyi "…terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara".

Di sini terlihat bahwa visi Indonesia adalah terwujudnya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun ke depan dan untuk mencapai itu diperlukan terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik dan bersih atau sesuai dengan konsepsi good governance.

Secara detail dalam Bab IV butir 9 Tap MPR No. VII/MPR/2001 diulas tentang karakteristik penyelenggaraan negara yang baik dan bersih, yaitu :

(1) Terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas KKN, (2) Terbentuknya penyelenggaraan negara yang peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara, dan (3) Berkembangnya transparansi dalam budaya dan perilaku serta aktivitas politik dan pemerintahan.

Untuk mewujudkan ini maka dibutuhkan proses transformasi budaya, perilaku politik dan pemerintahan yang disertai dengan pembangunan etika kehidupan berbangsa, termasuk etika pemerintahan.

Di samping itu harus ada komitmen reformasi di segala bidang dalam upaya mewujudkan good governance. Juga perlu didorong proses reformasi struktur dan mekanisme ketatanegaraan untuk mendukung terwujudnya karakteristik dan prinsip good governance.

Pemerintah tidak pernah main-main dalam melakukan pemberantasan terhadap Tindak Pidana Korupsi, tekad bulat pemerintah dalam melakukan reformasi penyelenggaraan negara yang bebas KKN dibuktikan dengan adanya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Dalam konteks pemerintah daerah, upaya ini dapat dilakukan dengan optimal oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Lebih jauh dalam konteks daerah otonomi Pasal 58 ayat (1) UU No. 01 Tahun 2004 memberi jaminan bahwa Gubernur, Bupati dan atau Walikota dapat mengatur lebih lanjut tentang keuangan daerah dengan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Ini berarti bahwa Gubernur, Bupati dan atau Walikota harus melaksanakan pengendalian internal dalam bentuk pengawasan untuk mencegah praktik KKN.

Fungsi pengawasan dalam manajemen organisasi pemerintah daerah ini dilaksanakan oleh auditor intern yang dikenal dengan nama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang terhimpun di dalam Inspektorat (atau Badan Pengawasan Daerah) baik di level provinsi maupun kabupaten kota.

Inspektoratlah yang kemudian mejadi ujung tombak dalam memerangi korupsi baik dari strategi preventif, investigatif maupun edukatif sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 74 Tahun 2001 maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Bila fungsi pengawasan dapat dijalankan denga baik maka budaya nati korupsi bukan lagi sekedar mimpi.

Budaya Anti Korupsi
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar utama bagi terbangunnya budaya anti korupsi dalam sebuah masyarakat, yaitu : (1) Legal infrastructure & enforcement, ini berarti dibutuhkan adanya perangkat aturan hukum dan perundang-undangan serta penegakannya,

(2) Regulatory environment atau lingkungan, budaya dan ketaatan terhadap aturan hukum dan perundang-undangan, dan (3) Informational infrastructure atau perangkat ketersediaan informasi pada publik.

Dalam konteks ini, Inspektorat dapat mendorong beberapa elemen budaya anti korupsi ini untuk diwujudkan baik di tingkat pemerintah, baik untuk jajaran legislatif ataupun eksekutif. Pada jajaran legislatif,

Inspektorat dapat memfasilitasi adanya klausul kontrak sosial antara anggota legislatif dengan anggota masyarakat sebelum mereka melakukan tugas. Sementara itu, untuk kalangan eksekutif, dapat diajukan pakta integritas sebagai bentuk komitmen atas kejujuran dan integritas para eksekutif.

Lebih jauh pihak insepektorat juga dapat secara proaktif mendorong mendorong implementasi dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).

Pelaksanaan SAKIP dan ABK ini merupakan bentuk pertanggungjawaban publik pemerintah kepada masyarakat yang akan berimplikasi pada peningkatan kinerja pemerintah dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Di samping membangun budaya anti korupsi pada jajaran pemerintah, penting juga bagi inspektorat untuk membangun budaya ini di tengah-tengah publik dengan melakukan penyuluhan ke masyarakat tentang hal–hal yang terkait dengan korupsi.

Dengan pemahaman yang komprehensif tentang korupsi, diharapkan masyarakat akan mencegah bahkan melaporkan praktik-praktik KKN yang ditemukannya.

Sementara itu bagi inspektorat, budaya anti korupsi bisa diwujudkan degan berperan sebagai pihak yang menindaklanjuti secara progresif pengaduan masyarakat terkait dengan pelanggaran terhahap kontrak sosial dan pakta integritas maupun praktik KKN lain yang mereka temukan.

Namun yang lebih penting lagi, Inspektorat dapat menjadi instansi percontohan sebagai instansi yang bebas KKN. Indonesia Bisa!


Tulisan ini pernah dimuat di harian Fajar pada tanggal 02 September 2008. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama