[07.03.2009] Dua hari bertutut-turut, Jumat-Sabtu (27-28/2) ruang pembaca harian ini disuguhi oleh opini dari dua penulis yang berbeda, namun dengan semangat yang sama: legalisasi syariah. Aroma hasrat dari kedua penulis untuk mendorong agar pemilu 2009 bisa menjadi ajang bagi didorongnya ideologi dan syariat Islam ke dalam sistem hukum dan perundang-undangan negara sangat kental tercium.
Tulisan pertama merupakan buah karya saudara Adi Wijaya dengan judul Politisi Islam Sejati di Pemilu 2009, sedangkan tulisan kedua digoreskan oleh Moh Rahmani dengan berjudul Syariat Islam Tak Terdengung dalam Pemilu 2009. Meskipun kedua tulisan berbeda judul, tapi arah keduanya tidak jauh berbeda, mengarah ke sektarianisme politik.
Adi Wijaya sebagai Koordinator Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus Makassar menyorot peran politisi Islam, sedangkan Moh Rahmani yang mengaku sebagai aktivis HTI Chapter Unhas mengupas partai Islam. Namun ujung-ujungnya mereka berdua mengharap agar politisi dan partai Islam yang bertarung dalam Pemilu 2009 agar memperjuangkan ideologi dan menegakkan syariat Islam sampai pada taraf legalisasi.
Adi Wijaya dalam tulisannya mengungkapkan pesimismenya terhadap para politisi Islam yang ikut bertarung memperebutkan kursi parlemen dalam Pemilu 2009 mendatang. Bagi Adi, mereka hanyalah politisi instan, padahal yang dibutuhkan adalah politisi ideologis karena hanya merekalah yang mampu mengawal perubahan. Politisi ideologis ini kemudian dinamai Politisi Islam Sejati oleh Adi.
Politisi Islam Sejati menurut Adi, mempunyai beberapa ciri khas, di antaranya adalah selalu konsisten memperjuangkan Islam sebagai ideologi. Ciri yang lain adalah memperkuat edukasi umat tentang pentingnya penerapan syariat Islam mulai dari aspek individu, masyarakat, bahkan sampai dengan legalisasi syariat Islam dalam perundang-undangan negara.
Dari sini terlihat bagaimana Adi Wijaya berusaha mendorong pemahaman bahwa Politisi Islam Sejati hanyalah mereka yang menjadikan penegakan syariat Islam melalui legislasi negaraah yang pantas disebut sebagai politis Islam sejati. Sehingga bila ada seorang politisi beragama Islam yang hanya mendorong isu kesejahteraan atau pemerintahan yang bersih sebagai tagline kampanye, belum pantas disebut Politisi Islam Sejati.
Tulisan Moh Rahmani juga tidak terlalu jauh berbeda. Rahmani mengungkapkan kekecewaannya, namun berbeda dengan Adi Wijaya yang pesimis terhadap politisi Islam, Rahmani kecewa terhadap partai Islam yang tidak mendengungkan syariat Islam sebagai isu utama. Sehingga melalui tulisannya, Rahmani menyerukan agar partai Islam menjadikan penegakan syariah sebagai wacana utama dan mendorong agar ideologi Islam ditawarkan sebagai alternatif ideologi bagi Indonesia.
Hal ini karena bagi Rahmani, hanya ideologi Islamlah yang bisa menyelesaikan semua problem kehidupan yang dihadapi bangsa ini dalam segala aspek kehidupan. Dalam tulisannya, Rahmani sampai bertanya, "apakah ada partai yang yang mampu memberikan solusi dengan tawaran ideologi yang menyehatkan setiap aspek masyarakat tadi?"
Menjadi Bermasalah
Bahkan Rahmani mengharuskan agar gaung syariat Islam bisa terdengar sampai ke telinga setiap angggota masyarakat bahwa syariat merupakan tawaran perubahan akan sebuah kehidupan yang lebih baik kepada masyarakat. Tugas untuk menggaungkan syariat ini merupakan tugas yang seharusnya di emban oleh partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu 2009.
Di akhir tulisannya, Rahmani melontarkan tanya yang penuh harap, "Akankah syariat Islam mewarnai baliho-baliho partai-partai sebagai tawaran perubahan yang dijanjikan". Harapan Rahmani ini makin mempertegas sikap politiknya bahwa syariat Islam sebagai tawaran perubahan harus diperjuangkan melalui jalur parlemen agar dapat mengalami formalisasi yang dihadirkan melalui legislasi negara.
Harapan Adi Wijaya dan Moh Rahmani yang disampaikannya melalui tulisan tentang kelebihan ideologi Islam serta perlunya implementasi syariat Islam di tengah-tengah umat adalah hal yang sah-sah saja. Namun hal ini menjadi bermasalah, bisa harapan tersebut ingin dilaksanakan melalui legislasi perundang-undangan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini.
Apa yang diharapkan mereka berdua untuk diperjuangkan oleh politisi dan partai Islam ini merepresentasikan sebuah upaya untuk membangun sektarianisme dalam politik.
Inilah sebuah sikap politik yang memanfaatkan arena politik yang demokratis untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan menuntut agar kepentingan kelompoknya tersebut diperjuangkan untuk diakomodasi dalam produk hukum yang berlaku umum.
Sungguh sangat disayangkan sikap ini masih muncul dalam pikiran para aktivis muda Islam, padahal sikap seperti ini sudah ditinggalkan oleh para pendahulu kita yang menjadi founding father bangsa ini.
Dengan ikhlas mereka rela menerima penghapusan tujuh kata (Ketuhanan dengan penegakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dari Piagam Jakarta yang kemudian menjelma menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" dalam Pembukaan UUD 1945.
Justru bila para politisi Islam maupun partai Islam menjadikan syariat Islam menjadi "jualan" kampanye, maka hal ini sangat berbahaya bagi kesucian agama, jangan sampai agama menjadi komoditas politik.
Alangkah bijaknya bila para politisi Muslim tetap berpegang pada sikap untuk memperjuangkan nilai-nilai universal kemanusiaan dan kehidupan yang bersumber dari ajaran Islam ketimbang memperjuangkan syariat dan ideologi Islam secara formal.
Apalagi penegakan syariat secara formal melalui legislasi yang dihasilkan oleh legislatif dan pemerintah cenderung bertentangan dengan praktik historis Islam yang pernah dicontohkan oleh rasulullah Muhammad Saw di Madinah. Beliau tidak pernah melakukan formalisme syariat sebagaimana yang diinginkan oleh Adi Wijaya dan Moh. Rahmani.
Ancaman Berdemokrasi
Dengan berpegang pada semangat dasar Islam sebagai rahmatan lil alamin, Rasulullah memerintah Madinah yang berpenduduk plural dengan berpedoman pada Piagam Madinah yang di dalamnya tidak sedikitpun mencerminkan formalisasi syariat Islam. Bahkan piagam tersebut memberi pengakuan dan ruang artikulasi bagi semua model kepercayaan penduduk Madinah, termasuk Islam.
Apa yang aktualisasikan oleh Muhammad pada zamannya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang telah dilaksanakan oleh founding father bangsa ini dengan menyepakati UUU 1945 sebagai konstitusi tertinggi bangsa ini. Di dalamnya tertera pengakuan atas semua kepercayaan masyarakat Indonesia, termasuk Islam sebagai agama mayoritas.
Sikap untuk mendorong legalisasi syariat Islam dalam perundang-undangan negara sebagaimana yang diharapkan oleh Adi Wijaya agar diperjuangkan oleh Politisi Islam Sejati serta keinginan Moh Rahmani agar ideologi Islam menjadi panduan dalam menjalankan roda bangsa merupakan sikap yang perlu diwaspadai.
Karena bila ini benar-benar terjadi, maka telah muncul ancaman besar bagi proses demokrasi Indonesia yang salah satu hambatannya adalah sektarianisme politik. Hasrat yang menggebu dari Adi Wijaya dan Moh Rahmani ini akan bermuara pada keinginan untuk mengganti ideologi negara, Pancasila. Ini berarti brarti merubah dasar negara, ini juga berarti merubah negara.
Kalau toh memang, Adi Wijaya dan Moh Rahmani menganggap bahwa legalisasi syariat dan penegakan ideologi Islam dalam negara perlu untuk dilakukan, maka apakah pantas ini diperjuangkan melalui jalur demokrasi yang pada hakikatnya merupakan sistem politik yang tidak diakui dalan ideologi Islam?
Bila demikian, bukankah pilihan memperjuangkan Islam dengan cara-cara yang tidak Islami adalah hal yang ambivalen?***
Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur pada hari Kamis, 05 Maret 2009. Sebuah tulisan yang merupakan sanggahan atas tulisan saudara Adi Wijaya dan Moh. Rahmani. Berisi tentang ketidaksepahaman terhadap sikap sektarianisme politik. Inilah sebuah sikap politik yang memanfaatkan arena politik yang demokratis untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan menuntut agar kepentingan kelompoknya tersebut diperjuangkan untuk diakomodasi dalam produk hukum yang berlaku umum.
Tulisan pertama merupakan buah karya saudara Adi Wijaya dengan judul Politisi Islam Sejati di Pemilu 2009, sedangkan tulisan kedua digoreskan oleh Moh Rahmani dengan berjudul Syariat Islam Tak Terdengung dalam Pemilu 2009. Meskipun kedua tulisan berbeda judul, tapi arah keduanya tidak jauh berbeda, mengarah ke sektarianisme politik.
Adi Wijaya sebagai Koordinator Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus Makassar menyorot peran politisi Islam, sedangkan Moh Rahmani yang mengaku sebagai aktivis HTI Chapter Unhas mengupas partai Islam. Namun ujung-ujungnya mereka berdua mengharap agar politisi dan partai Islam yang bertarung dalam Pemilu 2009 agar memperjuangkan ideologi dan menegakkan syariat Islam sampai pada taraf legalisasi.
Adi Wijaya dalam tulisannya mengungkapkan pesimismenya terhadap para politisi Islam yang ikut bertarung memperebutkan kursi parlemen dalam Pemilu 2009 mendatang. Bagi Adi, mereka hanyalah politisi instan, padahal yang dibutuhkan adalah politisi ideologis karena hanya merekalah yang mampu mengawal perubahan. Politisi ideologis ini kemudian dinamai Politisi Islam Sejati oleh Adi.
Politisi Islam Sejati menurut Adi, mempunyai beberapa ciri khas, di antaranya adalah selalu konsisten memperjuangkan Islam sebagai ideologi. Ciri yang lain adalah memperkuat edukasi umat tentang pentingnya penerapan syariat Islam mulai dari aspek individu, masyarakat, bahkan sampai dengan legalisasi syariat Islam dalam perundang-undangan negara.
Dari sini terlihat bagaimana Adi Wijaya berusaha mendorong pemahaman bahwa Politisi Islam Sejati hanyalah mereka yang menjadikan penegakan syariat Islam melalui legislasi negaraah yang pantas disebut sebagai politis Islam sejati. Sehingga bila ada seorang politisi beragama Islam yang hanya mendorong isu kesejahteraan atau pemerintahan yang bersih sebagai tagline kampanye, belum pantas disebut Politisi Islam Sejati.
Tulisan Moh Rahmani juga tidak terlalu jauh berbeda. Rahmani mengungkapkan kekecewaannya, namun berbeda dengan Adi Wijaya yang pesimis terhadap politisi Islam, Rahmani kecewa terhadap partai Islam yang tidak mendengungkan syariat Islam sebagai isu utama. Sehingga melalui tulisannya, Rahmani menyerukan agar partai Islam menjadikan penegakan syariah sebagai wacana utama dan mendorong agar ideologi Islam ditawarkan sebagai alternatif ideologi bagi Indonesia.
Hal ini karena bagi Rahmani, hanya ideologi Islamlah yang bisa menyelesaikan semua problem kehidupan yang dihadapi bangsa ini dalam segala aspek kehidupan. Dalam tulisannya, Rahmani sampai bertanya, "apakah ada partai yang yang mampu memberikan solusi dengan tawaran ideologi yang menyehatkan setiap aspek masyarakat tadi?"
Menjadi Bermasalah
Bahkan Rahmani mengharuskan agar gaung syariat Islam bisa terdengar sampai ke telinga setiap angggota masyarakat bahwa syariat merupakan tawaran perubahan akan sebuah kehidupan yang lebih baik kepada masyarakat. Tugas untuk menggaungkan syariat ini merupakan tugas yang seharusnya di emban oleh partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu 2009.
Di akhir tulisannya, Rahmani melontarkan tanya yang penuh harap, "Akankah syariat Islam mewarnai baliho-baliho partai-partai sebagai tawaran perubahan yang dijanjikan". Harapan Rahmani ini makin mempertegas sikap politiknya bahwa syariat Islam sebagai tawaran perubahan harus diperjuangkan melalui jalur parlemen agar dapat mengalami formalisasi yang dihadirkan melalui legislasi negara.
Harapan Adi Wijaya dan Moh Rahmani yang disampaikannya melalui tulisan tentang kelebihan ideologi Islam serta perlunya implementasi syariat Islam di tengah-tengah umat adalah hal yang sah-sah saja. Namun hal ini menjadi bermasalah, bisa harapan tersebut ingin dilaksanakan melalui legislasi perundang-undangan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini.
Apa yang diharapkan mereka berdua untuk diperjuangkan oleh politisi dan partai Islam ini merepresentasikan sebuah upaya untuk membangun sektarianisme dalam politik.
Inilah sebuah sikap politik yang memanfaatkan arena politik yang demokratis untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan menuntut agar kepentingan kelompoknya tersebut diperjuangkan untuk diakomodasi dalam produk hukum yang berlaku umum.
Sungguh sangat disayangkan sikap ini masih muncul dalam pikiran para aktivis muda Islam, padahal sikap seperti ini sudah ditinggalkan oleh para pendahulu kita yang menjadi founding father bangsa ini.
Dengan ikhlas mereka rela menerima penghapusan tujuh kata (Ketuhanan dengan penegakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dari Piagam Jakarta yang kemudian menjelma menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" dalam Pembukaan UUD 1945.
Justru bila para politisi Islam maupun partai Islam menjadikan syariat Islam menjadi "jualan" kampanye, maka hal ini sangat berbahaya bagi kesucian agama, jangan sampai agama menjadi komoditas politik.
Alangkah bijaknya bila para politisi Muslim tetap berpegang pada sikap untuk memperjuangkan nilai-nilai universal kemanusiaan dan kehidupan yang bersumber dari ajaran Islam ketimbang memperjuangkan syariat dan ideologi Islam secara formal.
Apalagi penegakan syariat secara formal melalui legislasi yang dihasilkan oleh legislatif dan pemerintah cenderung bertentangan dengan praktik historis Islam yang pernah dicontohkan oleh rasulullah Muhammad Saw di Madinah. Beliau tidak pernah melakukan formalisme syariat sebagaimana yang diinginkan oleh Adi Wijaya dan Moh. Rahmani.
Ancaman Berdemokrasi
Dengan berpegang pada semangat dasar Islam sebagai rahmatan lil alamin, Rasulullah memerintah Madinah yang berpenduduk plural dengan berpedoman pada Piagam Madinah yang di dalamnya tidak sedikitpun mencerminkan formalisasi syariat Islam. Bahkan piagam tersebut memberi pengakuan dan ruang artikulasi bagi semua model kepercayaan penduduk Madinah, termasuk Islam.
Apa yang aktualisasikan oleh Muhammad pada zamannya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang telah dilaksanakan oleh founding father bangsa ini dengan menyepakati UUU 1945 sebagai konstitusi tertinggi bangsa ini. Di dalamnya tertera pengakuan atas semua kepercayaan masyarakat Indonesia, termasuk Islam sebagai agama mayoritas.
Sikap untuk mendorong legalisasi syariat Islam dalam perundang-undangan negara sebagaimana yang diharapkan oleh Adi Wijaya agar diperjuangkan oleh Politisi Islam Sejati serta keinginan Moh Rahmani agar ideologi Islam menjadi panduan dalam menjalankan roda bangsa merupakan sikap yang perlu diwaspadai.
Karena bila ini benar-benar terjadi, maka telah muncul ancaman besar bagi proses demokrasi Indonesia yang salah satu hambatannya adalah sektarianisme politik. Hasrat yang menggebu dari Adi Wijaya dan Moh Rahmani ini akan bermuara pada keinginan untuk mengganti ideologi negara, Pancasila. Ini berarti brarti merubah dasar negara, ini juga berarti merubah negara.
Kalau toh memang, Adi Wijaya dan Moh Rahmani menganggap bahwa legalisasi syariat dan penegakan ideologi Islam dalam negara perlu untuk dilakukan, maka apakah pantas ini diperjuangkan melalui jalur demokrasi yang pada hakikatnya merupakan sistem politik yang tidak diakui dalan ideologi Islam?
Bila demikian, bukankah pilihan memperjuangkan Islam dengan cara-cara yang tidak Islami adalah hal yang ambivalen?***
Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur pada hari Kamis, 05 Maret 2009. Sebuah tulisan yang merupakan sanggahan atas tulisan saudara Adi Wijaya dan Moh. Rahmani. Berisi tentang ketidaksepahaman terhadap sikap sektarianisme politik. Inilah sebuah sikap politik yang memanfaatkan arena politik yang demokratis untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan menuntut agar kepentingan kelompoknya tersebut diperjuangkan untuk diakomodasi dalam produk hukum yang berlaku umum.