Selamat Ulang Tahun Cinta

[09.12.2011] Selasa pagi, kalender Gregorian menunjukkan tanggal 09 Desember 2009, keteganganku akhirnya meledak juga. Setelah sepanjang malam aku hanya mondar-mandir dari lantai dua ke lantai empat RSIA Pertiwi Makassar, pagi itu aku bersimpuh di mushalla sempit di lantai empat. Istriku melahirkan seorang bayi perempuan mungil --benar-benar mungil, hanya 2,05 kilogram.

Bagaimana tak merasa gelisah, ini adalah pengalaman pertama bagi kami; menanti kelahiran anak pertama. Selain itu, kelahiran ini pun melenceng dari prediksi dokter, kelahirannya lebih cepat dari perkiraan. Dokter menetapkan waktu kelahiran di akhir Desember, ternyata si bayi sudah tak sabaran menengok dunia.

Begitu bayi mungil itu selesai dibersihkan oleh perawat yang membantu persalinan, ku kumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kirinya. Setelah itu, aku menyempatkan diri menimangnya sejenak, lalu berbisik lembut “Qonitah Wafiyah Tenri Bilang, itu namamu nak”.

Berhubung beratnya hanya 2,05 kilogram, maka dokter menetapkan agar Qonitah di rawat dalam ruang perawatan khusus dan menginap di dalam sebuah kotak kaca khusus; inkubator. Tak lupa, sebuah selang yang tersambung dengan tabung oksigen tertancap di kedua lubang hidungnya. Minum susu pun harus langsung disuntikkan melalui sebuah selang yang masuk melalui mulutnya langsung ke lambung.

Kami –kedua orangtuanya, hanya bisa menatapnya dari luar kotak kaca, dan sesekali mengelusnya dengan lembut dari lubang kecil di salah satu sisi kotak, tak boleh sering untuk menjaga sterilnya udara dalam kotak. Jadilah kami harus kembali menahan kerinduan yang menggumpal untuk segera mengemong Qonitah.

Tiga hari berlalu, Qonitah masih menjadi penghuni ruang perawatan khusus RSIA Pertiwi Makassar, secara rutin pula, kami datang berkunjung untuk mengecek perkembangannya. Ini membuat energi kami cukup terkuras, sebab mamanya sudah tidak lagi menginap di rumah sakit, melainkan di rumah. Bolak-balik dari rumah ke rumah sakit juga bukan pekerjaan yang mudah.

Pada hari keempat, kami memutuskan untuk memindahkannya ke RSUD Padjonga Daeng Ngalle di Kabupaten Takalar. Alasannya sederhana, agar lebih dekat dengan neneknya yang berdomisili di sana. Dengan demikian, keluarga yang lain bisa turut membantu menjagainya di rumah sakit. Sebab di RSUD Padjonga Daeng Ngalle, Qonitah harus tetap menjadi penghuni duplikasi rahim ibu; inkubator.

Alhamdulillah, di RSUD Padjonga Daeng Ngalle, mamanya mendapatkan fasilitas kamar menginap sehingga tidak lagi harus direpotkan untuk bolak-balik rumah dan rumah sakit. Pun, suster yang merawat dengan telaten mengingatkan mamanya untuk mulai membiasakan Qonitah belajar menyusui, selang untuk susu yang selama ini menghuni saluran pencernaannya, dilepas.

Dari sinilah panggilan kesayangan, “CINTA’ mulai digunakan. Adalah neneknya, yang pertama kali memanggil Qonitah dengan panggilan itu, alasannya sederhana, untuk menunjukkan bahwa kami semua mencintai, menyayangi, dan bersukacita atas kehadiran dan kelahirannya ke dunia. Jadi ini bukan karena terpengaruh dengan film Ada Apa Dengan Cinta garapan Hanung Bramantyo yang terkenal itu.

Perlahan, kami mulai membiasakannya dengan udara di luar inkubator, selang oksigen untuk bantuan pernafasan pun mulai dilepas. Kami sudah bisa menggendongnya bergantian, bahkan sesekali Cinta ikut tertidur di kamar mamanya, meskipun itu masih sekira sejam-dua jam. Cinta pun sudah terbiasa tertawa dan menangis sebagaimana bayi kebanyakan. Memasuki hari ke sepuluh, kami memutuskan untuk membawanya pulang.

Di rumah, lagi-lagi Cinta mendapatkan perlakuan istimewa, dia tidur di tempat tidur bayi dengan kelambu yang cukup tebal, ditambah dengan sebuah bola lampu 60 watt yang terpasang sekira 45 centimeter dari badannya; sebagai penghangat. Saban pagi, secara bergantian, kami mengeluarkannya untuk ‘berjemur’ mendapatkan sinar matahari langsung.

Itu cerita tiga tahun lalu. Hari ini, 09 Desember 2011 kembali aku teringat masa-masa ketika Qonitah begitu membuat kami semua khawatir. Sekarang, dia sudah tumbuh sebagaimana anak tiga tahun lainnya, Alhamdulillah.

Yang terasa lucu dan membuat kami terkadang tertawa bersama adalah apabila dia mendengar kata Cinta di dalam lagu atau dalam film yang dia nonton, dia akan tersenyum sambil melirik mamanya dan berujar, “mama, Cinta mama...”. Bahkan apabila sepupunya bercanda dengan mengatakan jatuh cinta, dia akan protes keras dan mengatakan, “Cinta tidak jatuh!”, hehehehehe...

Mungkin karena lebih sering disapa Cinta, maka dia lebih menyadari bahwa namanya adalah Cinta daripada Qonitah. Ketika ada seseorang yang iseng menanyakan namanya, maka dia dengan spontan akan menjawab “Cinta”. Kecuali kalau dia ditanya secara serius, barulah dia menjawab bahwa namanya adalah “Qonitah Wafiyah Tenri Bilang”.

Mengenai persoalan nama, Cinta tak berhenti sampai di sini. Sebagai seorang anak yang lahir dalam tradisi Bugis-Makassar yang kental, maka mau tidak mau, sebuah pa’daengang pun tersemat di belakang namanya; Daeng Ranne. Jadilah dia bernama Qonitah Wafiyah Tenri Bilang Daeng Ranne dan disapa Cinta. Nah loh.

Di ulang tahunnya yang ketiga ini, tak lupa kami mengirim do’a, semoga dalam hidupmu kau bisa meneladani seorang muslimah tangguh seperti Asiah, seorang istri yang sholehah seperti Khadijah, seorang ibu yang melahirkan anak soleh seperti Maryam, dan seorang anak yang menjadi ummu abyha seperti Fatimah Az Zahrah.

Tapi apapun itu, kami tak akan memaksamu menjadi siapapun. Bertumbuhlah nak, berkembanglah menjadi dirimu sendiri, dirimu yang otentik. Selamat Ulang Tahun Cinta.

3 Komentar

  1. 9 desember ???? 2009 yah ????
    hahaha, bertepatan dgn ultahnya SBY dong kanda....

    Selamat !!!

    BalasHapus
  2. SBY kan 9 Desember dinda, hehehehe....

    BalasHapus
  3. Anonim7:11 PM

    milad mubarok, cinta...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama