Menemui Ada dalam kecemasan

[29.08.2012] Adakah waktu yang lebih intim daripada detik-detik penantian? Aku merenungkan hal ini semalaman ketika mendampingi istriku yang baru saja melahirkan putri ketiga kami, Fatimah Kininnawa Tenri Sompa. Putri yang lahir tepat pukul 14:25 btwai pada hari Selasa 28 Agustus 2012.

Pikiran tentang waktu ini muncul karena sepanjang siang, aku merasa begitu akrab dengan kecemasan. Dia mendekapku begitu erat, sehingga nafasku terasa tersengal, dadaku pun sesak. Aku merasa dia menyeretku dalam pusaran yang begitu lambat berputar, begitu lama jeda antar setiap tarikan nafas.

Ketika menyaksikan istriku meringis menahan sakit, dan kulihat bibirnya bergetar melafazkan zikir menguatkan jiwa, saat itulah aku merasa kecemasan membetotku kencang, aku dihempaskan ke dalam gua di mana waktu seakan berhenti.

Padahal ketika aku lirik petunjuk waktu di ponsel, tak ada yang berubah. Setiap jam tetap berisi enam puluh menit, setiap menit dijejali enam puluh detik. Dan detik-detik itu berdetak dalam irama yang tetap.

Beginikah hakekat penantian? Sebuah kawah yang begitu dalam dengan medan magnet yang amat kuat sehingga jarum jam berhenti berdetak. Suasananya membuatku bisa merasakan elusan lembut waktu pada permukaan kulitku. Aku merinding.

Beginikah hakekat waktu? Bisa melar sedemikian lebar dan longgar, dan kadang kadang juga bisa menyempit, sesempit-sempitnya. Lalu di mana posisi dua puluh empat jam yang dipastikan berlaku dalam sehari-semalam?

Gelisah ini mengantarkanku pada Om Heidegger, filosof garda depan penyelamat spitirualitas manusia modern yang integritasnya diragukan karena kaitannya dengan Nazi-nya Om Hitler.

Om Heidegger mengkhutbahkan bahwa waktu yang terpatri dalam wujud angka kronometris pada jam, waktu yang berjalan dalam hitungan matematis berdasarkan detik, menit, jam, hari, bulan dan seterusnya itu, dinamainya innerzeitigkeit.

Waktu sedemikian ini bisa merampas, memenjara, bahkan memperbudak manusia secara eksistensial. Kita menjalani hidup dengan pilihan eksistensial secara merdeka, kita malah dikendalikan oleh jadwal-jadwal dalam wujud innerzeitigkeit.

Untuk menginterupsi penjajahan innerzeitigkeit atas kesadaran, dan membuat kita terasing secara eksistensial, maka Heidegger mengajurkan agar kita membangun hubungan intim dengan ketakutan, kecemasan, kegelisahan, dan hal-hal yang kurang membahagiakan lainnya.

Dalam beragam hal yang kurang menyenangkan, terdapat jalur lempang bagi manusia untuk membebaskan diri dari innerzeitigkeit dan menjadikan dirinya sebagai tuan atas waktu.

Ketika dibekap kecemasan menanti kelahiran si buah hati, tak ada lagi kuasa waktu kronometris atas kesadaranku. Tak peduli detik, menit, dan jam berapapun penantian ini akan berakhir. Aku tak peduli, aku cuma bergumul dengan kecemasan.

Mengintimi kecemasan seperti ini menurut Om Heidegger sebagai contoh ikhtiar untuk menjangkau ‘Ada’, upaya menembus belukar ‘adaan’ yang berjejal-jejal menghambat perjalanan menuju inti kesadaran.

Ah, rupanya seperti inilah kira-kira mistik keseharian itu. Ketika aku tak lagi melirik pada penunjuk waktu di ponsel, atau pada jam dinding yang terus saja berdetak secara ritmis.

Aku hanya menikmati cemas dan tak pernah jeda memupuk harap bahwa anakku akan lahir dengan sehat, dan ibunya tak kurang suatu apa.  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama