[24.02.2013] Suatu waktu, aku mengantar mertua ke sebuah acara ibu-ibu,
entah itu PKK atau Dharma Wanita, saya tidak memperhatikannya dengan baik.
Aku cuma mengingat bahwa itu acara khusus ibu-ibu. Ada
pemberian materi tentang gizi keluarga, tata boga, dan entah apalagi, lagi-lagi
saya tidak memperhatikannya.
Begitu siang merapat dan acara terakhir pun menjelang, makan
siang. Untuk sesi acara yang satu ini, saya mendapat kesempatan untuk
dilibatkan bersama beberapa lelaki yang juga mengantar, entah mengantar
istrinya, mertuanya, ibunya, atau mungkin tetangganya?
Makan siang berlalu tanpa insiden yang berarti. Aku
menyelesaikan makan siang, hampir bersamaan dengan sesama pengantar, tanpa
cakap, tanpa basa-basi, hanya senyum kaku menemani makan siang dengan menu ikan
bakar –kebetulan acaranya di kawasan
pesisir Galesong.
Selesai makan siang, saya langsung ke teras mencari angin
untuk mengeringkan keringat yang menderas. Cobe’-cobe’
yang menjadi kawan ikan bakar, pedasnya begitu menyengat.
Tak lama, kawan makan siangku pun menyusul ke teras, langsung
mengepulkan rokoknya. Ah, aku tak tahan dengan udara yang tercemar nikotin
begini. Kuputuskan menunggu di mobil saja.
Tapi tunggu dulu, sandal jepitku mana? Aku memang memiliki kesenangan menggunakan sandal jepit ke mana-mana. Lebih praktis rasanya. Mataku jelalatan mencarinya ke segenap kaki yang berderap. Ahaaaa.... ketemu.
Tapi tunggu dulu, sandal jepitku mana? Aku memang memiliki kesenangan menggunakan sandal jepit ke mana-mana. Lebih praktis rasanya. Mataku jelalatan mencarinya ke segenap kaki yang berderap. Ahaaaa.... ketemu.
"Tabe' bu,
boleh saya minta sandalku?" Pintaku pada seorang ibu muda yang seperti
begitu menikmati menggunakan sandal jepit milikku.
"Oh, sandalmu ini?" Ibu itu balik bertanya.
"Iyye', sandalku itu bu," jawabku meyakinkan.
"Ambilmi... " Sambil melepaskan sandal dan menyodorkannya ke arahku, kulihat matanya agak mendelik.
"Terima kasih bu." Ucapku tulus ditambah dengan senyum termanisku.
"Oh, sandalmu ini?" Ibu itu balik bertanya.
"Iyye', sandalku itu bu," jawabku meyakinkan.
"Ambilmi... " Sambil melepaskan sandal dan menyodorkannya ke arahku, kulihat matanya agak mendelik.
"Terima kasih bu." Ucapku tulus ditambah dengan senyum termanisku.
Begitu saya berlalu, aku dengar ibu itu berbicara ke arah
temannya, sesama ibu-ibu.
"Sandal jepitji lagi, berapaji harganya itu."
"Iyyo di, giggili'na deh," timpal temannya.
"Sandal jepitji lagi, berapaji harganya itu."
"Iyyo di, giggili'na deh," timpal temannya.
Mendengar itu, aku berhenti dan berbalik mendekat.
"Kenapa bu?" Tanyaku sopan.
"Kenapako giggili' sekali, na sandal jepitmu ji dipinjam," seru salah seorang ibu.
"Kenapa bu?" Tanyaku sopan.
"Kenapako giggili' sekali, na sandal jepitmu ji dipinjam," seru salah seorang ibu.
Belum sempat aku berbicara,
"Kau kira tidak ada sandalku kah? Itu di sana, hampir satu juta saya belikan itu," ujar ibu yang meminjam sandalku tadi.
"Kau kira tidak ada sandalku kah? Itu di sana, hampir satu juta saya belikan itu," ujar ibu yang meminjam sandalku tadi.
Aku menoleh ke arah sandal yang ditunjuk ibu tadi, sebuah
sandal pesta ber-hak super tinggi.
"Kau, sandal jepitji
kau punya, sombongmu bukan main. Baru dipinjam sebentar, langsungmi kau minta", celoteh ibu itu
lagi.
"Kenapa kah memang sandalku kita' pake bu?" Aku mulai jengkel.
"Ka mauji bakar ikan orang, masa' saya pake sandalku, sakit kaki, apalagi berlumpur begitu!"
"Siapa memang suruhki' pakai sandal begitu? Kita' tau'ji kalau ini acara bakar-bakar ikan toh? Kenapa sandal pesta kita' pake?" Aku terus nyerocos.
"Buat apa beli sandal mahal kalau bikin sakitji kaki kalau dipake? Ada sandal mahalta' baru kita' pinjamji sandal jepitku." Aku kembali berbicara. Ibu itu terdiam, aku memilih berlalu pergi.
Tags:
Refleksi
hahaha. . dasar ibu2 pkk, dharma wanita atau apapun kadang memang menjengkelkan.
BalasHapusbetul2 pertarungan. .
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPertarungan eksistensial, hahahaha...
BalasHapus