[07.07.2013] Suatu
pagi, belum sempat aku duduk di kursi kerjaku di kantor, di bilangan jalan A.
P. Pettarani, Makassar, aku mendapatkan broadcast
message via blackberry massenger
bahwa ‘jembatan kembar’ di pusat kota Sungguminasa –ibu kota Kabupaten Gowa, Sulsel, runtuh. Kejadian tersebut
menimbulkan jatuhnya ratusan korban, bahkan puluhan korban yang hanyut belum
ditemukan.
Pesan
tersebut membuatku kaget, soalnya, beberapa menit sebelumnya, aku masih
melintas di atas jembatan tersebut dengan aman dan damai, pun tak ada
tanda-tanda kerusakan yang memungkinkan jembatan tersebut runtuh dengan
tiba-tiba. Segera aku konfirmasi ke beberapa kawan, ternyata broadcast message tersebut, tidak benar.
Pernah
pula, di suatu subuh, lagi-lagi sebuah broadcast
message via blackberry massenger,
isinya tak tanggung-tanggung, Iwan Fals, sang penyanyi balada itu, meninggal
dunia. Begitu membacanya, aku menyalakan televisi, tak ada berita tentang itu,
kusetel radio, juga tak ada kabarnya. Aku cek ke twitter, ternyata broadcast message itu palsu.
Masih
banyak kejadian serupa terkait beredarnya kabar kabur via broadcast message. Celakanya, media yang digunakan adalah smartphone, dan pelakunya rata-rata dari
kelas menengah dengan kondisi ekonomi dan –terutama,
berpendidikan tinggi.
Biasanya,
begitu mendapatkan broadcast message
sejenis, aku langsung konfirmasi ke pengirimnya, dan jawabannya sungguh
mencengangkan, hampir semua menjawab bahwa mereka hanya meneruskan pesan, tanpa
tahu isi pesan, apalagi kebenaran isi pesan yang disebarkannya. Fenomena apa
ini?
Setiap
orang seperti berlomba untuk menjadi yang pertama mengabarkan sebuah pesan
tanpa tahu apa isi pesannya, tanpa paham kebenaran isi pesannya. Mungkin inilah
yang disinyalir oleh Jean Baudrillard dengan istilah ekstase komunikasi (the ecstasy of communication). Sebuah
fenomena berkomunikasi yang penuh dengan hiperrealitas (hyper-reality).
Hiperrealitas
–menurut Baudrillard, adalah bangunan
model-model realitas yang tidak memiliki asal-usul. Kondisi hiperrealitas
merupakan hasil kerja dari sebuah model produksi kebudayaan yang disebutnya
simulasi. Sebuah upaya transformasi gambaran tentang dunia melalui
bangunan-bangunan imajinasi yang menggiring manusia untuk merasa bahwa mereka
memasuki sebuah ruang realitas yang dirasa nyata dan lebih baik padahal
sesungguhnya ruang realitas itu hanyalah citra dan khayalan semu semata.
Fenomena
broadcast message bahkan sampai pada
tahap simulasi yang akut, atau simulakra. Realitas di mana sebuah tanda, ikon,
simbol dan citra yang ditampakkan bukan saja tidak memiliki referensi dalam
realitas, malah tanda, ikon, simbol dan citra yang dilahirkan dan dan dianggap
sebagai representasi dari tanda, ikon, simbol dan tanda yang juga merupakan
hasil dari simulasi. Peta mereferensikan dirinya pada peta itu sendiri, sebuah
posisi self referential.
Kita tak akan pernah sempat untuk mencari tahu asal
usul sebuah broadcast message, siapa yang menulis
dan mengirimnya senantiasa menjadi misteri. Kita memasuki sebuah dunia parody,
dunia tanpa asal usul, dunia yang tidak lagi mementingkan orisinalitas dan
keaslian.
Bahkan dengan sangat mengerikan, Yasraf Amir Piliang, melukiskan
bekerjanya simulakra dalam proses diseminasi sosial (social dissemination).
Sebuah proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial, tanda, citra,
informasi dan tanda-tanda komoditas yang berkembang biak secara seketika (instanta
neousness), mengikuti model pertumbuhan kode genetika (genetic code).
Ekstase
komunikasi kemudian menyeret kita menjadi masyarakat yang mereyakan
keberlimpahan informasi bukan dengan kritisisme, melainkan konsumerisme. Kita
lebih menikmati kecepatan dan keberlimpahan informasi dengan keasyikan (ecstacy), kegairahan (desiring machine), dan permainan citra (imagology). Kita bahkan cenderung mulai
melalaikan dan alpa pada proses transformasi pengetahuannya.
Kehadiran
smartphone yang mendorong ekstase
komunikasi, jauh dari ekspektasi positif Umberto Eco mengenai kehadiran
telepon. Eco begitu yakin bahwa telepon menjadi penanda utama lahirnya zaman
komunikasi (age of communication).
Pun Jurgen Habermas yang menganggap bahwa telepon hadir bukan sekedar untuk
menjadi media pertukaran informasi, melainkan mampu menjadikan keinginan itu
bisa diketahui.
Secara
tegas, Baudrillard mengatakan, “Kita tidak lagi berperan dalam drama
keterasingan, tetapi dalam ekstase komunikasi!” Ketegasan ini seperti ingin
mengingatkan Martin Heidegger bahwa komunikasi –terutama melalui smartphone, tidak bisa lagi menjadi manifestasi
manusia dalam menemukan pembenaran dan pembuktian.
Peringatan
Baudrillard ini juga terasa begitu menohokku, menghadapi simulakra ini, aku
mengalami apa yang disebut oleh Yasraf sebagai histeria. Sebentuk ketakutan
yang muncul dan terbangun karena kekhawatiran akan hilangnya hal-hal yang
‘nyata’ dan terbalut oleh lapisan-lapisan citra yang tidak berujung pangkal,
juga perasaan begitu rumitnya merumuskan jati diri dalam dunia yang seperti
itu.
Histeria
ini pula yang mendorongku me-remove
beberapa kawan dari sistem blackberry
massenger-ku. Mereka mengirim broadcast
message yang hanya berisi berbagai berita sampah. Begitu aku memperingatkannya,
mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa mereka sekedar turut meramaikan,
turut menikmati permainan citra yang berlangsung dengan penuh keasyikan,
kegairahan.
Era
komunikasi yang yang terjerembab menjadi ekstase komunikasi ini, mau tidak mau,
menuntut kita untuk kembali menengok pada bangunan etika komunikasi yang kita
berpegangi bersama selama ini. Harus diakui, kita mengalami krisis etika komunikasi.
Dengan
begitu mudahnya, kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja tanpa dibatasi sekat
lokasi geografis dan kelas sosial. Kita biasa menanyakan jawaban pekerjaan
rumah kita kepada teman sekelas, pun kita bisa mengirimkan undangan seminar
proposal skripsi pada seorang dosen melalui fasilitas short massage system atau blackberry
massenger.
Batasan-batasan
etis yang selama ini menjadi panduan dalam melakukan komunikasi kepada berbagai
jenis orang dari latar belakang kelas sosial yang berbeda menjadi lebur dan
melabur karena revolusi teknologi komunikasi. Hal ini tentu membutuhkan rumusan
kesepakatan-kesepakatan etis baru.
Bahkan lebih
jauh dari itu, kita mengalami krisis rasionalitas. Smartphone sebagai teknologi komunikasi yang merupakan cucu kandung
rasionalitas, ternyata membuat kita berkomunikasi dengan cara-cara yang kian
tidak rasional. Berbagai pesan dan informasi berseliweran tanpa pernah
diverifikasi orisinalitas dan otentisitasnya.
Tapi,
ya, itulah hiperrealitas komunikasi yang terjadi. Kita semua mabuk dengan
proses percepatan produksi dan reproduksi informasi sedemikian rupa, sehingga
kita tidak sempat mencerna dengan baik. Kita seakan berlomba untuk menjadi yang
pertama mengabarkan, tanpa berusaha untuk sedikit menganalisa kebenaran
atasnya.
Tadi malam menantu ponakan saya menelpon Ibu Sur menanyakan keadaan seluruh keluarga, terutama keadaan saya. Tentu saja Ibu menjawab baik-baik saja. Menantu ponakan itu kemudian menangis meluapkan emosi sedih bercampur gembira. Rupanya dia ditelpon dari keluarga-keluarga dari Takalar bahwa saya meninggal dunia sepulang dari membawakan Khutbah Idul Fitri di Lapangan Makkatang Daeng Sibali Takalar. Seperti itukah contoh dari tulisan Ananda Kasman McTutu?
BalasHapusIyye' tetta, seperti itu wujud ekstase komunikasi, semua orang berlomba untuk menjadi yang pertama menyebarkan sebuah informasi tanpa didahului verifikasi apakah informasi itu benar atau salah.
HapusSeseorang menyebarkan informasi bukan lagi didasari pertimbangan benar dan salahnya sebuah informasi, tapi seberapa cepat informasi itu bisa disebarkan dan dirinya menjadi yang pertama menyebarkan informasi tersebut.
Seseorang yang mengalami ekstase komunikasi, akan mengalami kenikmatan dalam proses penyebaran informasi.
Kondisi ini menyebabkan histeria, ketakutan akan beberapa hal: hilangnya orisinalitas, makin dangkalnya makna sebuah pesan, dan terjadinya krisis etika komunikasi.
salah satu hal yang merangsang saya menulis tulisan ini adalah postinganta' di http://pena.aminuddinsalle.com tetta. yang berjudul Kekalahan Nilai-nilai Kesopanan dan Peraturan oleh SMS pada link http://pena.aminuddinsalle.com/?p168