[04.08.2013] Pernah mendengar nama Al-Hajjaj?
Hajjaj bin Yusuf bin Matar Al-Hasib
(diperkirakan hidup pada tahun 661 – 714 M) adalah salah seorang gubernur Baghdad di masa Khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul
Malik bin Marwan,–yang terkenal
dengan kezhaliman, banyak membunuh, dan kefasiqannya.
Bahkan Umar bin Abdul Aziz , salah seorang khalifah Bani Umayyah sampai membuat
permisalan yang menggambarkan betapa jahat si Hajjaj ini.
Ibnu
Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (6/267 dan 9/158) mengutip pernyataan
Umar bin abdul Aziz, “Kalau sekiranya setiap umat datang dengan para
penjahatanya manakala kita pula datang dengan membawa Al Hajjaj, niscaya kita
akan mengalahkan semua penjahat tersebut.”
Syahdan, di suatu siang bulan ramadhan,
Al-Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk ‘mengundang’ seorang penggembala dari
pegunungan untuk menemaninya bersantap siang.
Begitu si penggembala duduk di hadapannya, Al-Hajjaj
langsung mengajaknya makan, “Hai Fulan, tamani aku makan siang, mari kita makan
bersama!”
Dengan muka teduh si gembala menjawab tenang,
“Maaf tuan, saya telah diundang oleh yang lebih mulia dari tuan, dan saya lebih
memilih memenuhi undangannya.”
Mendengar itu, Al-Hajjaj berujar, “Katakan
padaku, siapa yang telah mengundangmu itu?”
Gembala itu berkata, “Saya telah diundang
oleh Tuhan seru sekalian alam, untuk berpuasa hari ini.”
“Kau berpuasa? Tidakkah kau merasa bahwa
siang ini begitu terik?” Al-Hajjaj mencoba menggoyahkan keyakinan si gembala.
“Saya malah sering berpuasa di hari yang lebih
terik dari ini, Tuan.”
“Berbukalah hari ini, temani aku makan siang,
engkau kan bisa berpuasa lagi esok hari?” Goda Al-Hajjaj.
“Kalau saya berbuka hari ini, apakah Tuan
bisa menjamin bahwa saya masih hidup di esok hari agar saya bisa berpuasa?” Si
gembala tersenyum simpul.
“Tentu saja tidak!”
“Kalau begitu, kenapa tuan berani
memerintahkan saya untuk berbuka hari ini dan menggantinya di esok hari,
sementara hari esok bukan dalam kekuasaan tuan?”
Mendengar jawaban si gembala, Al-Hajjaj
terdiam sejenak, setelah itu, kembali melancarkan godaannya.
“Ayolah, tidakkah kau melihat betapa lezatnya
makanan ini?”
Sambil berdiri dan beranjak pergi, si gembala
menggeleng keras dan berujar, “Demi Allah, yang melezatkan makanan bukanlah
juru masaknya, bukan pula jenis makanannya.”
Al-Hajjaj terdiam, si gembala melanjutkan, “Sebuah
makanan menjadi lezat karena afiat
(kesehatan jasmani dan ruhani) sebagai anugrah dari Allah.”
Dalam dialog di atas, si gembala
memperlihatkan bagaimana puasa menjadi kendali diri yang kukuh untuk
menghindari godaan konsumeris yang direpresentasikan oleh makanan lezat yang
disajikan oleh Al-Hajjaj. Puasa bernar-benar fungsional dalam meredam tarikan
libido dan hasrat mengkonsumsi.
Namun hari ini, ketika ramadhan sudah senja,
bilangan puasa pun tinggal sedikit, fungsi tersebut hilang entah ke mana.
Ketika Muhammad saw, nabi mulia tersebut mencontohkan ummatnya untuk lebih
banyak tafakkur dan i’tikaf, berdiam diri di masjid-masjid dan memperbanyak
ibadah kepadaNya, sebagian besar ummat malah membiarkan rumah-rumah Allah
melompong dan memilih untuk berdesak-desakan, berjejal-jejal, berimpitan di
mall-mall, supermarket, trade center, dan plaza.
Iming-iming akan adanya sebuah malam yang
lebih mulia dari seribu bulan –layl al
qadr, khair min alf syahr,
tidaklah cukup ampuh untuk menjadi daya tarik bagi ummat untuk kembali
memakmurkan masjid. Mereka lebih memilih memenuhi seruan big sale, midnight sale, great sale, aneka diskon dan obral dari
berbagai pusat perbelanjaan. Seruan adzan menjadi sekedar formalitas yang
dikumandangkan dari menara-menara mesjid yang kian kesepian.
Jean Baudrillard dalam Seduction
(1990) mengatakan bahwa seduksi adalah rayuan, permainan kebenaran, tantangan,
duel, strategi penampakan, untuk meyakinkan bahwa yang fiktif itu ‘nyata’.
Kekuatan seduksi (seduction) yang dibabarkan pada iklan di berbagai saluran media,
membuat umat tak berdaya untuk melepaskan diri dari pusaran besar konsumerisme,
bahkan dalam keadaan berpuasa sekalipun.
Bujuk rayu reklame telah memperdaya umat kesadaran
palsu tentang iman dan ketakwaan, tak mampu lagi melihat secara jernih standar-standar
keimanan dan ketakwaan yang dituntunkan. Umat terjebak dalam citraan-citraan
palsu yang ditawarkan para pelaku pasar, seumpama Al-Hajjaj menggoda si gembala
agar membatalkan puasanya.
Iman
dan ketakwaan dikomodifikasi menjadi produk yang dikemas dan dijajakan di
pusat-pusat perbelanjaan. Kualitas iman dan ketakwaan ditentukan pada artefak
mode macam apa yang mereka gunakan, dan bukan ditentukan pada seberapa besar
daya tahan mereka terhadap godaan dan tarikan pusaran kehidupan yang materialistik.
Ramadhan
yang pada hakikatnya akan syahdu bila dijalani secara komunal, malah kemudian
dibalikkan menjadi ajang membina semangat indivisualisme umat. Umat menjadi
lebih peduli pada merek baju koko atau jilbab yang mereka siapkan untuk
momentum ied al fitr dari pada peduli pada tetangganya yang tak memiliki
makanan sekalipun sekedar untuk berbuka sebentar malam dan bersantap sahur
esoknya.
Kita menjalani ramadhan yang maknanya sudah
diselewengkan dan melaksanakan puasa yang sudah kehilangan daya
revolusionernya. Kita telah termakan oleh goda dan rayuan para Hajjaj modern
untuk membatalkan puasa secara hakiki dan berpaling dari undangan perjamuan
suci dari Tuhan yang Maha Suci. Allahummaghfirlahum...
Terima kasih postingannya om :D ...
BalasHapusSiap komandan, ini saja masih tertatih :)
HapusSebulan cuma satu postingan, hehehe...